Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cinta Idealis dan Cinta Liberalis: Jalan Menuju Cinta Alternatif

1 Juli 2016   11:50 Diperbarui: 1 Juli 2016   17:21 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Al Muvti Bhutasvara - Setiap manusia tentu merasakan ‘cinta’ dengan pengalaman pribadi masing. Ada yang indah dan dunia begitu gemerlap dengan cintanya, ada yang buram karena cinta yang cenderung menyiksa batin. Hati, ialah muara dari bolak-baliknya perasaan, dan cinta yang menyulut hati itu berbunga atau berduri bahkan retak gemeratak.

Dengan pengalaman tadi setiap manusia mempunyai penyikapannya masing-masing. Banyak faktor sih yang mempengaruhi tentang cinta, yaitu dipengaruhi kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Ini bukan ceramah ilmiah tentang negara ini. Bukan mengesankan pembahasan berat dan sangar dan kaku. Tapi menterjemahkan maksud dan arti dan keadaan cinta dalam aspek yang konperhensif.

Kembali lagi pada cinta dan pengalaman cinta. Dari segenap pengalaman manusia merasakan dan memperjuangkan cintanya, maka dapat dibedakan dalam dua kategori cinta. Pertama,cinta yang idealis, dan kedua,cinta liberalis. Pembagian ini sengaja dimunculkan oleh penulis untuk menghadirkan istilah kontemporer dalam cinta yang tidak cenderung ke-kanan-kananan, ke-barat-barat-an, ke-kimcil-kimcil-an. Sudah terlalu banyak istilah tentang cinta yang bermunculan, kita tahu dari mana sumber masalahnya, dari: Media.

Sebelum mengkaji, apa itu ‘cinta idealis dan cinta liberalis’ alangkah baiknya kita tahu bahwa dari mana sihistilah-istilah gaul yang bernuansa kemudaan itu. Seperti adanya istilah ‘pacaran’, kalau kita telisik dari manuskrip sejarah, lontar, aksara-aksara di candi, hingga dokumen sejarah paska kemerdekaan sembilanbelas empatlima itu, belum juga ada yang berbicara tentang pacaran.

Bahkan jika kita gali dalam setiap ajaran agama di dunia, belum juga ada ajaran dari agama di dunia yang berbicara secara jelas dan terang mengenai pacaran. Anehnya, kita manusia, bahkan yang terpelajar sampai profesor mengamini ‘pacaran’ seolah menjadi ajaran dan dogma yang mesti (walau tidak wajib) dijalani dalam proses menjalin hubungan kasih dan sayang antar lawan jenis. Bahkan jika memang tidak ditemukan dalam ajaran, maka akan dicari pembenaran-pembenaran dari dalil-dalil agama (Pokoknya pacaran itu sah!).

Barangkali ketika sebuah band dari Yogyakarta mengeluarkan debut lagunya berjudul Jadikan Aku Pacarmuitu menjadi buih mekarnya istilah pacaran dan meroket ke seluruh nusantara. Atau istilah ‘Buaya Darat’ yang dimunculkan oleh band Ratu, untuk menyebut laki-laki yang gemar mempermainkan hati wanita.

 Tidak juga seperti itu, terkadang lagu mengambil tema tentang fakta sosial dan realita yang berkembang. Seperti lagu ‘Sakitnya Tuh Disini’ yang dinyanyikan oleh Citacitata itu menukil dan menyerap kata dan makna dari memesebuah display personal(DP) Blackberry Messanger (BBM). Lagi-lagi saya harus menyebut bahwa lahirnya istilah  kemudaan itu adalah hasil pernikahan yang tidak diketahui Bapak-Ibu yang mengandung sampai melahirkan dan itu lah bayi premateur buah hasil persengkongkolan korporasi media.  Anehnya, lapisan masyarakat dari pucuk menara gading perguruan tinggi sampai kedai-kedai warung kopi jarang yang membahas secara kritis tentang pacaran, tapi lebih bercerita sebagai orang yang berbahagia atau korban dari bencana cinta yang ibarat menanam bom waktu yang ketika waktunya meledak akan tersembur butiran airmata.

Jelas sekarang, bahwa istilah ‘pacaran’ dan sanak teman-temannyaadalah anak ideologis yang lahir bukan berdasar historis dan nilai, maka jauh jika dilekatkan pada landasan, garis, dan visi perjuangan. Istilah kemudaan itu merupakan buah bibir dari mereka yang hedonis, hidup hanya mencari senang. Walau begitu istilah kemudaan tadi juga merambah dan diimport oleh agen-agen gerakan (aktivis) yang menyerahkan hidup dan matinya pada hakikat perjuangan, demi tumpah darah Indonesia.

Disini saja, pembahasan pacaran yang akan mengantarkan kita pada dua kategoris di atas tentang ‘Cinta idealis dan cinta liberalis’ akan lebih mudah dan renyah ditangkap. Dua istilah itu dialamatkan pada aktivis-aktivis yang tengah berjuang dan membawa cinta selama perjuangan. Maka tidak jarang jika para aktivis itu akan mencari pembenaran dan keselarasan dengan istilah pacaran yang biasa dipakai oleh kaum hedon dengan nilai, ideologi dan visi perjuangan.

Walau begitu, bagi kalangan umum atau publik dapat juga memetik pengetahuan yang berguna dari dua istilah itu: cinta idealis dan cinta liberalis. Karena kategori ini tidak jauh berbeda dengan di lapangan keseharian, namun hanya penyebutan kata tambahan agar terlihat berbeda dan sekaligus menjadi bentuk penyempurnaan istilah ‘pacaran’ yang terlepas dari fakta sosial dan tercerabut dari akar kebudayaan, karena seringkali orang berpacaran itu berkata:  “Oh, dunia seakan milik kita berdua”.

Cinta Idealis, Cinta Sejati atau Cinta Buta

Mula-mula kita dari ‘cinta idealis’, apa itu. Terkadang, dan kebanyakan juga begitu, para muda-mudi terutama mereka yang tengah menduduki di bangku SMA atau awal-awal kuliah akan masih terpesona dan terangan-angan sampai terbuai dengan tampilan, peragaan, alur cerita dalam ceritapendek, novel, film, sinetron tentang cinta. Ingat dengan film Titanic, ketika muda-mudi itu melihat cerita, tokoh, alur, adegan demi adegan, maka secara tidak langsung para penonton, muda-mudi itu, menganggap dan mengkhayal pemeran tokoh dalam film Titanic adalah ‘aku!’. Bagi yang laki-laki menjadi Jack  dan perempuan menjadi Rose.

Tidak selesai disana, para muda-mudi paska menonton film Titanic atau film romantis lainnya akan terbawa dan dikhayalkan sampai ke dunia nyata. Dan ketika memang mereka memiliki pasangan maka akan dianggap pasangan mereka adalah pemeran dalam cerita itu. Maka pembicaraan, obrolan, pernyataan hampir banyak meniru kalimat-kalimat film romantis yang telah menginspirasi.

Tidak jarang, muda-mudi itu menganggap pasangannya adalah cinta sejati. Padahal mereka tidak tahu apa itu cinta sejati. Muda-mudi itu hanya mengkhayal, hanya khayal, seolah-olah dia cinta sejati (ku), walau kenyataan tidak.

Padahal kalau boleh dikaji secara kritis. Jika dikomparasikan antara kehidupan muda-mudi dengan potret kehidupan tokoh film yang menjadi inspirasi mereka itu begitu jauh, bahkan tidak mempunyai titik temu, entah, berbagai macam faktor, baik budaya, etnik, geografis. Jikalau dikatakan si pasangan adalah cinta sejati, kenapa tidak mau diajak berjuang bersama-sama, kenapa tidak bisa diajak hidup soro(susah) bersama. Buktinya, selama pacaran kenapa agenda ngedetdilakukan hanya (kebanyakan) berdua-duaan saja, dan mencari tempat-tempat yang remang dan menyenangkan saja. Dan jika menyenangkan kenapa mereka tidak berfikir untuk membagi kesenangan bersama rakyat?.

