SEJARAH PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA.
Sebelum kemerdekaan masyarakat Indonesia menggunakan kitab hukum Compendium Freijer, yaitu kitab hukum yang didalamnya memuat aturan-aturan hukum Perkawinan dan hukum waris sesuai ajaran Islam. Juga muncul Rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat (Ontwerp Ordonantie op de Ingeschreven Huwelijken) bulan Juni tahun 1937 yang salah aturannya berbunyi Setiap perkawinan harus dicatatkan dalam catatan sipil.
Setelah merdeka, pemerintah RI telah membentuk sejumlah peraturan perkawinan Islam. Di antaranya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk Pasal 1 terdiri dari 6 ayat. Nikah yang dilakukan umat Islam diawasi oleh PPN yang diangkat oleh menteri agama, Talak dan Rujuk diberitahukan kepada Pegawai pencatat Nikah, Pasal 2 terdiri dari ayat 3, PPN membuat catatan Nikah, Talaq dan Rujuk dan memberikan kepada yang berkepentingan. Pasal 3 terdiri dari 5 ayat, sanksi bagi orang yang melakukan nikah, talak dan rujuk yang tidak dibawah pengawasan PPN Pasal 4, isinya perihal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang sebagai pelanggaran. Pasal 5 isinya peraturan untuk menjalankan UU oleh Menteri Agama Pasal 6 terdiri 2 ayat, isinya nama dari UU tersebjt, dan berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. Pasal 7, isinya undang yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Setelahnya disahkan UU no. 32 tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya UU Republik Indonesia pada tanggal 21 November 1946 mengenai UU Nomor 22 Tahun 1946 Tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah Jawa dan Madura. Jika dilihat pasal-pasal diatas, dapat diartikan bahwa ciri paling utama dari undang-undang tersebut adalah keinginan pemerintah agar catatan perkawinan, perceraian, dan rujuk bagi seluruh rakyat Indonesia bisa diberlakukan dengan lebih baik lagi. walaupun menurut undang-undang tersebut pencatatan pekawinan harus menetapkan ke-validan perkawinan sebelum berlangsungnya akad nikah. Meskipun begitu sebenarnya pengaruh utama dari pencatatan itu lebih kepada soal proses hukum, bukan kandungan hukumnya.
Selanjutnya terjadi proses terbentuknya UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang merupakan gagasan pemerintah untuk mulai membahas dan merancangn setelah berkali-kali dan sejak lama mendapatkan masukan dari organisasi wanita untuk sesegera mungkin dibuat UU perkawinan yang baru, dan membutuhkan waktu 7 bulan untuk menyelesaikannya. Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tentang Perkawinan yang telah disetujui oleh DPR itu disahkan dan menjadi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
PERLUNYA PENCATATAN PERKAWINAN.
Pencatatan perkawinan sangat penting, karena buku nikah yang diperoleh adalah bukti tentang keabsahan dari perkawinan itu, baik secara agama ataupun hukum. Dari buku nikah tersebut, mereka para suami istri bisa membuktikan keturunan yang sah dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya. Pencatatan perkawinan adalah suatu hal yang tidak dapat diabaikan, pencatatan perkawinan bukan persyaratan administratif semata, namun yaa untuk memberi manfaat kepada semua pihak. Aturan tentang kewajiban mencatat perkawinan tersebut dilengkapi dengan sanksi bagi pelanggarnya. Pencatatan  perkawinan diatur dan dibuat tidak hanya untuk kepentingan suami tetapi juga untuk kepentingan pihak istri dan anak, untuk memberikan perlindungan hukum, memenuhi hak-hak suami, istri, dan anak.
 Dalam agama islam ketika kita tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akta nikah maka dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan / pengesahan nikah) kepada pengadilan agama. Maka dari itu Pencatatan Perkawinan sangat diperlukan, salain itu perkawinan yang sudah tercatat akan memberikan manfaat, diantara beberapa manfaat tersebut adalah:
- Terjaminnya kepastian hukum status suami dan istri serta anak-anaknya yang lahir dari perkawinan tersebut.
- Terjaminnya pengurusan akta kelahiran  bagi anak dengan mencantumkan nama kedua orang tua secara lengkap.
- Terjaminnya hak waris dari suami atau istri serta anak-anaknya yang lahir dari perkawinan tersebut
MAKNA FILOSOSFIS, SOSIOLOGIS, RELIGIOUS, DAN YURIDIS PENCATATAN PERKAWINAN.
Makna Filosofis Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan berdasarkan makna filosofis ini berhubungan dengan hal yang rasional, karena hal tersebut berhubungan dengan sebab akibat yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dengan kata lain, pencatatan perkawinan dalam makna ini bertujuan supaya terwujudnya suatu ketertiban dalam hukum untuk kedepanya baik untuk anggota keluarga, masyarakat sekitar, dan lain sebagainya.