Mohon tunggu...
Beny Akumo
Beny Akumo Mohon Tunggu... Pengacara - Ingin menjadi pengusaha

Seorang in-house Lawyer: itu saja, tidak lebih

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rambut Putih Bapak

14 Januari 2011   04:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:36 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1294979110154205073

"Uban", ya itu kata lain dari rambut yang putih atau rambut putih. Rambut di kepala saya, di umur saya yang sudah di kepala empat point zero ini, sudah mulai dipenuhi oleh rambut-rambut yang berbeda warna dengan rambut kepala saya yang lain yang mayoritas berwarna hitam, sehingga warna rambut putih keperakan ini seolah-olah menjadi point of view bagi orang-orang yang melihat saya. Apalagi jika saya tidak menggunakan "gel" rambut kepala, semakin jelas perbedaan warna dan perbandingannya. Jika ditanya teman atau saudara "kenapa nggak di cat aja rambutnya supaya kelihatan hitam semua?", saya jawab dengan tegas "No ..." saya kepingin terlihat seperti Bapak Menteri kita yang warna rambutnya sudah berwarna putih keperakan itu, kelihatannya kok ok ya, bisa dijadikan trend rambut tahun 2010 ke atas. Disamping itu juga mengapa saya tidak mau mengecat rambut, karena masih ada pro kontra mengenai pengecatan rambut di agama yang saya anut (tidak perlu didebatkan disini), apakah boleh atau tidak, apakah ibadah kita diterima atau tidak, maka itu saya membiarkan rambut kepala saya ini semakin banyak berubah / perubahan warnanya. Sejak menikah, saya tidak terbiasa (lagi) dengan rambut yang "gondrong" - istilah gondrong buat saya jika rambut kepala saya ini sudah mulai memanjang sampai dengan 10 centimeter lebih, maka otomatis saya mulai gerah dan bersegera pergi ke barber shop (langganan saya - waktu itu saya punya langganan Barber Shop di seputaran Pancoran arah ke Kalibata, tepatnya setelah perempatan Pancoran arah ke Kalibata sebelah kiri jalan utama setelah pertigaan yang membelok ke Kompleks Angkatan Udara) - walaupun waktu itu saya sudah tinggal di Bukit Sentul, namun kalau masalah potong rambut, maka saya akan "kabur" ke Pancoran, untuk dapat di "oprek" oleh Bapak pemotong rambut yang sudah mengetahui seperti apa model rambut yang saya inginkan. Walhasil, jika rambut saya di "rapihkan" maka si rambut yang mulai bereinkarnasi dari warna hitam on going to warna putih, atau rambut yang sudah "ajeg" dengan warna putihnya akan terlihat "berbeda" dan jika saya tidak memakai "gel" rambut, maka teman-teman yang melihat akan bertanya "udah banyak rambut putihnya ya Pak?" saya bersegera menjawab "wah itu bukan rambut putih, ini akibat kebanyakan duduk-duduk di bawah pohon jambu air, nah ini kembang jambu" .... Sebenarnya saya sudah familiar dengan rambut putih dari sejak saya berumur 8-9 tahun, bukan karena saat berumur 8-9 tahun itu saya sudah ber-uban, cuma saya dulu sering diminta oleh Bapak saya (almarhum) untuk mencerabuti rambut putih rambut putih yang mulai bersemayam di kepala Bapak. Biasanya saya atau kakak saya, atau adik saya enggan mencabuti rambut uban Bapak, namun dengan iming-iming 1 rambut putih dihargai dengan uang sebesar Rp.5,- maka saya pun dengan semangat 80 (maklum waktu itu tahun 80-an) saya "membantu" Bapak menghilangkan rambut putih yang ada di kepala Bapak. "Gatal..." kata Bapak mengenai keberadaan rambut putih tersebut, maka itu perlu untuk dicabut untuk menghilangkan rasa gatal yang ada (tapi saya nggak merasa gatal ya ada rambut putih di kepala saya?) ... belum juga dalam hitungan menit, saat saya memulai prosesi pencabutan hak hidup si rambut-rambut putih itu - dalam posisi saya duduk di sofa, Bapak berselonjor di lantai - sudah mulai terdengar dengkuran nafas Bapak yang tertidur lelap, nyenyak sekali. Tapi prosesi tetap prosesi, pencarian pendapatan tetap menjadi tujuan utama, hingga dalam hitungan puluhan rambut putih yang hidupnya sudah sia-sia di tangan saya, dan sedikit lama "membiarkan" Bapak "bermain" dengan dengkurannya, perlahan saya bangunkan Bapak dari ke-asyik masyukan-nya dengan mimpi, segera saya menyebutkan jumlah rambut putih yang saya peroleh di konversikan dengan nilai rupiah yang akan saya peroleh, maka beliau dengan berjalan gontai - pindah tempat, menuju tempat tidur untuk melanjutkan "ngobrol" beliau dengan dengkuran, beliau menjawab "Ya, nanti kalau Bapak abis tidur ya..." Tidak jarang saya hanya di bayar setengah dari apa yang sudah saya peroleh, dan itu tidak membuat saya bersungut-sungut, marah dan tidak mau mencarikan - mencerabuti rambut putih beliau lagi kemudian hari, karena sejumlah uang yang Bapak kasih sebagai upah itu langsung saya masukkan ke "celengan" kaleng yang saya sembunyikan di lemari pakaian (celengan ini tidak pernah penuh, kalau sudah mulai menuju penuh, maka Ibu saya membuka dan mengambil isinya untuk dipindahkan ke "tempat" Ibu untuk nanti berlebaran hehe ...). Upah itu hanya sebagai "sarana" kedekatan saya dengan Bapak, karena kalau tidak ada upaya pendekatan dengan upah untuk "pembunuhan" terhadap rambut putih itu, maka bisa dijamin sesiangan, sehabis pulang sekolah maka saya tidak akan ada di rumah sampai menjelang hari magrib, asyik bermain dengan teman-teman para "setan kecil" di lingkungan perumahan PT Perkebunan X. Walaupun hanya mencerabuti rambut putih itu, saya bisa bermanja dengan Bapak (almarhum), bisa pura-pura merajuk jika ditanya-tanya sesuatu mengenai apa saja - kecuali mengenai sekolah (Bapak tidak pernah menanyakan anak-anaknya tentang bagaimana di sekolah atau mengenai pelajaran di sekolah - itu porsi Ibu), atau bisa berlama-lama memegang rambut dan kepala Bapak. Tidak jarang sebelum dicabuti rambut putihnya, Bapak meminta saya untuk memijat atau "menjambak" rambutnya, atau "meremas" rambutnya kuat-kuat - kata Bapak (waktu itu) enak sekali, bisa menghilangkan pusing-pusing, ditambah dengan pujian "Beny pinter mijet ya ..." maka saya pun tersenyum - senang sekali, tersanjung, bisa sedikiiiiiit saja "membahagiakan" Bapak. Duluuuuuuu sekali ...... kemudian Bapak bisa tidur dengan "dengkuran"nya, nyaman dan nyenyak sekali. [caption id="attachment_83062" align="alignleft" width="300" caption="Koleksi-Pribadi"][/caption] Semakin tua, rambut putih Bapak semakin banyak dan sudah tidak bisa lagi di"cari" untuk dicabuti, karena jika dicabuti, maka habis dan botaklah kepala beliau - karena semuanya sudah memutih, Bapak tidak mempunyai pemotong rambut - tukang cukur langganan seperti saya, tapi beliau selalu dan tidak pernah membiarkan rambutnya meng"gondrong" melebihi dari 5 centimeter panjangnya. Selalu terlihat pendek dan rapih, walaupun sudah hampir seluruhnya putih, beliau selalu menjaga itu, sampai saat-saat terakhir beliau akan di kebumikan pun, rambutnya terlihat rapih - walaupun kedua mata beliau sudah tertutup, tapi saya seperti melihat beliau yang hanya tertidur saat saya sedang memijat, menjambaki, atau meremas rambut beliau dulu. Saya masih bisa mengingat kata-kata beliau dulu itu, "Beny pinter mijet ya ..." senaaaang rasanya - bangga sekali saat itu bisa menyenangkan dan membuat Bapak tertidur menghilangkan lelahnya setelah bekerja. Tapi saya kini tidak sedang menjambaki, memijat atau meremas rambut Bapak, tanpa saya pijati, tanpa saya remas dan "jambak" tidur Bapak kini untuk selamanya .... September 2000 Asholatu jumatan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun