Mohon tunggu...
Epri Fahmi Al-Aziz
Epri Fahmi Al-Aziz Mohon Tunggu... -

Aku berfikir Maka Aku Membaca. Aku Menulis Maka Aku Ada Jika Kata adalah Senjata Maka membaca adalah amunisinya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bumi Gonjang Ganjing oleh Penganut Dadakanisme

21 Januari 2017   08:07 Diperbarui: 21 Januari 2017   09:32 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, orang ramai – ramai mendadak jadi seorang aktivis. (Lo, kira jadi aktivis itu kaya bikin mie instan ditambah telor dadar ala anak kosan?). Akibat jadi aktivis jadi – jadian inilah dunia juga ikut mendadak angker. Bulu kuduk berdiri ketika mendengar seruan “Reformasi Jilid II”. Atau semboyan “Penjarakan Penista Agama”.  Tidak kalah merinding disko, pas mendengar sorak sorai “Pilgub DKI Jakarta”.  Inilah era dadakan, semuanya serba mendadak. Cabai mendadak mahal, listrik-bbm mendadak naik kelas, gas elpiji mendadak bakal menjulang tinggi.  Alhasil, ibu rumah tangga mendadak deg – degan. Sabar mah, jangan salahkan Bapak yang tak pernah mengandung.

Apa yang enak dalam soal dadak – mendadak? La, wong mendadak jatuh cinta bagi seorang jomblo sejati saja bisa bikin uring – uringan tak karuan. Sabar ya mblo, masih ada Gus Mul yang senasib sepenanggungan, mungkin bahunya bisa jadi sandaran, kasin sudah lama tak berkecimpung di dunia percintaan, hehe.  Satu – satunya di dunia ini yang enak soal urusan dadakan, yaitu “Rujak Dadakan” Kuliner khas Kabupaten Kuningan. Boleh nanti saya kirimkan untuk Cik Prim, kalau mau nerima saya jadi seling(a)nnya, #eh.

 Coba bayangkan deh, kalau semua orang di dunia ini mengamini paham dadakinisme. Semua aktivitas dijalankan serba dadakan, apapun urusannya dianggap enteng, tak ada perencanaan, tak ada kerja keras. Kondisi ini bakal lebih gawat tentunya ketimbang para lelaki yang so gawat pas mendengar pengumuman angka pertumbuhan Janda yang juga mendadak melejit. Para aktivis harunya mencontoh suhunya, wong Karl Mark saja untuk menemukan Ilmu “Kiri” sampai bertapa di gunung Huaguo untuk bertarung dengan Adam Smith. Musuh bubuyutannya, si pemiliki jurus tangan – tangan tak terlihat (Invesible Hand) yang juga tidak ujug – ujug jadi mahaguru “Kanan”.

Pennganut dadakanisme ini sudah mulai tampak bak jamur dimusim hujan. Diamini sebagai sebuah keyakinan yang tak terbantahkan oleh mereka para pemeluknya. Mulai dari generasi tempo dulu, hingga generasi kekinian tak luput dari virusnya. Macem – macem keinginannya, ada yang ingin mendadak jadi magiste dengan membeli Ijasah, ada yang ingin mendadak tergolong mahasiswa berprestasi dengan jual-beli angka. Wajari si, toh dalam tempo singkat saja sekarang bisa mendadak jadi Presiden. Gak aneh kalo kemudian tanda tangannya di dadak “Eh Keceplosan” begitulah beliau sering dadakan.

Mas Puthut Eka jangan kebawa ingin mendadak ganteng, sudah dari sononya situ ganteng, kemarin Ibu Sampeyan mengakui kegantengannya dan bilang ke saya “Anak Saya Ganteng Dari Lahri”.( Lagian juga mana ada orang tua yang mendadak bilang anaknya jelek). Jangan ikut – ikutan,  akibatnya enggan untuk berproses, enggan untuk sedikit demi sedikit menapaki jejak – jejak para Bapak Bangsa, yang dengan perjuangan panjangnya berhasil mendirikan Republik Indonesia, bukan Republik Cinta. Wahai para sidang zamaah mojokiyah, Indonesia tidak sekonyong – konyong merdeka, Indonesia tidak diciptakan tiba – tiba, apalagi dibangun dengan dadakan.

Sedikit mengingatkan, yang masih cinta mati kepada sesuatu yang berbau dadakan itu, sesegeralah bertobat, meminta ampunan kepada Tuhan kalian masing – masing. Teruntuk untuk aktivis dadakan, gubernur dadakan, presiden dadakan, apalagi ? Sebutkan sendiri saja lanjutannya. Bahwa Tuhan Yang Maha Esa dalam pasal 1 Pancasila, yang Maha-Besar, Maha-Sempurna, yang tak ada tandingan apalagi duanya menciptakan kalian beserta bumi yang kalian pijak  saja tidak dadakan, butuh proses ribuan tahun, sehingga tercipta yang namanya Bumi-Manusia. Sekarang ciptaannya ingin serba dadakan, sombong, kurang ajak sekali!

Move On

Cita – citanya setinggi langit, seluas angkasa, sedalam samudera, tapi memiliki watak dadakanisme. Aduh le, mas, piye toh, kalian itu ngigau namanya. Ingin mensejahterkan bngsa, membahagiakan rakyatnya, kemudia menggunakan resep dadakanisme pula. Hemm, akhirnya mengelola dan menyelenggarakan negaranya dengan becanda. Gagal paham rupanya, mbo ya jangan keseringan becanda seperti itu, keterlaluan namanya, basi!

Build Your Mindset, rubah pola pikirnya. Mulai sekarang tancapkan dalam hati, tekadkan dalam akal sehat, berjanji pada Ilahi, akan  untuk tidak menjadi pribadi – pribadi yang tidak kenal istilah gagal move on. Sudah saatnya, beranjak dari tempat tidur, bangun dari hibernasi yang melelahkan. Kelamaan tidur bisa bikin pusing, sepakat tidak? Bumi bisa gonjang ganjing kalau yang tidurnya para akademisi, cendekiawan, aktivis, mahasiswa, pemerintah negara, pasti rakyat bakal tambah pusing.  

Tinggalkan tindak tanduk dadakanisme yang berwatak culas, malas. Sesegeralah cuci muka, buka jendela seluas mata memandang, bawa Indonesia didalamnya. Bukannya apa – apa, kita akan kebagian bonus demografi, kasin regenerasi apabila tidak sesegera diberi contoh move dan diajarkan on. Percayalah, jika dadakanisme ini terus berlangsung, niscaya generasi Indonesia akan menjadi generasi yang rapuh.

Menjadi Indonesia, bukan soal mendadak menyanyikan lagu Indonsia Raya – apalagi nyanyi mars Perindo ngehe itu - . Menjadi Indonesia pula bukan soal semboyan “Cintai Produk – Produk Indonesia”, sementara gempuran produk asing iring berganti dadakan menjadi primadona dalam negeri. Menjadi Indonesia, bukan dadakan menghapalan seperti yang diajarkan dibangku pendidikan. Menjadi Indonesia, bukan dipraktikan dengan mendadak memakai sarung ( agar terlihat Ke-Indonesian). Apalagi? Halaman mojok gak bakal muat menampung kalau disebutkan rigit satu per satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun