Di salah satu Komplek Perumahan milik PTP X Persero - Propinsi Lampung, yang pernah saya dan keluarga saya tinggali, adalah Perumahan PTP X Perkebunan Wayrilau. Sama seperti perkebunan-perkebunan lain pada umumnya, perumahan ini terletak di tengah-tengah perkebunan Karet yang rimbun dan sejuk, jauh dari desa-desa terdekat, jauh dari komunitas masyarakat sekitar (pada saat itu ya...), namun memiliki fasilitas umum yang cukup lengkap. Seperti misalnya, sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar, taman bermain, lapangan olahraga, klinik kesehatan, namun yang agak sedikit bernilai negative bagi suatu perumahan adalah di perumahan milik PTP X Persero itu tidak disediakan kendaraan umum untuk keluar masuk komplek yang notabene untuk menuju desa terdekat memakan jarak tempuh 30 menit bersepeda, 45 menit berjalan kaki, 10 menit menggunakan motor atau mobil. Sehingga bagi keluarga yang tidak memiliki kendaraan pribadi maka jika hendak menuju pasar, atau hendak "turun" ke Kota Tanjung Karang diperlukan kebersamaan dengan orang yang memiliki kendaraan, atau istilah lainnya "nebeng". Kebiasaan bagi Ibu saya dengan Ibu-Ibu lain di komplek perumahan ini adalah satu bulan satu kali akan "turun" ke Kota Tanjung Karang untuk berbelanja "besar", maka mobil perusahaan (Landrover atau kadang Toyota Pick Up) akan dipinjamkan kepada Ibu-Ibu (plus seorang sopir) untuk sekaligus "turun" bersama-sama berbelanja sekaligus "ngerumpi" membicarakan hal-hal yang terjadi terhadap seseorang di kebun lain atau sekedar update mengenai hal-hal kebijakan perusahaan. Biasanya jika Ibu saya pergi "turun" ke Kota Tanjung Karang buat berbelanja besar, kami - saya, kakak dan adik-adik malah tidak memesan apapun untuk kami dibelikan sesuatu sepulang dari "turun kota" itu. Mengapa? Karena berbelanja di kota besar (sebesar Tanjung Karang pada saat itu) tidak ada yang membuat kami tertarik untuk dibelikan sesuatu. Lain halnya jika Ibu saya pergi (dengan motornya) berbelanja di pasar-pasar yang terletak di sekitar perkebunan PTP X Persero itu, banyak sekali yang kami pesan, dari jajan pasar seperti cenil, jagung parut kelapa, pecel pincuk, gemblong, tiwul, singkong parut manis atau asin, gaplek, terus apalagi ya? hmmm ... klepon, es cendol, dan lain-lain sebagainya yang bisa membuat air liur saya menetes lagi jika mengingat masa-masa itu, masa-masa dibelikan jajanan pasar yang menggiurkan. [caption id="attachment_88608" align="alignleft" width="300" caption="cenil"][/caption] Jajan pasar zaman atau masa-masa saya sekolah dasar dulu itu (tahun 80-an) berbeda rasa dengan jajan pasar yang ada sekarang, nggak tau kenapa, saya tidak begitu menyukai rasa dari jajan pasar yang ada di pasar-pasar "basah" sekarang. Disamping warna dari jajan pasar zaman sekarang ini terkesan lebih "ngejreng", juga rasanya sudah tidak "se-alami" zaman-zaman saya SD dulu, sekarang ini rasa manisnya sudah lebih seperti rasa manis buatan, rasa gurihnya lebih ke rasa dari penyedap rasa, warnanya? jangan-jangan itu pewarna textil yang dicampur di jajan pasar itu ya? Widiiihhhh ... Anak-anak saya sekarang tidak mengenal apa itu makanan dengan judul klepon, tiwul, gaplek, jagung parut manis atau asin, singkong parut, gemblong atau bahkan cenil, mereka mengenal nya Kentucky, McD, Pizza, Bakso, apalagi Udang Galah atau Ikan Wader? Dulu, disamping Ibu sering membelikan jajan pasar beraneka ragam, Ibu juga tidak pernah lupa untuk membeli lauk-lauk segar dari pasar-pasar di sekitar Perumahan PTP X Persero itu - oya, disana pasar itu bisa dikategorikan dengan desa nya. Misal begini, ini hari Jumat, maka pasar nya disebut pasar jumat, dan adanya hanya di desa A, beigitu juga dengan nama-nama hari lain: pasar senin, maka hanya ada di desa B, pasar selasa adanya di desa C, begitu seterusnya, jadi hari pasaran itu selalu berkeliling di seluruh desa-desa di sekitar se kecamatan. Hari-hari pasar itu juga ada hari pasar besar, dan biasanya jatuh di hari minggu dan adanya di desa yang berpenduduk ramai, dan pasarnya akan lebih meriah di banding dengan hari pasaran lainnya. Ya, Ibu tidak pernah lupa membelikan kami, untuk disantap segar siang hari setelah berbelanja, lauk-lauk segar, ikan air tawar segar yang diambil tidak dari kolam pembibitan - dulu belum dikenal akrab ikan-ikan hasil pembibitan, tapi ikan-ikan segar yang diambil dari sungai-sungai besar disekitar kabupaten atau kecamatan. Kriteria sungai besar disana adalah sungai dengan diameter lebar lebih dari 10 meter, dan para "petani ikan" itu "mengambil" ikan-ikan itu dengan cara di jala, atau dipancing, atau dengan menggunakan "bubu". Bubu ini satu alat penangkap ikan khusus yang terbuat dari bambu (kemudian terbuat dari kawat) berbentuk seperti kapsul besar, dimana untuk supaya ikan-ikan masuk kedalam perut "bubu" maka akan disediakan "makanan" di dalam "bubu" berupa kelapa bakar. Jika ada ikan yang masuk, maka ikan-ikan tersebut dijamin tidak dapat keluar dari "bubu". Dan dengan menggunakan alat penangkap ikan bernama "bubu" ini, tidak hanya ikan yang tertarik masuk perangkap, namun juga Udang Galah Raksasa yang jika diukur besarnya sebesar lengan pria dewasa atau bahkan ada yang sebesar betis pria dewasa, dengan lengan capit nya yang besarrrrr sekali. Nah, Ibu saya selalu mencari dan membeli udang galah jumbo ini, yang hanya bisa ditemui di hari pasaran di desa [caption id="attachment_88609" align="alignright" width="300" caption="udang galah"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H