Mohon tunggu...
Anggara Adhari
Anggara Adhari Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

https://www.facebook.com/anggara.adhari.31

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimana Cara Kita Mengenal Allah?

23 November 2017   08:08 Diperbarui: 23 November 2017   08:35 3952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang Arab menyebutnya Allah, orang Aram menyebutnya Elah, orang Kanaan menyebutnya El, sedangkan orang Ibrani menyebutnya Elohim. Sebenarnya siapakah Dia? Jika ditelusuri kepada orang-orang yang menyebutkan nama tersebut, mereka menganggap-Nya sebagai sebuah entitas yang paling tinggi kedudukannya dan yang paling berkuasa atas segala-galanya. Orang Indonesia menyebut entitas ini dengan menggunakan kata 'Tuhan'. Sedangkan orang-orang yang menggunakan bahasa Inggris menyebutnya sebagai 'God' tanpa huruf 's' atau imbuhan 'ess' untuk membedakan dengan 'Gods' (dewa-dewa) dan 'Goddess' (dewi-dewi) dalam Mitologi.

Di Indonesia sendiri kata Allah ini tidak hanya digunakan oleh mayoritas penduduknya yang beragama Islam, akan tetapi kata ini juga digunakan oleh saudara sebangsa mereka yang beragama Kristen dan Katolik. Baik umat Islam maupun Kristen dan Katolik, menggunakan kata ini di dalam kitab suci mereka maupun di dalam khotbah-khotbah mereka.

Hanya kemudian mereka memiliki perspektif berbeda tentang entitas yang diwakili kata ini, pemeluk Islam meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan tanpa boleh dibagi menjadi manifestasi lain, sedangkan pemeluk Kristen dan Katolik juga menganggap bahwa Allah ini satu-satunya Tuhan, namun terbagi menjadi tiga persona dengan misi masing-masing. Berhubung penulis adalah seorang muslim, jadi pembahasan berikutnya akan berdasarkan perspektif Islam, agar penulis tidak dianggap 'lompat pagar' orang lain.

Dalam perspektif Islam, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh tanpa memiliki ilmu, tetapi manusia dibekali fitrah (sifat alamiah) untuk mencari tahu siapa penciptanya dan apa tujuannya dia diciptakan di muka bumi. Dan mau tidak mau, fitrah ini akan mendorongnya untuk mencari tahu kedua hal tersebut selama hidupnya. Namun, di tengah perjalanan ada beberapa orang yang menolak dorongan fitrah ini dan mengabaikannya yang pada akhirnya dia tidak mampu menjawab kedua pertanyaan di atas sampai matinya. Dan beruntunglah orang-orang yang mampu menjawabnya sebelum ajal kematian menjemputnya.

Fitrah hanyalah bekal awal atau bisa dikatakan starter kitdari Allah untuk kita mengenal-Nya. Sedangkan Allah dapat dikenali dengan pertanda-pertanda (aayaat) yang ia sediakan untuk manusia baik itu berupa pertanda kauniyah (ciptaannya) maupun pertanda syar'iyah (berita-berita yang diturunkan dari Allah kepada para nabi-Nya). Dari sekian banyak tanda yang Allah sediakan untuk kita mengenal-Nya, jika manusia masih saja gagal dalam mengenal-Nya, berarti sungguh sangat keterlaluan manusia itu sejatinya. Maka dari itu, sungguh keterlaluan jika seseorang bisa-bisanya menjalani hidup dan mati sebagai seorang ateis yang bahkan dia telah gagal menemukan keberadaan-Nya. Bagi kaum ateis mungkin keberadaan Allah ini adalah sebuah dongeng yang diceritakan terus menerus, turun menurun, dari generasi ke generasi sehingga diyakini sebagai sebuah kebenaran.

Akal manusia ketika melihat isi alam semesta yang beraneka ragam ini akan jatuh pada tiga kesimpulan. Pertama, mereka ada tanpa ada yang menciptakan. Kedua, mereka ada dengan cara menciptakan dirinya sendiri. Ketiga,  mereka ada karena ada yang menciptakan.  Dari ketiga kesimpulan tersebut mana yang paling masuk akal? Semisal ketika kita melihat ada kursi indah di depan kita, apakah mungkin kita katakan beda tersebut ada dengan sendirinya?

Apakah mungkin juga kita mengatakan benda tersebut menciptakan dirinya sendiri? Lalu bagaimana dengan alam semesta jagat raya dengan keindahan dan kompleksitas yang sangat tinggi ini yang jauh dari hanya sekedar sebuah kursi? Saya tidak akan memberikan jawaban kepada para pembaca yang budiman, karena saya yakin Anda semua masih memiliki akal sehat yang waras dan bisa dipakai dengan baik dan semestinya. Kecuali jika tidak demikian, maka Anda tidak disarankan membaca artikel ini karena tidak relevan bagi Anda.

Setelah mendapatkan jawaban bahwa adanya pencipta yang kemudian nanti kita akan menyebutnya bersama dengan sebutan Allah, lantas apa yang kemudian Dia lakukan setelah mencipta alam semesta beserta isinya ini? Setelah menciptakan semua ciptaanNya, Dia mempunyai hak kepemilikan atas hal tersebut. Tidak ada yang boleh memprotes hal ini. Maka dari itu, kepemilikanNya bersifat absolut (termasuk diri kita semua ini adalah bagian dari yang Dia miliki).

Setelah Dia memiliki penuh ciptaanNya, Dia juga menguasainya secara penuh. Untuk menjelaskan konsep ini sebagai contoh, pak Amat memiliki sepeda motor, sepeda motor pak Amat berada di rumah anaknya dan sehari-hari anaknya yang menggunakannya. Jadi di sini pak Amat memiliki sepeda motor tetapi tidak menguasainya, karena sepeda motor di bawah penguasaan anaknya. Sebaliknya anak pak Amat menguasai sepeda motor, tetapi tidak memilikinya karena kepemilikan masih milik pak Amat. Sedangkan Allah, Dia memiliki secara mutlak dan menguasai secara mutlak.

Setelah menciptakan, memiliki, dan menguasai, Allah juga mengatur ciptaanNya dengan sebaik-baik pengaturan. Ada yang Dia atur dijadikan sebagai makhluk hidup, ada yang Dia atur dijadikan sebagai benda mati penyokong kebutuhan makhluk hidup. Dia juga mengatur jatah rezeki masing-masing dari makhlukNya dan Dia juga mengatur kapan masanya berakhir. Termasuk bentuk pengaturanNya ini bahwasanya Dia menetapkan sunatullah (hukum universal) yang berlaku di atas dunia ini seperti benda jatuh dari tempat tinggi, air mengalir ke tempat yang lebih rendah, hukum sebab-akibat, dan sebagainya. Semua ini yakni menciptakan, memiliki, menguasai, mengatur adalah sifat dasar dari Tuhan. Sebaliknya, jika sesuatu itu diciptakan, dimiliki, dikuasai, dan diatur berarti sesuatu tersebut tidak pantas menyandang predikat Tuhan.

Sampai di sini setelah kita tahu keberadaanNya, apa yang Dia telah lakukan, tentunya boleh jika Dia menuntut kepada kita semua bahwa Dia satu-satunya yang berhak diagungkan (baca: disembah). Menjadi tidak pantas jika Dia yang menciptakan kita, menyediakan rezeki bagi kita, tetapi kita malahan menyembah sesuatu yang lain selain diriNya. Sebagai contoh, seorang bapak telah merawat dan membesarkan anaknya dengan baik dan penuh perhatian, dari anak itu tidak tahu apa-apa sampai menjadi orang yang hebat luar biasa. Ternyata setelah dewasa dan sukses, si anak ini mengakui orang lain sebagai bapaknya dan tidak mengakui apa yang telah dilakukan bapaknya yang asli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun