Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Saputra
Dwi Wahyu Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Masyarakat Sipil

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Hukum Perdata Islam di Indonesia

29 Maret 2023   14:45 Diperbarui: 29 Mei 2023   21:03 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu Hukum Perdata Islam di indonesia ?

Mengenai Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia saya mengutip pendapat dari para tokoh seperti Muhammad Daud Ali dan Prof Dr. Ahmad Rofiq MA, Menurut Pendapat Muhammad Daud Ali berpendapat "Hukum Perdata Islam" adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang isinya hanya sebagian dari lingkup mu'amalah, bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang- undangan.

Sedangkan Menurut Prof Dr. Ahmad Rofiq MA Hukum perdata Islam di Indonesia adalah hukum atau ketentuan di dalam Islam yang mengatur tentang hubungan perorangan dan kekeluargaan diantara warga negara Indonesia yang menganut agama Islam, dengan tujuan agar di dalam hubungan hukum antara seseorang dengan orang lain yang beragama Islam, baik di dalam internal keluarga maupun dalam hubungan perorangan yang lain, yang berada di Indonesia, dapat berjalan dengan baik, dan tercipta tertib hukum, tertib sosial dan tertib masyarakat.

Menurut Pendapat dari kedua tokoh saya berpendapat mengenai pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia itu adalah sistem hukum yang mengatur masalah perdata berdasarkan ajaran Islam. Sistem hukum ini dibangun di atas dasar hukum Islam atau syariah, yang kemudian diaplikasikan ke dalam hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Hukum Perdata Islam di Indonesia mencakup berbagai macam bidang hukum seperti waris, nikah, talak, hibah, wasiat, dan lain-lain. Sistem hukum ini mempunyai peraturan yang mengatur hak dan kewajiban antara individu, keluarga, dan masyarakat dalam konteks hukum perdata.

Apa sih prinsip perkawinan dalam UU 1 tahun 1974 dan KHI ?

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur mengenai prinsip-prinsip perkawinan di Indonesia. Berikut adalah penjelasan tentang prinsip perkawinan dalam UU 1 tahun 1974 dan KHI.

Prinsip-Prinsip Perkawinan Menurut UU 1 Tahun 1974 Antara Lain :

  • Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri erlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan Kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
  • suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami boleh beristri ebih dari seorang.
  • Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa calon suami harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan batas umur untuk kawin bagi pria maupun bagi wanita ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
  • Adapun dalam aturan baru tersebut, menyebut bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki-lai. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan Kemen PPPA, dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
  • Undang-undang ini menganut prinsip mempersulit perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan pengadilan.
  • Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.

Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam KHI Antara Lain :

  • Ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan
  • Tidak semua wanita bisa dikawani pria, sebab ketentuan nasab, dan larangan perkawinan.
  • Membentuk keluarga yang kekal
  • Hak dan kewajiban suami istri seimbang
  • Perkawinan sah apabila memenuhi syarat dan rukun nikah
  • Ada kewajiban membayar mahar
  • Adanya masa tunggu atau iddah bagi peremuan yang cerai atau ditinggal mati suaminya, bila ingin menikah lagi.

Ternyata Pencatatan Perkawinan itu Penting ! lalu apa yang terjadi bila Perkawinan tidak dicatatkan ?

Pencatatan perkawinan harus dilakukan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu proses administratif yang resmi yang diakui oleh negara dan memiliki dampak hukum yang penting. Beberapa alasan mengapa pencatatan perkawinan penting adalah:

  • Kepastian hukum: Pencatatan perkawinan memberikan kepastian hukum bagi pasangan yang menikah dan keturunan mereka. Dengan memiliki dokumen resmi tentang perkawinan, pasangan dapat menghindari perselisihan di kemudian hari terkait dengan status perkawinan dan hak-hak yang terkait dengan status tersebut.
  • Hak waris: Pencatatan perkawinan memberikan kepastian hak waris bagi pasangan dan keturunan mereka. Dalam hukum waris, anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tercatat di PPN memiliki hak waris yang lebih jelas dan pasti dibandingkan dengan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat.
  • Hak asuh anak: Pencatatan perkawinan juga berdampak pada hak asuh anak. Dalam kasus perceraian atau perpisahan, pasangan yang menikah secara sah dan tercatat di PPN memiliki hak yang lebih jelas dan pasti dalam menentukan hak asuh anak.
  • Pelayanan publik: Pencatatan perkawinan juga memberikan manfaat dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik, seperti akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan.
  • Menjaga keamanan negara: Pencatatan perkawinan juga dapat membantu pemerintah dalam menjaga keamanan negara dengan mengetahui jumlah penduduk yang ada di suatu wilayah, termasuk jumlah pasangan suami istri yang sah.
  • Memberikan perlindungan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga: Dalam beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga, pencatatan perkawinan dapat menjadi bukti untuk menuntut perlindungan hukum dari pihak yang berwenang.
  • Kemudahan administrasi: Pencatatan perkawinan juga memudahkan pasangan dalam mengurus dokumen administrasi, seperti KTP, paspor, dan surat-surat penting lainnya, karena status pernikahan mereka telah tercatat secara resmi di negara.

Perkawinan yang tidak dicatatkan secara sosialis, religius, dan yuridis dapat memiliki dampak yang signifikan pada pasangan yang menikah dan juga pada masyarakat di sekitarnya. Beberapa dampak yang mungkin terjadi antara lain:

  1. Tidak diakui secara hukum: Jika perkawinan tidak dicatatkan secara yuridis, pasangan tersebut tidak diakui secara hukum sebagai suami istri. Ini berarti bahwa mereka tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti pasangan yang sah secara hukum. Misalnya, mereka tidak dapat memperoleh hak warisan, tidak memiliki hak asuransi, dan tidak memiliki hak-hak lain yang terkait dengan status pernikahan.

  2. Tidak diakui secara sosial: Jika perkawinan tidak dicatatkan secara sosialis, pasangan tersebut mungkin tidak diakui sebagai suami istri oleh masyarakat di sekitarnya. Ini dapat menyebabkan stigma dan diskriminasi terhadap pasangan yang tidak sah secara hukum.

  3. Tidak diakui secara religius: Jika perkawinan tidak dicatatkan secara religius, pasangan tersebut mungkin tidak diakui sebagai suami istri oleh agama yang mereka anut. Ini dapat menyebabkan masalah spiritual dan moral bagi pasangan yang percaya bahwa perkawinan harus diakui secara religius.

  4. Risiko perpisahan yang lebih tinggi: Pasangan yang tidak mencatatkan perkawinan mereka mungkin memiliki risiko perpisahan yang lebih tinggi. Tanpa ikatan yang kuat dari status pernikahan yang sah secara hukum, pasangan mungkin merasa mudah untuk memutuskan hubungan mereka ketika menghadapi masalah atau ketidakcocokan.

  5. Masalah keuangan: Pasangan yang tidak mencatatkan perkawinan mereka mungkin menghadapi masalah keuangan karena tidak memiliki hak untuk mendapatkan warisan dan hak-hak keuangan lainnya yang terkait dengan status pernikahan yang sah.

  6. Masalah anak: Jika pasangan memiliki anak, anak tersebut mungkin tidak memiliki status hukum yang jelas. Ini dapat menyebabkan masalah hukum dan keuangan bagi anak dan pasangan jika terjadi masalah keluarga di kemudian hari.

Oleh karena itu, sangat penting bagi pasangan yang ingin menikah untuk mencatatkan pernikahan mereka secara sosialis, religius, dan yuridis agar mendapatkan perlindungan hukum dan sosial yang diperlukan serta mencegah dampak negatif yang dapat terjadi.

Bagaimana sih pendapat para ulama dan Kompilasi Hukum Islam tentang pekawinan wanita hamil?

