Mohon tunggu...
Beny Akumo
Beny Akumo Mohon Tunggu... Pengacara - Ingin menjadi pengusaha

Seorang in-house Lawyer: itu saja, tidak lebih

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Haga Nyeruit?

17 September 2010   02:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:11 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Bahasa yang saya pakai sebagai judul tersebut adalah secuil bahasa daerah Lampung - kenapa cuma secuil saja bahasanya? Pertama saya bukan orang lampung asli, saya hanya menumpang lahir, besar, sekolah di Lampung sedangkan kedua orangtua saya adalah pendatang, sehingga saya tidak begitu paham dengan Bahasa daerah Lampung (dulu saat sekolah dasar maupun sekolah menengah tidak ada Pelajaran Bahasa Daerah, tapi sekarang sudah ada pelajaran Bahasa Daerah di tingkat SD).

Hal kedua: yang saya rasakan dahulu saat masih tinggal di Lampung, penduduk asli Lampung sendiri tidak men-sosialisasikannya kepada masyarakat umum atau pendatang dengan cara mereka berbicara atau ber-komunikasi dengan masyarakat luas atau bahkan dengan sesama penduduk asli Lampung, mereka pada akhirnya berbahasa Indonesia jika berkomunikasi dan bersosialisasi dalam masyarakat (tanya kenapa??). Yang saya perhatikan (maaf jika salah), bahasa daerah dipakai pada saat acara kumpul keluarga besar, seperti acara pernikahan atau lain-lain, dan pemakai bahasa daerah Lampung hanya kalangan tetua-tetua saja, yang muda-muda? ber-bahasa nasional, bahasa Indonesia.

Jadi wajar saja jika pendatang (seperti saya) tidak begitu memahami cara ber-bicara dalam bahasa daerah Lampung, namun untuk memahami hal apa yang sedang di-bicarakan (oleh mereka) dalam bahasa daerah? saya dapat memahami nya, namun untuk berbicara saya tidak bisa.

Haga Nyeruit? Haga=maukah, mau atau senang, sedangkan Nyeruit, dari kata dasar "seruit", memakai awalan "ny.." nenandakan kegiatan yang dilakukan, sedangkan arti kata dasar "seruit" adalah makanan khas daerah Lampung berupa sambal terasi dicampur dengan "tempoyak" (daging buah duren yang disimpan dan didinginkan di campur garam untuk waktu yang cukup lama, sehingga menimbulkan aroma yang khas) lalu sambal seruit tersebut dimakan bersamaan / dicampur dengan daging ikan Gabus (channa striata - chevron snakehead) yang sudah dibakar terlebih dahulu - utamanya ikan yang dipakai buat nyeruit adalah ikan gabus, namun jika tidak ada ikan gabus bisa diganti dengan ikan lain.

Jadi artian dari judul di atas adalah "mau nggak nyeruit?"

Nyeruit; adalah kegiatan makan yang dilakukan secara bersama-sama dengan hidangan sebagaimana tersebut di atas, yaitu sambol seruit, ikan gabus bakar, lalapan berupa ketimun, labu siam rebus, daun-daunan segar, terong lurik muda yang bulat-bulat, dengan nasi putih yang masih "ngepul" panas. Kenikmatan "nyeruit" bagi mereka layaknya jika mertua lewat dicuekin, saking nikmatnya kegiatan tersebut.

Cara makannya pun tidak memakai peralatan sendok garpu, dengan menghampatr tikar di lantai, seluruh anggota keluarga berkumpul duduk bersila melingkari tikar yang ditengahnya sudah tersedia seluruh "jamuan seruit", di mulai dengan kepala keluarga, lalu anak lelaki tertua dan seterusnya-seterusnya mulailah "perjamuan makan atau nyeruit" di mulai. Nasi, lalu sambal seruit di tempatkan di satu piring tersendiri (masing-masing orang), lalu ikan gabus bakar, diuleni atau dicampur dengan tangan diunyek-unyek dengan sambal seruit, kemudian lalapan, dan haaapppp ... kecapan demi kecapan nasi+seruit+lalapan memberikan sensasi rasa di lidah dan di mulut para pelahap, nikmat....

Saya dulu tidak begitu menyukai tempoyak yang di campur dengan sambal terasi itu, di samping aroma nya yang "khas" juga dari rasa nya yang bercampur antara rasa duren (dengan gasnya), dan sambal terasi mentah yang fiuuhhhh ... susah hilang aroma nya jika sudah dicuci berkali-kali dengan sabun apapun jika sudah mencocol dengan tangan sambal tersebut. Namun, berkat seringnya saya diajak "nyeruit" oleh keluarga teman yang asli Lampung Way Kanan, maka lama-kelamaan sambal seruit itu menjadi salah satu kegemaran saya - tapi tidak dengan ikan Gabus nya, bagi saya ikan tersebut sangat amisss baunya. Cukup sambal seruit dan nasi + tempe goreng atau tahu goreng, maka saya sudah menganggap itulah "nyeruit".

Sayangnya sangat jarang ada rumah makan di Lampung (sendiri) yang menyajikan makanan khas daerah tersebut, tidak dengan makanan khas propinsi tetangga (Palembang) yang sudah terkenal dengan Pindang Ikan Patin atau Ikan Baung nya (pindang meranjat), maka sudah selayaknya menurut saya sudah ada pionir kuliner asli Propinsi Lampung yang memikirkan untuk memperkenalkan makanan khas Daerah Lampung ini pada masyarakat luas, sehingga bisa di jadikan satu kebanggaan dan menjadi "oleh-oleh" khas Lampung (sambal seruit) - seperti halnya Sambal Bu Rudi yang dari Surabaya - Jawa Timur. Di Lampung sendiri saya hanya mengetahui hanya 1 (satu) rumah makan yang menyajikan makanan khas lampung ini (ada di daerah Panjang - maaf jika saya salah informasi). Pada saat saya berkenan main ke Bandung, dan bertemu dengan teman asli Lampung yang bermukim disana, saya sempat lontarkan ide tersebut, kenapa nggak di coba buka rumah makan khas lampung di Bandung? mengingat kuliner di Bandung sangat beragam, dan populasi orang-orang Lampung di Bandung juga cukup banyak, sehingga pada akhirnya mempopulerkan makanan khas Lampung tersebut pada masyarakat Bandung dan pendatang bahkan turis domestik atau manca negara? "susah ben cari ikannya, susah ben cari Tempoyak, terasi ..." begitulah jawaban temen tersebut. Ya susah juga kalau semua penduduk lampung sendiri tidak mau "menonjolkan" ke-khas-an mereka serta melestarikan makanan khas mereka ...

Lalu siapa? Saya???????? susah masaknya ... ikannya bau amis .... terasinya susah nyari ... tempoyaknya nggak ada di Jakarta ... pokoknya susah ah .... hehe ...

[caption id="attachment_260149" align="alignleft" width="300" caption="sambol seruit dari blog sebelah"][/caption] [caption id="attachment_260150" align="alignright" width="300" caption="nyeruit"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun