***
"Ayah, gucinya bagus. Aku suka!" kata anakku yang duduk di bangku kelas lima SD, ketika kami berkumpul di meja makan sehabis sholat mghrib.
Istriku memasang wajah masam mendengar penuturan anak lelaki aku itu. "Akh, anak dan ayah sama saja, suka ngumpulin benda-benda tidak berguna!" sambung istriku.
"Guci itu kan bagus, Bu, aku bisa mengisinya dengan ikan peliharaanku!" kata anakku sambil tersenyum kepada ibunya. Kemudian dia palingkan ekor matanya ke arahku. Dia memberi kode seakan-akan penolakan ibunya hanya sebuah lelucon.
"Kita kan sudah punya aquarium, Sayang. Buat apalagi kamu naruh ikan  dalam guci jelek itu!" balas istriku kepada anaknya  sambil merengut.
"Guci itu akan aku taruh ikan hasil tangkapan dari parit dekat pinggir jalan, Bu. Sedangkan aquarium untuk ikan mas koki!" Anakku tetap mempertahankan keinginannya.
Istriku tidak membalas lagi ucapan anakku. Justru dia menatap ke arah aku dengan wajah masam.
Aku palingkan pandanganku ke arah lain. Aku pura-pura tidak melihat jika wajah istriku seperti benang kusut.
Tiga hari kemudian, aku lihat sudah ada ikan kecil- kecil berenang di dalam guci itu. Aku yakin itu pasti kerjaan anakku. Tapi aku tidak mengambil pusing dengan kelakuan anak-anak. Aku biarkan saja perbuatan anak
itu, asalkan  tidak merugikan dirinya.  Aku relakan guci yang rencananya untuk menampung  air wudhu berubah jadi kolam ikan.
***
Setelah satu Minggu guci itu nongkrong di beranda belakang, istriku sering mendapat mimpi yang menurutnya aneh.
"Bang, malam tadi aku bermimpi mulut guci itu berubah menjadi lubang sebuah goa. Aku tersedot masuk ke dalam goa itu. Tubuhku melayang- layang di dalam perut goa yang sangat gelap. Kemudian, ketika sampai di ujung goa, tubuhku terhempas. Tubuhku terasa nyeri. Kepalaku sakit seperti  mau pecah. Pandangan mataku terasa berkunang-kunang."