Dalam pandangan ulama dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) di Indonesia, pernikahan wanita hamil diperbolehkan, asalkan memenuhi beberapa syarat dan ketentuan tertentu. Menurut pandangan ulama, pernikahan wanita hamil tidak dilarang dalam Islam, karena kehamilan tidak mempengaruhi sah atau tidaknya pernikahan. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: Syafii, Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil karena zina, asalkan mengawininya itu laki-laki yang menghamilinya, sebab hamil seperti ini tidak menyebabkan haramnya dikawini. Dalilnya terdapat dalam QS. An-Nur: 3. Sedangkan Abu hanifah juga membolehkan mengenai hal ini. Secara umum, haram hukumnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain.

Tetapi bila wanita yang hamil akibat zina, maka ada beberapa pendapat ulama

  • Pendapat Imam Abu Hanifah

Menurut Abu Hanifah bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh (sesama pezina). Kalau pun yg menikahinya itu bukan laki2 yang menghamilinya, maka laki2 itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.

  • Pendapat Imam Asy-Syafi'i

Pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya.

Alasan: Janin yg bukan dari hasil perkawinan yang sah dianggap tidak ada, sehingga tidak berlaku masa iddah. Masa iddah menurut keduanya hanya dalam perkawinan yang sah dengan maksud untuk memelihara keturunan dan menghargai sperma.

  • Pendapat Imam Malik & Imam Ahmad bin Hanbal

Imam Malik & Imam Ahmad mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil, kecuali setelah ia melahirkan & telah habis 'iddahnya. Tapi jika tidak bertobat dari dosa zina, maka "menurut Imam Ahmad bin Hambal" dia tetap boleh menikah dengan siapapun. Pendapat Imam Malik tampak lebih berhati2 & lebih mashlahat demi memelihara agama.

       Dari penjelasan para imam madzhab tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu: Mayoritas ulama Jumhur cenderung membolehkan dan sebagian ulama menolaknya. Menurut Imam Syafi'i, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yg menikahi itu laki-laki yg mengahimilinya maupun bukan yg menghamilinya. Dengan alasan wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yg diharamkan dinikahi. Menurut Imam Hanafi, hukumnya sah menikahi wanita hamil yg menikahinya laki-laki yg mengamilinya, karna wanita hamil akibat zina termasuk golongan wanita-wanita yang haram dinikahi. Dalil nashnya terdapat dalam (QS. An Nisa: 22,23,&24). Menurut Imam Malik, hukum tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yg menikahi laki-laki yg menghamilinya. Bila akad tetapi dilakukan, akadnya fasid dan wajib difasakh.

      Sedangkan menurut KHI, pernikahan wanita hamil juga diperbolehkan, namun harus memenuhi syarat-syarat berikut: Sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) RI no.1/1991 :

  • Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
  • Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya.
  • Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Percaraian itu adalah perbuatan yang dibenci Allah dan Perceraian di hukumi halal ! lalu apa yang dilakukan untuk menghindari perceraian ?

Perceraian memang termasuk perbuatan yang dibenci Allah, karena akibatnya dapat berdampak negatif pada kestabilan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar kita menghindari perceraian sebisa mungkin, dengan cara-cara berikut:
1) Mendahulukan komunikasi yang baik: Komunikasi yang baik antara suami dan istri merupakan kunci utama dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Oleh karena itu, usahakan untuk selalu berbicara secara terbuka dan jujur, serta mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan pasangan.
2) Mencari solusi secara bersama-sama: Ketika ada masalah atau konflik dalam rumah tangga, janganlah mencari solusi sendiri-sendiri. Sebaliknya, usahakan untuk mencari solusi bersama-sama dengan pasangan, sehingga kedua belah pihak merasa dihargai dan disertai dalam proses pengambilan keputusan.
3) Menghargai peran dan tanggung jawab masing-masing: Dalam Islam, suami dan istri memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda, tetapi sama-sama penting dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Oleh karena itu, saling menghargai peran dan tanggung jawab masing-masing akan membantu menghindari konflik yang tidak perlu.
4) Meningkatkan kualitas ibadah: Selain menjaga hubungan dengan pasangan, menjaga hubungan dengan Allah juga sangat penting dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas ibadah seperti shalat, puasa, dan membaca Al-Quran akan membantu meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta menjauhkan dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai Allah.
5) Mengikuti tuntunan agama: Islam memberikan tuntunan yang jelas mengenai bagaimana menjalankan rumah tangga yang baik dan harmonis. Oleh karena itu, mengikuti tuntunan agama seperti mempelajari ajaran Islam, mengikuti kajian-kajian keislaman, dan membaca literatur mengenai Islam akan membantu memahami dan mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
6) Menghindari hal-hal yang dapat merusak hubungan: Terakhir, hindari hal-hal yang dapat merusak hubungan suami istri, seperti perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dan perilaku-perilaku yang merugikan pasangan. Jika suatu masalah muncul, janganlah memilih jalan pintas dengan bercerai, melainkan mencari solusi yang terbaik dan menghindari tindakan yang dapat merusak hubungan

Banyak Buku Terkait Hukum Perdata Islam di Indonesia yang dapat di buat referensi Salah satunya buku Hukum Keluarga Islam di Indonesia Karya Dr. H.A. Khumaedi Ja'far, S.Ag., M.H. setelah saya membaca saya menyimpulkan isi buku tersebut dengan penjelasan dibawah ini, serta buku ini memberikan inspirasi bagi saya terkait Pemahaman Hukum Keluarga Islam di Indonesia!

Judul buku yang saya review ''Hukum Keluarga Islam di Indonesia". Buku Karangan Dr.H.A. Khumaedi Ja'far, S.Ag., M.H.. Berdasarkan isi dari buku "Hukum Keluarga Islam di Indonesia" karangan Dr. H.A. Khumaedi Ja'far, S.Ag., M.H., dapat disimpulkan bahwa buku tersebut membahas tentang berbagai aspek hukum keluarga Islam di Indonesia, termasuk tentang pernikahan, perceraian, wasiat, hibah, wakaf dan waris. Buku ini memberikan penjelasan mengenai hukum-hukum tersebut berdasarkan referensi Al-Quran, Hadits, dan kitab-kitab fiqih yang dikaitkan dengan konteks hukum keluarga Islam di Indonesia. Selain itu, buku ini juga mengupas berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi hukum keluarga Islam di Indonesia, serta memberikan pandangan dan solusi yang dapat diterapkan. Buku "Hukum Keluarga Islam di Indonesia" ini ditujukan bagi para akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat umum yang ingin mempelajari dan memahami hukum keluarga Islam di Indonesia secara komprehensif dan berdasarkan sumber-sumber hukum yang sahih.

      Membaca buku "Hukum Keluarga Islam di Indonesia" karya Dr. H.A. Khumaedi Ja'far, S.Ag., M.H. dapat memberikan beberapa inspirasi, antara lain:

  • Pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum keluarga Islam di Indonesia: Buku ini membahas secara rinci mengenai hukum keluarga Islam di Indonesia, termasuk pernikahan, perceraian, warisan, wasiat, hibah, wakaf. Dengan membaca buku ini, Anda dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang aspek-aspek penting dalam hukum keluarga Islam di Indonesia.
  • Kesadaran akan pentingnya memahami hukum keluarga Islam: Buku ini dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya memahami hukum keluarga Islam, terutama bagi umat Muslim di Indonesia. Dengan memahami hukum keluarga Islam, seseorang dapat memperoleh pandangan yang lebih jelas tentang bagaimana mengelola hubungan keluarga dan menjaga keharmonisan keluarga.
  • Pemahaman tentang pentingnya menjaga keadilan dalam keluarga: Buku ini membahas berbagai aspek penting dalam hukum keluarga Islam. Dengan membaca buku ini, Anda dapat memperoleh pemahaman tentang pentingnya menjaga keadilan dalam keluarga, terutama dalam hal pembagian warisan.

Identitas :

Nama               : Dwi Wahyu Saputra

Nim                 : 192121188

Kelas               : 4 D HKI

Mata Kuliah    : Hukum Perdata Islam di Indonesia

Nama Dosen   : Bapak Muhammad Julijanto, S.ag., M.ag.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun