Mohon tunggu...
Ika Maria- (Pariyem)
Ika Maria- (Pariyem) Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Melesat dari kenyamanan

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Nek, Aku Cinta Nenek!

30 Juni 2011   06:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:03 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi berjalan seperti hari biasa. Diawali fajar menyingsing, embun meleleh dan menghanguskan kehangatan fajar. Angin-angin bersembunyi dibalik dedaunan hijau yang sesekali bergoyang-goyang. Gelap berangsur menjadi abu-abu hingga tidak ada warna yang memunculkan ketakutan para anak-anak ayam yang berumur satu minggu. Mendekap dekat demi suhu yang tetap terjaga dan kehidupan baru akan selalu hadir di permukaan bumi. Anggota keluarga yang diam dibawah atap semen berwujud genteng. Cat tembok hijau yang selalu menampilkan kesegaran bagi siapa saja yang melewati rumah itu. Satu pohon kurus tapi rindang tergelantung tali yang menjagai sebuah kayu dan dinamai anak-anak yang bermain di bawah pohon itu, ayunan.

Hari adalah misteri yang akan selalu terjadi, tidak bisa di tunda ataupun di hilangkan.

Lesmana. Seperti biasa duduk manis diatas kasur yang berada di depan televisi. Menikmati kartun-kartun kesayangan yang meluapkan tawa gembira. Dia selalu fokus jika sudah menonton kartun di pagi hari. Suara teriakan wanita tua yang bermata senja dari dapur tak pernah dihiraukannya. Entah alasan apa yang membuat Lesmana malas menjawab panggilan neneknya. Lesmana tetap diam tanpa suara lirihpun yang keluar dari mulut kecilnya, sekedar menenangkan hati nenek kalau cucunya baik-baik saja.

Teriakan itu meraung-raung menjadi-jadi.

"Les, itu dipanggil nenek. Bilang iya nenek, gitu" ajar Sonia yang duduk di belakang badan kurus, tinggi Lesmana.

Ada sesuatu gas yang menekak tenggorokan nenek hingga perlahan nenek melemaskan otot pita suaranya. "Lesmana mandi" teriak lembut ibunya dari arah dekat dapur. Tiba-tiba nenek yang sedang menggoreng tempe angkat suara.

"Sonia mau ke kamar mandi dulu" member kode pada ibu Lesmana.

Lesmana yang masih menonton kartun dengan mengenyut dot berisi setengah susu putih hangat meneggok kea rah Sonia.

"Sana, mandi dulu Tante" Lesmana menyuruh.

Batin Sonia, ini anak masih berumur tiga tahun sudah pintar mencari alasan untuk tidak mandi dan bersenang-senang dengan kartun kesayangannya.

Sepuluh menit memburu hari Sonia. Di ruang televise sudah duduk cantik dara kecil teman Lesmana. Ia bernama Kenes, berambut ikal hitam, postur tubuh mungil, kulit kuning langsat, dan bermata kelereng.

Selang beberapa langkah menuju kamar, Sonia mendengar tangisan yang meledak-ledak. Kenes mengeluarkan air matanya di pagi yang hangat. Sonia mengusap air mata Kenes dengan ibu jari kanannya. Kenes tetap saja bahkan menambah kecepatan tangisnya.

Dua langkah dari posisi Kenes menangis. Lesmana menyandarkan kakinya di ubin putih bercorak merah tidak jelas. Gerimis pagi menuruni lembah pipi montok Lesmana. Bedak tabor beraroma wangi hilang wujudnya.

"Kenapa dik Kenes? Kok nangis? " suara nenek mendekat ke ruang televisi.

Sepupu Lesmana melapor, "Lesmana memukul Kenes sama kereta ini,karena Lesmana gak boleh keretanya dipinjem" penjelasan singkat yang terdengar oleh Sonia dari ventilasi kamar.

"Kamu ini nakal banget, pelit sama temannya" ujar nenek sambil menggendong Kenes agar menghentikan tangisnya.

Lesmana tidak terima perkataa neneknya, ia lalu membanting bus mainannya ke lantai hingga menguapkan suara mengagetkan Sonia.

"Sini kamu, nakal banget. Sini masuk kamar biarin di bawa nenek sihir. Ampun gak kamu ha" ucap keras nenek sambil mengunci kamar dimana Lesmana terkurung atas kesalahannya.

Raungan tangisan memelas menggema ke seluruh sudut ruang rumah bercat hijau cerah. "Nenek, aku cinta nenek" kata-kata yang sempat dilontarkan Lesmana sambil mencucurkan linangan air mata. Kata-kata itu terus terurai demi meluluhkan empati nenek.

"Nenek, aku cinta nenek" sesenggukan mengantung di wajah anak kecil, berlesung pipit itu. DAG...DAG...DAG... suara pukulan tangan Lesmana menentang pintu kamar dimana ia terkunci.

"Jika membiasakan berkata dengan anak bernada keras maka ia melakukannya hingga tua, bila mengerimisi dengan rutin kegembiraan dan kehalusan bertutur kata, karakternya kelak menjadi manis didengar".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun