Pada salah satu kaca pintu klinik seniorku aku perhatikan retakan yang memanjang dari sisi kiri ke kanan (atau sebaliknya). Untuk sebuah pintu yang apik, retakan itu justru menjadi sesuatu yang mengganggu pemandangan. Seorang bapak yang turut memandang retakan itu bergumam : ini (retakan pada kaca) karena tidak ada kelonggaran antara kaca dengan pintu kayu. Saat panas, kaca jadi pecah. Aku ikutan mengangguk, menanggapi serius gumaman bapak tersebut. Dalam prinsip fisika, setiap benda yang dipanaskan akan mengalami pengembangan. Hasil dari pengembangan itu menyebabkan besi akan lebih memanjang, kaca akan melebar, dan partikel air akan melonggar. Menyadari sifat alamiah benda ini, maka perlu diperhitungkan ruang “toleransi” pada saat pemasangan benda yang kerap terpapar suhu panas, contohnya kaca pada pintu ini. Ruang toleransi itu memberikan “kelegaan” saat secara alamiah kaca mengalami pengembangan. Bukan saja benda, jiwa manusia pun hendaknya menyertakan ruang “toleransi” saat menyikapi situasi “panas” kehidupan. Tidak ada kehidupan yang sejuk-sejuk saja. Semakin banyak orang berinteraksi, semakin banyak gesekan dalam kehidupan. Setiap gesekan dapat menimbulkan “panas” yang melebarkan taraf emosi seseorang. Saat pelebaran itu tidak diimbangi oleh ruang toleransi yang cukup, maka keretakan hidup sangat mudah terjadi. Jiwa yang retak menjadi rentan untuk berperilaku tidak rasional, diluar kebiasaan baik yang sebelumnya dipupuk dan ditanamkan dalam diri. Dalam ilmu kejiwaan (psikiatri), kegilaan (skizofrenia) didefenisikan sebagai jiwa yang retak. Tampaknya ruang toleransi dalam kehidupan di Indonesia semakin tipis. Lebih parah lagi, banyak juga yang tidak menyediakan ruang toleransi sehingga mudah sekali mengalami keretakan. Hasilnya, dapat kita dengarkan pertikaian dan perpecahan di mana-mana. Dalam sebuah artikel di Kompas, kita baca betapa murahnya harga nyawa manusia di kota besar (Jakarta). Permasalah tusuk menusuk karena masalah lahan pemulung sampah sampai lahan parkir sebagai pemicunya. Sebagian tempat lagi mengalami pergolakan karena beberapa kelompok memiliki pemahaman yang berbeda mengenai cara beribadah. Semua permasalah itu, bagi Saya, dikarenakan kurangnya ruang toleransi dan pemahaman batas ruang toleransi tersebut. Di samping menyediakan ruang toleransi, seseorang harus juga menyadari bahwa yang namanya ruang toleransi itu adalah ruang “tambahan” yang memiliki luas terbatas. Jadi, yang harus dilakukan adalah mulai duduk bersama dan menyelesaikan masalah sebelum ruang toleransi yang dimiliki tiap orang tidak mampu menampung pelebaran jiwa yang “memanas”. Hampir kebanyakan dari kita mengharapkan hidup yang damai, sejuk, dan harmonis. Kehidupan seperti itu hampir sangat jarang terjadi dalam dunia nyata. Jikapun terjadi, biasanya dalam waktu yang singkat. Justru karena harapan yang baik itu, kita harus menyediakan ruang toleransi dalam jiwa/kehidupan kita. Inilah menariknya hidup di dunia selaku makhluk sosial. Kita berusaha untuk berinteraksi dengan sesama, membangun kesamaan prinsip, meski sesekali terdapat perbedaan. Di antara ke dua kutub inilah kita menemukan harmoni, suatu keseimbangan yang dapat dicapai dengan membangun ruang toleransi. Marilah kita berdoa : Tuhan yang Maha Kasih, Engkau memberikan kami keluarga, sahabat, bahkan orang-orang yang tidak sependapat dengan pemikiran kami untuk menunjukan betapa berwarnanya kehidupan ini. Melalui merekalah Aku melihat karya-karyaMu yang membangun kepribadian diriku. Ajarkanlah Aku untuk membukakan ruang toleransi saat berinteraksi dengan mereka supaya Aku dapat melihat lebih baik berkat yang Kamu bawa melalui mereka. Bukakan pula hati Mereka supaya memberikan ruang toleransi dalam kehidupan mereka sehingga kami dapat hidup dengan harmonis. Amin. Selamat menjalani hari yang lebih baik. (tertulis dalam http://knowyuwono.blogspot.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H