PERNAH dengar istilah''wartawan melekat'' atau jurnalis embedded ? Itu sebutan untuk jurnalis yang melakukan liputan secara melekat kepada pihak yang menjadi sumber berita, dan sekarang kerap kita lihat ''dipertontonkan'' di layar kaca. Misalnya, wartawan ikut ''nempel'' -- entah karena sengaja diundang atau tidak -- dengan pasukan kepolisian saat melakukan penggrebekan ke hotel-hotel yang diduga menyelenggarakan kegiatan pelacuran terselubung, razia narkoba, atau penyergapan terhadap tersangka teroris. Atau ikut dalam pasukan militer ke medan tempur atau ke aktivitas sebagai pasukan penjaga keamanan di suatu negara.
Wartawan melekat ini hal yang wajar-wajar saja. Banyak keuntungan yang bisa didapat. ''Drama'' di balik layar bisa direkam dengan terinci. Jurnalis bisa mengamati dengan seksama bagaimana suasana di barak militer, persiapan mereka sebelum terjun ke lapangan, di atas kendaraan yang membawa ke lokasi, termasuk hal-hal yang sangat humanis yang tak terlihat oleh orang-orang yang tak ''melekat'' dalam pasukan tersebut. Bagaimana ''suasana kebatinan'' personel sebelum bertindak, misalnya, ada yang berdoa terlebih dahulu, ada yang menelepon anggota keluarganya, mencium foto anaknya, meneteskan air mata, atau ada yang santai-santai saja seraya mengusap-usap dan mencium senjata yang akan digunakannya. Ya, pembaca atau pemirsa beritanya kelak bisa terbawa ke suasana seperti sedang menonton  film perang sejenis Saving Private Ryan (1998), misalnya.
Pertanyaan yang kemudian muncul, mampukah sang jurnalis untuk tetap menjaga netralitasnya, karena ia ''berada'' di satu sisi? Sementara, sebagai jurnalis, ia tetap harus bersikap obyektif dan adil terhadap semua pihak yang terkait? Apakah jurnalis itu akan mengungkap juga pelanggaran atau bahkan kejahatan yang bukan tidak mungkin dilakukan oleh pasukan yang ditempelnya itu? Di sinilah nurani jurnalis dipertaruhkan.
Selain itu, ada beberapa hal yang kerap ''menggoda'' jurnalis, secara sengaja atau tidak, yang kerap tersaji di layar kaca, baik itu dilakukan oleh jurnalis audiovisual, atau pun jurnalis cetak yang terekam kamera. Misalnya, saat penggrebekan, jurnalis ikut-ikutan membentak dan meneriaki orang-orang yang digerebek, entah itu yang diduga sebagai penjudi, pemakai dan bandar narkoba atau pelacur. Atau, ikut-ikutan mendobrak pintu, dan berbagai ''aksi polisional'' yang bukan tidak mungkin lebih ''overacting'' dari polisi yang sedang melakukan penggerebekan itu sendiri. Membentak pelaku dengan ancaman agar orang yang digrebek tidak menunduk atau menutupi wajahnya agar bisa tersorot kamera, dan lain sebagainya. Â Dan, ikut menyela ''dialog'' antara aparat dengan orang yang digrebek, bahkan dengan menggunakan intonasi yang ''lebih galak'' dari aparat petugas.
Yang juga sering dipertanyakan, ketika dituangkan di layar kaca, orang-orang yang tidak ada kaitannya dengan ''obyek'' yang digrebek, atau tidak ikut-ikutan menggunakan narkoba tapi ikut diperiksa identitasnya karena,misalnya, sedang berada di diskotek yang digrebek, tampak jelas wajahnya di layar kaca. Tidak diblur, sehingga orang tersebut merasa seperti diadili, dan sudah dicap salah oleh media. Ambil contoh, semua yang ada di lokasi penggerebekan diwajibkan ikut tes urine. Yang kelak kemudian terbukti negatif pun, telanjur ditampilkan wajahnya dengan jelas di layar kaca, dan kemudian beritanya tidak ''di-update'' kalau mereka negatif,alias tidak menggunakan narkoba, misalnya. Atau, saat penggerebekan terhadap aktivitas kepelacuran di satu hotel, misalnya, ada perempuan lain yang kebetulan berada dan melintas di lokasi dan ikut terekam wajahnya.
Satu hal yang perlu diperhatikan oleh para jurnalis adalah mengenai perlunya berita lanjutan dengan verifikasi lanjutan,tentang peristiwa itu. Dan, menurut saya, alangkah etisnya untuk memblur wajah orang-orang yang tidak ada kaitannya dengan peristiwa itu. Apalagi terhadap anak-anak di bawah umur (ingat Pasal 29 P3SPS, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, yang mewajibkan menyamarkan identitas anak-anak dan/atau remaja dalam peristiwa penegakan hukum, baik sebagai pelaku maupun korban).
Juga, yang pasti, jurnalis embedded bukan bagian dari pasukan kepolisian, pasukan militer atau aparat hukum yang ''ditempelnya''. Jurnalis tak boleh memasuki ruang-ruang pribadi, tanpa seizin yang bersangkutan, dengan bertindak seakan dirinya adalah bagian dari aparat penegak hukum itu. Â Contoh baik ini diperlihatkan saat Najwa Shihab (Metro TV) mengetuk terlebih dahulu pintu sel Nazaruddin dan tidak mendobrak masuk karena tidak mendapat izin dari yang bersangkutan. Meski, ini juga menjadi perdebatan, karena sel atau ruang penjara itu bukan ''ruang pribadi'' dan mengapa sel Nazaruddin tidak dimasuki tapi yang lain dimasuki. Tetapi, sekali lagi, Najwa bukan aparat penegak hukum, dan memang tak punya kuasa mendobrak pintu sel Nazaruddin!
Yang  juga kerap menjadi perdebatan di kalangan jurnalis sendiri, adalah munculnya jurnalis embedded yang kemudian berposisi sebagai narasumber dan diberi ''status'' sebagai pengamat atau ahli, bukan lagi sebagai jurnalis. Karena sering menempel pada pasukan antiteroris lalu dijadikan narasumber sebagai pengamat atau ahli masalah teroris dan terorisme,misalnya.
Kembali ke ''posisi'' jurnalis embedded, sekali lagi, ini hal yang biasa. Tinggal bagaimana agar jurnalis tersebut bisa menjaga independensinya, tetap bisa bersikap kritis terhadap subjek/sumber berita, tetap netral dan obyektif, serta tetap menjaga etika profesinya sebagai jurnalis -- bukan malah berubah wujud menjadi aparat yang ditempelnya dan bertindak melampaui batas.
@maman1965
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H