Karya : Ainul Hidayah
Kau ingat sewaktu kita pernah bertemu pada lembah edelwais, puncaknya kau berkata " aku mencintaimu tanpa pernah tetapi dan karena". Ku anggap itu semua ambigu dalam persepsiku .Lalu bersama kita tertawa renyah dalam teduh kerinduan yang mulai basah. Kita juga sempat berpesta pora merayakan rindu yang menjejal memenuhi ruang hatiku. Suatu ketika kau berkata bahwa kita tak lagi bisa bersama . Hari itu pula , aku undur diri dari kekasih hati menjadi seseorang yang pernah menemanimu menyeduh kopi.
________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________.
Pada dekapan temaram .
Aku bisikkan pada malam tentang aku yang masih sedu sedan.
Ku bisikkan pada hujan rintik.
Tentang tangisku yang berisik.
Di suatu sudut malam.
Kulihat kenangan mengucapkan sampai jumpa pada deru perpisahan.
Disaat "dia" mulai melayangkan bait perpisahan.
Disini "aku" masih berusaha mendengungkan keikhlasan.
Aku masih berpijak pada prosanya dan selamanya takkan pernah beranjak.
Aku pedih.
Aku tersisih.
Pada kenangan mu yang belum bersih.
Di benakku terbentuk tanda tanya.
"Mengapa dari sekian banyak kisah cinta didunia , aku mendapat cerita cinta siti nurbaya?"
Disaat pundaknya kujadikan puncak rengkuhan.
Dari sandiwara dunia yang belum juga menemukan kesadaran.
Mengapa aku hanya dijadikan titik pelampiasan?
Malam ini , aku mengusir paksa gerimis yang datang mengemis .
Menunjuk pelupuk mata ku sebagai subjek yang strategis.
Ku mencoba ikhlas dari semua nestapa yang datang dalam bingkai cinta.
Semoga mendung hanya aku yang merasa.
Dan tentang kisah kita yang sebentar lagi kadaluarsa.
Trenggalek , 24 Nopember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H