Mohon tunggu...
Maman Suherman
Maman Suherman Mohon Tunggu... lainnya -

jurnalis yang penulis, penulis yang jurnalis & berkeliaran pakai @maman1965

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jusuf Kalla Mengaku Dibesarkan Dalam Alam Poligami

22 Desember 2013   23:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 2221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MINGGU, 22 Desember, saya diundang seorang sahabat, Alberthiene Endah dalam peluncuran karya terbarunya, novel ''Athirah'', yang rupanya terinspirasi dari kisah kehidupan pengusaha yang juga mantan wakil presiden, Jusuf Kalla. Tepatnya, ibunda Jusuf Kalla yang bernama Athirah. Pak JK, panggilan akrab Jusuf Kalla, hadir bersama istri tercinta, Mufidah, dan saudara-saudaranya.

Bagi JK, Athirah, sang ibu, adalah seorang raja, dan ia serdadu yang setia menjaga sang raja selama 40 tahun. Saat saudara-saudaranya melanglangbuana, JK terus ada di dekat Athirah, perempuan yang dinikahi ayahnya, Haji Kalla, saat berusia 13 tahun. Sepuluh anak lahir dari Athirah, 5 lelaki dan 5 perempuan. Ajaib, ''Anaknya berselang-seling lelaki, perempuan, lelaki, perempuan, begitu seterusnya,'' ungkap JK.

JK mengaku dibesarkan dalam alam poligami, menjadi saksi bagaimana ibunya dimadu. ''Aku bersamanya (Athirah, Sang Bunda) ketika matanya redup saat Bapak menikah lagi. Aku bersamanya ketika tubuh mungilnya berusaha menutupi hatinya yang porak-poranda. Aku bersamanya ketika kelembutannya mulai memperlihatkan energi kebangkitan dan ia berjuang menemukan lagi kebahagiaannya. Dan, aku bersamanya ketika ia selalu saja menjadi guru kearifanku dalam pergumulan hidupku sendiri.''

Sang Ibu, tekan JK, ''Adalah alasan terbesar mengapa aku harus menjadi seorang laki-laki yang kuat. Aku ingin menjaganya.... sampai ajal menjemputnya.'' Dan takdir pun menentukan seperti itu. Saat dokter di rumah sakit memvonis Athirah tak lagi memiliki harapan hidup, ia bopong ibunya dari rumah sakit kembali ke rumahnya. Dan, 19 Januari 1982, saat Athirah berusia 58 tahun, JK pun menemukan hari yang paling pekat dan penuh duka dalam hidupnya. ''Tepat saat adzan Subuh bergema, ia lunglai. Wafat. Itu adalah hari ketika air mataku jatuh tanpa bisa kuhentikan,'' kenang JK lirih.

Sang Bunda telah berpulang, tapi bagi JK, ia tak pernah ''pergi''. Ia selalu merasa berjalan bersamanya. ''Aku bocah yang selalu diasuhnya. Masih hingga kini,'' tutur JK. Ada nasihat yang tak pernah bisa dilupakannya dari Sang Bunda. "Jusuf, kau telah mati jika hidupmu tak lagi memberimu alasan untuk bersabar.''

Juga tak pernah terlupa nasihat Sang Bunda, ''Kalau ingin maju, lihatlah orang di atasmu. Mengapa ia bisa berada di atasmu, pelajarilah.'' Tetapi, lanjut JK, ''Jika ingin belajar tentang kehidupan, lihatlah orang yang berada di bawahmu, supaya kamu bisa tetap bersyukur dan tidak merasa susah.''

Ibu begitu lekat dalam nadi dan mengalir dalam darah JK. Dan ia punya penggambaran yang sangat indah tentang ibundanya. Jika keindahan langit, samudera, pegunungan dan petak sawah keemasan disatukan menjadi cahaya, tetap tak mampu melebihi cahaya Sang Bunda. ''Dan hatinya berkali-kali lipat lebih cantik.''

@maman1965

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun