Berguling-guling diatas kenyamanan
Meredam kegalauan dan kerusakan
Kaki terasa lemas dan tangan merasa kaku
Gerimis terus menetes lirih
Hancurkan malam yang sepi dan gelap
Lalu, merasakan keindahan
Esok subuh, semua kembali hambar tak berasa
“yah, sendirian di tengah keramaian alkid, tapi ……….” Celetuk Jengki
Grek, susssssssssssssss tiba-tiba seorang pria tua membuka jendela kamarnya yang ada di lantai dua rumah mininya, mepet di tembok lingkup alkid. Sel-sel yang penghuni wajah tampannya sudah mulai tergantikan sel-sel mati yang ogah melarikan diri dan beregenerasi. Langsung membuang wajah tuanya ke arah dua beringin kembar yang ada di alkid. Entah apa yang singgah di sirkuit otaknya. Neuron sensorik sigap dan sinyal listrik terlampau gesit tiba di neuron motorik, hingga otak memerintahkannya untuk melihat panorama malam alkid. Kayu-kayu tua bergelantungan tidak rapi dan terpasung dengan tindikan paku-paku yang mulai berkarat. Aroma malam yang beradu dengan parfum deterjen yang masih menempel sedikit-sedikit di pakaian-pakaian setengah basah di kanan dan kiri jendela kamarnya.
“akhirnya, pak Jo menemaniku malam ini, tahu tidak pak baru saja ada seorang pria berbusana. Mendadak datang menghampiriku, aku kaget. Apa yang terjadi? Semenit kemudian selebor banku yang belakang basah bau urea lagi, sebel rasanya. Kan kandungan asamnya bisa membuat selebor ban belakangku menjadi korosif, siapa yang mau naksir dan memakai diriku. Jika kelak menjadi karatan dan berpenampilan jelek” curhat Jengki pada pak Jo.
Deretan kata Jengki terlalu panjang berjalan seperti gerbong kereta api sri tanjung yang selalu berjubel penumpang.
Pak Jo pun dengan asyiknya terus menatap panorama sekitar alkid, entah manusianya yang bersliweran atau melirik sepeda tandem yang menggiurkan dengan kerlap-kerlip lampu warna-warninya. Tanpa mengomentari curhat si Jengki.
“busyet, pak Jo kesambet apa to? Aku sudah ngoceh sana-sini tidak dihiraukan” ucap Jengki sedikit cemberut sambil bersiul memanggil angin malam menyapu selebor ban belakangnya agar menjadi kering.
Semakin malam membludak saja para penghuni alkid entah kanak-kanak (prosentase terendah), anak muda (prosentase tertinggi) dan bapak-ibu yang bernostalgia mengenang masa mudanya dulu. Angin pun menyapa selebor ban belakang Jengki, tanpa terasa sudah mulai menjauh saja bulan purnama berotasi.
“oh Tuhan, aku tidak mau seperti pak Jo, diajak bicara diam saja” tepus Jengki sambil lirik kanan kiri.
Padahal tidak ada bintang yang jatuh atau bergeser, yang ada meteor bergerak dan terkenal dengan cahayanya. Seorang pria tua sebaya dengan pak Jo, mendekati Jengki. Padahal bukan hari lahir Jengki, kok ada kado ya. Seonggok tubuh besi terangkai, sepeda perempuan,namanya Pink. Tubuhnya berbalut busana dari plastik warna Pink.
“Gusti, ada apa ini, kau berikan aku teman malam ini, sebangsaku Kau sandarkan di bahu kiriku. Meskipun tidak dapat komentar dan wejangan dari pak Jo, malam ini aku punya teman baru. Kau baik sekali, teramat baik” ucap Jengki sambil mesam-mesem memulai bicara dengan Pink.
Entah roh apa yang sudah masuk ke jiwa pak Jo, sehingga kedua tangannya menarik jendela dan segera menutupnya.
Semakin gaduh saja penuh dengan tawa canda menguap di alkid.
Pak Jo, semoga kau baik-baik saja.
jengki:: hanyalah sepeda lanang yang mampu bicara.
[caption id="attachment_79768" align="aligncenter" width="448" caption="Jengki dan pINK (DOK.P)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H