Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan (perkawinan yang dicatatkan) adalah untuk menjamin ketertiban hukum yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti perkawinan. Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan mengganggu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam karena sekedar menyangkut aspek administratif. Â Hanya saja jika suatu perkawinan tidak dicatatkan, maka suami istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya, dilihat dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak dilindungi oleh hukum dan bahkan dianggap tidak pernah ada. Dari aspek hukum ternyata perkawinan yang tidak dicatatkan akan berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif, yang antara lain ialah :
- Substansi perkawinan dianggap tidak sah
- Dapat ditalak kapan saja
- Status hukum anak tidak jelas
- Hak istri dan anak atas nafkah dan warisan tidak terjamin
Sedangkan jika dipandang dari aspek implikasi hukum dan dampak sosial dari perkawinan yang tidak dicatatkan pada instansi pemerintahan yang berwenang dapat diuraikan secara rinci:
- Secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak sah, sehingga anak-anaknya dianggap anak tidak sah.
- Istri tidak berhak menuntut nafkah.
- Dipandang oleh masyarakat sekitar sebagai pasangan kumpul kebo atau istri simpanan.
- Istri dan anak-anak yang dilahirkan tidak mendapat warisan dari suaminya, dan begitu pula sebaliknya.
- Antara suami dan istri tidak berhak atas harta gono-gini.
- Secara psikologis hubungan anak-anak dengan bapaknya lemah dan tidak kuat.
- Anak-anaknya hanya dapat mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya.
- Anak-anaknya tidak berhak mendapatkan biaya hidup dan biaya pendidikan dari ayahnya.
- Anak-anak yang perempuan tidak memiliki wali nasab dalam pernikahannya kelak, wali yang berhak menikahkannya kelak adalah wali hakim (kepala KUA setempat).
- Ayah tidak mempunyai hubungan hukum dengan anak-anak perempuannya, sehingga bukan muhrim dan dapat memungkinkan menikah dengan anak biologisnya sendiri apabila istrinya telah meninggal atau berpisah.
- Suami terbebas dari tanggung jawabnya sebagai seorang suami.
- Istri tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam persoalan rumah tangganya.
- Istri dan anak-anaknya akan menemui kesulitan untuk memperoleh dokumen keimigrasian.
KESIMPULAN
Pencatatan perkawinan yaitu pencatatan atas perkawinan yang sah menurut hukum Islam atau perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai dengan syariat Islam yang dilakukan di kantor urusan agama kecamatan. Tanpa adanya pencatatan perkawinan suatu perkawinan tidak dapat mempunyai kekuatan hukum. Akibatnya apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum karena tidak memiliki bukti yang sah dan autentik Dari perkawinan yang dilangsungkan. Adapun tujuan dari pencatatan perkawinan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Hal ini diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan oleh akta Nikah apabila suatu hari terjadi perselisihan di antara suami-istri maka salah satu diantaranya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masingmasing. Dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti akurat atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Perintah pencatatan perkawinan bagi umat Islam, termasuk catatan talak dan rujuk diatur dalam undang-undang nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa nikah yang dilakukan menurut agama Islam, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh menteri agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Maksud pasal ini adalah supaya nikah menurut agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Bagi mereka yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi denda dan kurungan, baik laki-laki calon mempelai nya juga pihak yang menikahnya. oleh karena hal tersebut pencatatan perkawinan merupakan syarat diakuinya keabsahan suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam. Dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang No 1 tahun 1974 telah dijelaskan secara tegas untuk memerintahka bahwasannya setiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap perkawinan yang dilakukan secara sah menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku agar perkawinan itu diakui keabsahannya. Perkawinan yang tidak dicatatkan akan berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif, yang antara lain ialah Substansi perkawinan dianggap tidak sah, dapat ditalak kapan saja dan status anak menjadi tidak jelas.
Â
DISUSUN OLEH :
DWI WAHYU SAPUTRA (192121188)
SALMA PUTRI RANY (212121127)
ZUKHRUFA MINDAROYNA (212121138)
MUHAMMAD AZMI (212121140)
MAHASISWA HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA TAHUN 2023