Kita mungkin memiliki agama, keyakinan, atau pandangan yang berbeda. Namun, jika kita mau membuka hati, perbedaan itu bisa menjadi kekuatan, bukan penghalang." Gus Dur
Di pagi yang cerah di Pesantren Bismillah, Serang, terjadi momen yang tak terlupakan ketika pertemuan singkat bisa menyatukan hati. Dari tanggal 30 Oktober sampai 1 November 2024, Kanisian mengikuti perjalanan yang memperkenalkan arti toleransi. Di usianya yang ke-17, Para Kanisian mengalami pengalaman yang berbeda menginap di pesantren, tinggal bersama santri, dan merasakan kehangatan yang lebih dari sekadar formalitas.
Pada hari pertama, rasa canggung muncul seperti tamu yang tidak diundang. Sebagai anak kota, Beberapa para Kanisian sudah terbiasa dengan kehidupan yang cepat, penuh teknologi, dan ritme yang berbeda. Namun, perasaan itu hilang ketika melihat senyum hangat para santri yang menyambutnya seperti keluarga.Â
Dengan kesederhanaan yang menenangkan, mereka membuka hati. Percakapan tentang kehidupan menjadi jembatan. Para santri menceritakan rutinitas mereka di pesantren---bangun pagi untuk shalat, belajar agama, dan mengikuti kegiatan sehari-hari. Sebagai balasannya, Kanisian berbagi cerita tentang kehidupan di Jakarta yang ramai.
Ketegangan yang ada mulai hilang saat Kanisian dan santri bermain basket bersama. Ternyata, olahraga bisa jadi jembatan yang menyatukan mereka! Tawa dan kerja sama di lapangan membuat semua perbedaan seakan lenyap.
Hari kedua membawa seluruh Kanisian dalam sebuah petualangan yang menakjubkan menjelajahi air terjun. Perjalanan ini bukan hanya sekadar menikmati keindahan alam; itu juga menjadi waktu untuk merenung tentang bagaimana alam mengajarkan kita untuk hidup sederhana. Selama perjalanan, Kanisian dan teman-teman santrinya saling berbagi cerita, tertawa tentang hal-hal kecil, dan merasakan kebersamaan yang hangat.
Di tengah suara gemuruh air terjun, Kanisian merasakan ketenangan yang luar biasa tidak ada lagi perbedaan antara "anak kota" dan "anak pesantren." Mereka hanyalah sekelompok remaja yang merayakan kebahagiaan bersama dalam harmoni.Â
Air yang mengalir deras menjadi simbol kehidupan yang terus maju meskipun ada banyak tantangan. Malam itu, permainan catur antara seorang Kanisian dan seorang santri menarik perhatian banyak orang. Mereka berdiskusi tentang strategi dan teknik permainan, yang mengingatkan kita bahwa meskipun ada perbedaan, kita masih bisa menemukan kesamaan.
Di hari terakhir sebelum berpisah, Kanisian dan santri saling bertukar kontak media sosial. Ini adalah langkah kecil untuk menjaga hubungan yang telah terjalin. Ada rasa sedih saat meninggalkan pesantren. Tiga hari yang singkat itu terasa sangat berarti, mengajarkan kita tentang arti "persaudaraan."
Sosiolog Robert Putnam pernah mengatakan, "Jaringan sosial yang kuat adalah dasar dari masyarakat yang harmonis." Pengalaman ini menunjukkan bahwa kita hanya bisa merayakan keberagaman jika kita saling bertemu. Tanpa adanya interaksi, keberagaman hanya akan menjadi ide kosong yang sering kali menyebabkan perpecahan.
Di Indonesia, pertemuan antar kelompok sangat penting untuk memperkuat rasa nasionalisme. Pertemuan semacam ini adalah langkah kecil untuk menguatkan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa momen-momen seperti ini, impian akan persatuan bisa jadi hanya sekadar kata-kata tanpa makna.
Keberagaman bisa menjadi alat untuk menyatukan jika dikelola dengan baik. Anak-anak muda perlu diberi kesempatan untuk saling mengenal, belajar, dan membangun kepercayaan. Pendidikan harus menjadi fondasi utama dalam membentuk cara berpikir yang inklusif. Teknologi, yang sering dianggap memisahkan, sebenarnya bisa menjadi alat penyatu jika digunakan dengan bijak.Di Indonesia, pertemuan antar kelompok sangat penting untuk memperkuat rasa nasionalisme. Pertemuan semacam ini adalah langkah kecil untuk menguatkan kembali semangat Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa momen-momen seperti ini, impian akan persatuan bisa jadi hanya sekadar kata-kata tanpa makna.
Contohnya, di Kanisian Pesantren al furqon, keberagaman bisa menjadi alat untuk menyatukan jika dikelola dengan baik. Anak-anak muda perlu diberi kesempatan untuk saling mengenal, belajar, dan membangun kepercayaan. Pendidikan harus menjadi dasar utama dalam membentuk cara berpikir yang inklusif. Teknologi, yang sering dianggap memisahkan, sebenarnya bisa menjadi alat penyatu jika digunakan dengan bijak.
Dalam puisi Kahlil Gibran, terdapat bait yang mengatakan: "Bangun di pagi hari dengan hati yang ringan seperti awan, bersyukur atas hari baru yang penuh dengan cinta." Pengalaman ekskursi ini mengajarkan Kanisian untuk menghargai keberagaman. Keberagaman adalah sebuah hadiah yang perlu kita lestarikan, bukan sesuatu yang harus kita hindari. Menciptakan harmoni di tengah perbedaan memang tidak mudah. Namun, itu adalah pilihan yang harus kita ambil jika kita ingin meninggalkan Indonesia yang lebih baik untuk generasi yang akan datang.
Sebagai penutup, pengalaman ini mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang. Sebaliknya, perbedaan adalah jembatan untuk saling memahami. Di tengah dunia yang selalu berubah, harmoni adalah sebuah komitmen. Dan komitmen itu harus dimulai dari diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H