Inilah giringan budaya pop barat dan akibat lanjutannya masyarakat tercerabut dari fakta sosial kehidupan dan keharusan bermasyarakat. Pada akhirnya menciptakan masyarakat yang individualis, hedonis, dan acuh tak acuh dengan keadaan sekitar, tapi intinya: “kau dan aku bahagia selamanya, dan hanya kamulah cintaku, hanya kamu”.Kata-kata yang nyaris miripfilm-film romantis yang diadopsi oleh muda-mudi untuk sekedar meluluhkan hati pasangan.

Terkadang, jika pasangan telah memutuskan untuk pergi (putus) atau mendapat teguran dari pihak lain (orang tua atau kerabat) agar berpisah. Terkadang pasangan yang diputuskan itu masih menganggap dan menyakini dan (bahkan) mengimani bahwa pasangan yang pergi itu tetap cinta sejati. Dan tidak mau berganti pasangan lain, kecuali dia lagi, dia lagi, lagi-lagi dia. Inilah barangkali, definisi cinta sejati itu bergeser menjadi cinta buta. Walau banyak orang yang menyenangi, tetap, dia tetap memilih orang yang ia cintai walau kenyataannya telah memutuskan pergi, selamalamanya. Akhirnya ia rela sendiri (jomblo) dan tidak mecintai dan memacari orang lain kecuali dia, lagi-lagi dia. Dengan alasan idealis dan syar’i, ia berkata: “Aku tidak mau berhubungan orang yang tidak aku cintai, aku tidak mau menyakiti hatinya, aku masih mencintai dia, bagaimana aku berhubungan dengan orang lain sedang aku masih mencintai dia, tak mampu aku membagi hati, jika ada yang sakit di kemudian hari”.

Cinta seperti ini dapat dikategorikan sebagai cinta yang idealis sekaligus syar’i. Sebuah idealisme itu akan selalu terkandung dalam diri seseorang jikalau ia masih menyakini sebagai kebenarannya, dan dalam hal ini cinta seperti itu adalah cinta yang memang berangkat dari keyakinan sendiri. Tetapi itu termasuk cinta yang syar’i, artinya si pecinta tadi mempunyai pedoman, rule,konstitusi, aturan (yang dibuat-buat sendiri) yang tidak bisa dilanggar dan wajib dipatuhi atau lebih baik mati saja dari hidup ini. Cinta seperti ini tergolong puritan dan fundamental, ibarat kaum Islam, maka pecinta ini tergolong radikal dan ekstrimis.

Disitulah cinta sejati yang ilusi bergeser menjadi cinta buta. Dan cinta sejati tidaklah cinta biasa yang sekedar ingin mencari keenakan dan kepuasan belaka, tetapi mereka yang sepasangan kekasih yang rela hidup bersama dan sanggup menahan beban cobaan bersama-sama. Juga saling mengerti dan memahami. Bukan begitu saja menerima tanpa mempertimbangkan penerimaan balik dari lawan pasangan, tidak seakan membunuh diri sendiri demi pasangan, melainkan saling menghidupkan. Kategori cinta idealis yang sejati inilah yang patut menjadi patokan bagi muda-mudi. Bahkan orang tua mereka telah menyatakan dan memperjuangkan, itulah cinta idealis yang sejati.

Cinta Liberalis; Dari Siapa Dia Sampai Siapa Saja

Saya teringat dengan humor Kiai Zubaidi Muslih, ketika memberikan sambutan pada acara perpisahan siswa (tanpa siswi)  kelas duabelas Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyyah Tebuireng. Disana Kiai Zubaidi menceritakan pengalaman seseorang ketika mencari cinta (pasangan). Ketika muda ia akan menanyakan ‘Siapa dia?’, karena masih yakin dengan kemampuan, kemudaan, dan ketampangan yang menarik dan diyakini mampu memikat. Maka sasaran orang yang akan dijadikan pasangan itu tentu tampan/cantik, wajar, karena tampilan dari luar akan selalu menjadi perebutan sengit. Akan tetapi, ketika seseorang itu merasa gagal dan gagal mendapatkan dan merebut tambatan hati, maka yang kerap menjadi pertanyaan yang ia ajukan adalah ‘Siapa saja’.

Dari sini, apa yang dimaksud dengan pertanyaan ‘siapa saja’ adalah bagian dari cinta liberalis. Dikategorikan ‘liberalis’ karena cinta tersebut cenderung bebas, maka ‘siapa saja’-lah. Tidak peduli bagaimana dia, asalkan dia mau, kenapa tidak.

Bukan saja faktor tidak laku atau beruntung mendapat pasangan se-ra-si.Ada pula yang merasa gengsi dan terjerumus oleh lingkungan, karena kebanyakan teman dan kerabat memiliki pasangan sedangkan dia belum. Bukan karena tidak laku, karena memang belum mencoba, akan tetapi karena melihat lingkungan sosialnya yang menggiring dia untuk pacaran, maka ‘siapa saja’-lah. Cinta seperti dapat digolongkan ‘cinta pasaran’ dalam cengkraman kapitalisme, dimana pecinta lebih berkedok demi citra diri di hadapan kerabat dan saudara, artinya hanya mengikuti selera pasar.

Terkadang orang-orang yang memiliki aliran cinta liberalis bukan keseluruhannya diakibatkan tidak lakunya atau tidak beruntungnya mendapat pasangan. Adakalanya yang karena beruntung maka banyak orang yang dijadikan pasangan. Tipikal seperti ini dapat dikatakan playboy/girldan bagi orang yang beraliran cinta idealis akan menganggap, bahwa orang playboy/girlitu perusak keindahan cinta. Maka ‘siapa saja’-lah asalkan mampu memuaskan batin.

Cinta Aswajais, Jalan Cinta Alternatif

Ada seorang teman, kebetulan dia pernah menjabat sebagai Guberner Fakultas pada sebuah perguruan tinggi. Di tengah-tengah forum ngopidengan teman-teman sesama perguruan tinggi. Tiba-tiba ia mencetuskan pemikiran cinta moderat. Artinya, cinta yang dimaksud bukan cinta yang idealis dan juga bukan liberalis, dan baginya cinta moderat inilah alternatif, dan langka sekali yang menggunakannya.

Ketika ditanya landasan argumentasi pemikirannya itu. Ia berseloroh, bibirnya keluar suara kalimat-kalimat Arab, dan jika diucapkan seperti ini, al-Muhafadzotu ‘ala qodiimi ash-Sholihu wal Akhdzu bil Jadiidi al-Ashlahu,artinya: jagalah tradisi lama yang bagus, dan petiklah tradisi baru yang lebih bagus. Teman-teman menggugat landasan argumentasinya dia, katanya itu prinsip atau slogan aliran Islam Aswaja atau sunni, bagaimana bisa dikaitkan dengan persoalan ‘cinta’.

Sebelum menjawab, temanku tadi menyeduh kopi, berhenti sebentar, lalu menghisap rokok dan meniupkan ke angkasa. Lalu ia berkata dengan tenangnya, bahwa maksud dari slogan atau maqolahAswaja yang dikaitkan dengan cinta (pacaran) memiliki arti tersendiri baginya, yaitu pacar lama yang baik harus dijaga dan kalau perlu setia sampai kakek-nenek, tetapi ambil-lah pacar baru yang lebih menarik, lebih cantik, lebih menawan. Dan saya beserta teman-teman lainnya melongo mendengar penjelasannya.

Seakan akan-akan tidak ada kategori cinta yang terbaik, karena memang cinta itu relatif, intim, dan subjektif. Rasa dan selera setiap manusia memang tidak selalu sama, tetapi bercita-cita dan berusaha menjadi manusia kamiladalah tujuan yang harus ditempuh, walau terkadang perbuatan terkesan berlawanan dengan tujuan itu, tetapi kenyataannya adalah jalan menuju pembentukan manusia kamil(sempurna).

Surabaya, Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun