Pemerintah dianggap secara umum belum memberikan perlakukan dan perlindungan lebih terhadap Orang Rimba sebagai kelompok khusus dalam kebijakan pembangunan.
Kedua, Hak terhadap tanah ulayat, Dimana ada upaya dari kebijakan TNBD mengurangi dan atau tidak mengakui hak ulayat orang rimba. Ketiga, Hak hidup secara bemartabat, Dimana telah terjadi pembatasan, pengurangan, dan pelarangan terhadap aktivitas kehidupan Orang Rimba sebagai akibat kebijakan TNBD.
Keempat dan kelima, Hak atas kesehatan dan pendidikan, dimana pemerintah tidak menyediakan sarana dan prasarana yang layak, mampu diakses, dan dapat diterima orang rimba. Keenam, Hak atas informasi, dimana pemerintah tidak memberikan dan menyediakan nformasi yang cukup, adil, dan transparan dalam kebijakan TNBD secara umum.
Ketujuh, Hak atas pengembangan diri, dimana program pemerintah untuk memukimkan orang rimba di desa telah menyebabkan kehidupan orang rimba tidak berkembang, bahkan sebaliknya menyebabkan pengembangan diri orang rimba terhambat.
Kedelapan, Hak atas rasa aman, dimana telah terjadi pelanggaran hak atas rasa aman, dimana telah terjadi ancaman dan pelarangan aktivitas hidup orang rimba, perusakan hak milik yang menyebabkan ketenangan hidup orang rimba terusik dan terganggu.
Kesembilan, Hak atas kepemilikan, dimana telah terjadi perusakan dan pemusnahan atas hak milik orang rimba, maupun upaya dari kebijakan taman nasional yang berpotensi menghambat, membatasi, dan mengurangi hak milik orang rimba.
Kesepuluh, Hak untuk berpartisipasi, dimana pemerintah tidak membuka dan tidak mengajak partisipasi orang rimba dalam perencanaaan, perumusan, dan implementasi kebijakan taman nasional, khususnya atas penyusunan buku rencana pengelolaan taman nasional.
Kesebelas, Hak atas status kewarganegaraan, dimana pemerintah tidak memberikan hak berupa akta kelahiran bagi setiap anak orang rimba yang lahir sebagai bagian dari perlindungan dan pengakuan atas keberadaan orang rimba.
Keduabelas, Hak atas lingkungan hidup, dimana lingkungan alam sebagai habitat hidup dan sumberdaya penghidupan orang rimba telah rusak, di antaranya oleh kebijakan hak pengusahaan hutan dan ekspansi perkebunan sawit.
Begitulah nasib Orang Rimba Bukit 12, rumah sedemikian besar (60.500 hektar) yang katanya untuk mereka, untuk penghidupan mereka, untuk kedamaian dan kesejahtraan mereka, ternyata belum sesungguhnya menyentuh mimpi Aman, Nyaman, Damai dan Sejahtera.
Mereka tak merasa berdaulat di wilayah yang katanya untuk mereka itu, merasa asing dan akhirnya memilih hidup dipinggir-pinggiran desa-menjadi pengemis, ke kabupaten-kota-menjadi pengemis, hingga menjadi ‘pemalak’ di areal-areal kerja perusahaan, bentrok dengan masyarakat desa hampir setiap saat menjadi headline media massa, Menyedihkan dan berbanding tebalik dari apa mereka impikan semula.