Selang beberapa langkah menuju kamar, Sonia mendengar tangisan yang meledak-ledak. Kenes mengeluarkan air matanya di pagi yang hangat. Sonia mengusap air mata Kenes dengan ibu jari kanannya. Kenes tetap saja bahkan menambah kecepatan tangisnya.
Dua langkah dari posisi Kenes menangis. Lesmana menyandarkan kakinya di ubin putih bercorak merah tidak jelas. Gerimis pagi menuruni lembah pipi montok Lesmana. Bedak tabor beraroma wangi hilang wujudnya.
"Kenapa dik Kenes? Kok nangis? " suara nenek mendekat ke ruang televisi.
Sepupu Lesmana melapor, "Lesmana memukul Kenes sama kereta ini,karena Lesmana gak boleh keretanya dipinjem" penjelasan singkat yang terdengar oleh Sonia dari ventilasi kamar.
"Kamu ini nakal banget, pelit sama temannya" ujar nenek sambil menggendong Kenes agar menghentikan tangisnya.
Lesmana tidak terima perkataa neneknya, ia lalu membanting bus mainannya ke lantai hingga menguapkan suara mengagetkan Sonia.
"Sini kamu, nakal banget. Sini masuk kamar biarin di bawa nenek sihir. Ampun gak kamu ha" ucap keras nenek sambil mengunci kamar dimana Lesmana terkurung atas kesalahannya.
Raungan tangisan memelas menggema ke seluruh sudut ruang rumah bercat hijau cerah. "Nenek, aku cinta nenek" kata-kata yang sempat dilontarkan Lesmana sambil mencucurkan linangan air mata. Kata-kata itu terus terurai demi meluluhkan empati nenek.
"Nenek, aku cinta nenek" sesenggukan mengantung di wajah anak kecil, berlesung pipit itu. DAG...DAG...DAG... suara pukulan tangan Lesmana menentang pintu kamar dimana ia terkunci.
"Jika membiasakan berkata dengan anak bernada keras maka ia melakukannya hingga tua, bila mengerimisi dengan rutin kegembiraan dan kehalusan bertutur kata, karakternya kelak menjadi manis didengar".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H