K.G.P.A.A. Mangkunegara IV atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV dalam aksara jawa () lahir pada tanggal 3 Maret 1811. Beliau adalah Adipati keempat Mangkunegaran yang memerintah dari tahun 1853 sampai 1881. Mangkunegara IV lahir dengan nama Raden Mas Soediro. Mangkunegara IV adalah anak ketujuh dari Kanjeng Pangeran Harya Hadiwijaya I dan Bandara Raden Ajeng Sekeli yang merupakan anak dari Mangkunegara II.
Sejak kecil R.M. Soediro diasuh langsung oleh kakeknya K.G.P.A.A. Mangkunegara II, tetapi setelah berusia 10 tahun diserahkan kepada Kanjeng Pangeran Rio, yang kelak maik takhta menjadi K.G.P.A.A. Mangkunegara III, serta diangkat sebagai putranya. Pada usia 15 tahun, beliau masuk menjadi Prajurit Infanteri Legiun Mangkunegaran, yang 3 tahun kemudian mendapat pangkat kapten.
Semasa itu beliau senantiasa bersama ayahanda angkatnya (waktu itu belum naik takhta), dititahkan untuk mengikuti tugas-tugas perang kakeknya K.G.P.A.A Mangkunegara II, antara lain; Perang di Cirebon, Palembang, Diponegaran. Oleh karena itu beliau selalu mendapatkan tanda jasa dan bintang jasa, sedangkan pangkatnya dalam Legiun cepat meningkat pula. Akhirnya ketika berpangkat Mayor Infanteri, beliau diangkat menjadi Ajudan merangkap Pepatih Dalem Mangkunegaran oleh ayahanda angkatnya. Tidak lama kemudian diangkat menjadi Pangeran, dengan sebutan K.P.H. Gondokusumo, yang selanjutnya dinikahkan dengan putri sulung K.G.P.A.A. Mangkunegara III, bernama Bendara Raden Ajeng Doenoek.
Setelah K.G.P.A.A. Mangkunegara III wafat, beliau diangkat sebagai penggantinya pada tanggal 14 Rabiulawal Jimawal 1791 atau 24 Maret 1853, yang sementara itu masih bergelar K.G.P.A.A. Prabu Prangwadono, Letnan Kolonel Infanteri Legiun Mangkunegaran. Ketetapan memangku gelar K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, saat beliau berusia 47 tahun, pada hari Rabu Kliwon tanggal 27 Sura Jimakir 1786 atau 16 Agustus 1857. Semasa beliau bertahta, banyak mendapatkan pujian dan anugerah berupa bintang jasa dari kerajaan Austria, Jerman, Belanda atas karya-karya dan jasa-jasa beliau dalam mengembangkan, serta mengemudikan pemerintahan Mangkunegaran. Semasa pemerintahan beliau, Mangkunegaran mengalami zaman keemasan, baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun kebudayaan, yang disebut Kala Sumbaga.
Sumbaga bermakna termashur dan sangat sejahtera, dan tepatlah jika dikatakan, bahwa beliau adalah pembina utama kemashuran nama, serta peletak dasar daripada kekayaan kerabat Mangkunegaran, baik di dalam maupun di luar negeri. Pada masa itulah perkebunan kopi dan tebu mulai diselenggarakan hampir di seluruh wilayah Kadipaten Mangkunegaran. K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, jelas adalah seorang negarawan dan sekaligus usahawan agung, dan lebih daripada itu, beliau pun adalah seorang seniman dan filsuf besar.
Kemampuan beliau sebagai seorang seniman dan filsuf besar. Kemampuan beliau sebagai seorang seniman dan filsuf besar itulah, telah mewariskan sesuatu yang sangat berharga, tidak hanya bagi kerabat Mangkunegara saja, tetapi juga sebagai masyarakat luas di luar lingkungan Mangkunegaran. Warisan tersebut berupa karya-karya sastra karangan beliau dalam bentuk puisi (tembang), hingga kini masih sangat digemari dan dikagumi, antara lain berjudul; Tripama, Manuhara, Nayakawaea, Yogatama, Pariminta, Pralambang, Lara Kenya, Pariwara, Rerepen Prayangkara, Rerepen Prayasmara, Sendhon Langenswara, dan yang paling terkenal sebuah karya sastra filosofis adalah Wedhatama.
Betapa termashurnya Kitab Wedhatama dan betapa harumnya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, sebagai seorang penyair dan filosof besar, dapat dibuktikan dengan beberapa pendapat di bawah ini:
Meskipun Wedhatama itu kecil dan tipis, namun isinya padat dan lengkap serta luas jangkauannya. Kata-katanya mengandung makna yang dalam, dan susunan kalimatnya sangat menarik untuk didengar, sehingga menggertakan perasaan dan dapat dijadikan sarana penggemblengan serta pembinaan jiwa/watak. Hal itu merupakan pertanda, bahwa Wedhatama adalah ciptaan seorang insan utama, yang mendapat tuntunan Tuhan.
Seluruh hasil ciptaannya menyangkut kebutuhan manusia, sebagai dasar pengetahuan tentang Kodrat Illahi, sebagai tuntunan dalam pendidikan, kesusilaan, keluhuran budi, keagamaan serta kesempurnaan hidup.
Dalam deretan penyair jaman baru, K.G.P.A.A. Mangkunegara IV termasuk paling unggul dalam bidang bahasa, serta kemashuran tata kalimatnya. Oleh karena itu, dalam kelompok para pencipta puisi tingkat tinggi, beliau menduduki tempat yang pertama.
Pada akhirnya karangannya, Dr. Th. Pigeaud mempertegas pendapatnya dengan menyatakan, antara lain: "Oleh karena itu, dalam sejarah Kesusastraan Jawa, beliau mendapat tempat utama, yang hingga kini dan seterusnya akan tetap diingat dan dikenang orang".
Kemashuran dan dan keharuman nama K.G.P.A.A Mangkunegara IV, tidak hanya terletak dalam karya-karya sastranya semata. Namun begitu pula dengan wayang kulit pusaka Mangkunegaran, yaitu Kyai Sebet, pagelaran Wayang Madya, opera Langendriyan, pementasan fragmen epos Ramayana dan Mahabharata, serta lain-lainnya yang terkenal dengan nama Beksan Wireng, dan masih ada beberapa macam tarian kreasi baru khas Mangkunegara. Model jas yang disebut Jas Langenharjan, yang hingga kini menjadi perlengkapaan mutlak bagi busana kebesaran mempelai peia terutama di daerah Surakarta, semua itu hasil karya cipta beliau.
Karya dan Jasa- jasa K.G.P.A.A. Mangkunegara IV
Dalam menjalankan pemerintahan Mangkunegaran, beliau adalah seorang yang mandiri, penuh dengan inisiatif dan daya cipta, antara lain:
1. Di Bidang Pemerintahan
Beliau meneliti dan mempertegas kembali batas-batas wilayah antara Kadipaten Mangkunegarab dengan milik Kasunanan Surakarta denga Kasultanan Yogyakarta (desa-desa Ngawen di dalam wilayah Kasultanan Yogyakarta, adalah milik Kadipaten Mangkunegaran waktu itu).
2. Di Bidang Kemiliteran
Beliau mewajibkan setiap kerabat Mangkunegaran yang telah dewasa, dan mereka yang hendak menjadi pamong praja, terlebih dahulu harus menjalani pendidikan militer selama 6-9 bulan lamanya.
3. Di Bidang Sosial Ekonomi
Diciptakan berbagai usaha komersial yang menjadi sumber pendapatan Kadipaten seisinya, di samping memberikan lapangan kerja sebanyak mungkin dan seluar-luasnya bagi rakyat daerah Mangkunegaran. Usaha-usaha tersebut antara lain;
a. Mendirikan pabrik-pabrik gula di Tasikmadu, Colomadu, Gembongan
b. Pabrik sisal di desa Mentotulakan
c. Pabrik bungkil di desa Polokarto
d. Pabrik bata dan genteng di desa Kemiri
e. Perkebunan-perkebunan karet
f. The, kopi, kina di lereng gunung Lawu sebelah barat
g. Kehutanan di daerah Wonogiri
h. Mendirikan perumahan-perumahan untuk disewakan baik di dalam kota Surakarta sendiri, maupun di luar kota antara lain di Semarang (daerah Pindirikan).
4. Di Bidang Sosial Budaya
Sebagai manifestasi daripada keluhuran leluhurnya dan layaknya sutu kerajaan yang berdikari (walaupun kecil), pemerintahan dilengkapi dengan segala macam peralatan kerajaan seperti;
a. perhiasan-perhiasan (rijkssieraden),
b. meja kursi yang berukiran,
c. berbagai jenis lampu duduk dan gantung,
d. arca-arca,
e. permadani-permadani,
sampai pada peralatan kebutuhan rumah tangga (sendok, garpu, gelas, cangkir, dll), semua itu dipesan dan dibelinya dari luar negeri yakni, Italia, Jerman, Persia dan negara-negara lainnya. Sungguh tidak berlebihan, bila segala sesuatunya tersebut serba indah, megah, mistis, dan memesona siapapun saja yang melihatnya. Hingga kini sebagian besar, segala sesuatunya tersebut masih dapat disaksikan di dalam istana Mangkunegaran.
K.G.P.A.A Mangkunegara IV, wafat pada hari Jumat Wage tanggal 6 Sawal Jimakir 1810 atau 8 September 1881, dalam usia 75 tahun dan bertahta selama 25 tahun. Putra/putri beliau sebanyak 32 orang, 10 orang diantaranya telah wafat waktu masih kecil, dan dua orang putranya berturut-turut naik takhta sebagai K.G.P.A.A Mangkunegra V dan VI.
Pengertian Kepemimpinan
Menurut Kadarusman (2012) kepemimpinan (Leadership) dibagi tiga, yaitu:
1. Self Leadership
Self Leadership adalah memimpin diri sendiri agar jangan sampai gagal menjalani hidup dengan cara mengembangkan visi, tujuan, dan strategi untuk mencapai keberhasilan dalam kehidupan pribadi maupun profesional.
2. Team Leadership
Team Leadership didefinisikan sebagai memimpin orang lain, yang memahami dengan jelas apa tanggung jawab kepemimpinannya, memahami dengan jelas apa tanggung jawab kepemimpinannya, memahami dengan jelas keadaan bawahannya, dan bersedia berkomitmen terhadap tuntutan dan konsekuensi dari tanggung jawab tersebut.
3. Organizational Leadership
Organizational Leadership ialah, pemimpin yang dapat memahami kemajuan organisasi di mana ia berpartisipasi dan dapat memenuhi tanggung jawabnya sebagai pemimpin organisasi dengan menciptakan visi dan misi juga mengembangkan organisasinya dengan lebih baik. Serta membangun perusahaan yang terpercaya bagi masyarakat di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
Secara umum, kepemimpinan adalah kemapuan memimpin dalam mengendalikan, mengarahkan, dan mempengaruhi pikiran, emosi, atau perilaku orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hal ini terlihat dari keberhasilan seorang pemimpin dalam menginspirasi orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang sangat bergantung pada wewenang, serta kemampuan pemimpin dalam memotivasi setiap bawahan, rekan kerja, dan atasan pemimpin.
Kepemimpinan terkadang dipahami hanya sebagai kekuatan untuk menggerakan dan mempengaruhi orang lain. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi orang, khususnya ancaman, imbalan, kekuasaan, dan persuasi. Dengan ancaman, bawahan akan takut dan menuruti segala perintah dari atasan.
Kepemimpinan Serat Wedhatama KGPAA Mangkunegara IV
Secara semantik, Serat Wedhatama berasal dari tiga suku kata yaitu : Serat, Wedha, dan Tama. Serat adalah karya yang berbentuk tulisan. Wedha adalah pengetahuan atau ajaran dan tama berasal dari kata utama yang artinya baik, tinggi atau luhur. Dapat ditarik kesimpulan bahwa Serat Wedhatama adalah sebuah karya yang berisi pengetahuan untuk dijadikan bahan pengajaran dalam mencapai keutamaan dan keluhuran hidup (Wibawa: 2010:10).
Menrurut K.G.P.A.A. Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama mengangkat tentang ajaran kepemimpinan, menekankan kepemimpinan sebagai kepemimpinan yang berdasarkan pada kaidah-kaidah budaya, khususnya budaya Jawa, agar pemimpin tidak kehilangan jati diri bangsa. Seorang pemimpin harus menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan-Nya. Kepemimpinan religus atau Satria Pinandhita Sinishan Wahyu merupakan refleksi sifat kepemimpinan tersebut, menjawab Jangka Jayabaya mengenai ciri pemimpin "Panca Pa Manunggal" (lima pa yang bersatu) yang merupakan keterpaduan serta keselarasan jiwa atau ruh, yaitu; Pandhita (pendeta), Pangayom (pelindung), Panata (manajer), Pamong (pelayan), Pangreh (pemimpin).
Jawaban di dalam Serat Wedhatama adalah cita-cita luhur Prabu Jayabaya yang dikaji oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV di dalam Serat Wedhatama, dan kemudian dijadikan sebuah ajaran sebagai sarana untuk mencapai kepemimpinan religius atau pengembangan karakter Satria Pinandhita Sinishan Wahyu, yang diyakini masyarakat Jawa sebuah harapan atau cita-cita yang tertulis sebagai perwujudan agar bangsanya tidak kehilangan arah dalam menjalani tujuan kehidupan, baik itu dalam bermmasyarakat ataupun bernegara.
Kandungan nilai-nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam Serat Wedhatama
Dalam Serat Wedhatama, terdapat beberapa nilai-nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan. Pemimpin atau penguasa diharapkan untuk meneladani dan mengamalkan nilai-nilai tersebut guna menciptakan tata kelola yang baik dan memberikan contoh yang positif kepada rakyat. Beberapa nilai-nilai tersebut antara lain:
1. Kesederhanaan (Nyider Batin)
Pemimpin dihimbau untuk hidup dengan sederhana dan tidak terjebak dalam kemewahan yang berlebihan. Sifat kesederhanaan menjadi contoh bagi rakyatnya, sehingga dapat menciptakan hubungan yang lebih dekat antara pemimpin dan rakyat.
2. Keadilan (Adil)
Pemimpin diharapkan bersikap adil dalam mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah. Keadilan menjadi dasar bagi stabilitas dan harmoni dalam masyarakat.
3. Keteladanan (Ajining Kendhat)
Pemimpin diharapkan menjadi teladan bagi rakyatnya dalam segala hal. Sikap dan perilaku pemimpin dapat memberikan inspirasi positif kepada masyarakat, sehingga tercipta suasana harmonis dan produktif.
4. Kesetiaan (Nyawang)
Pemimpin diharapkan setia kepada nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip yang dipegang teguh. Kesetiaan terhadap nilai-nilai tersebut akan menciptakan kepercayaan dari rakyatnya.
5. Kepemimpinan yang Bijaksana (Pangastuti)
Pemimpin diharapkan memiliki kebijaksanaan dalam mengambil keputusan dan menanggapi situasi yang kompleks. Kepemimpinan yang bijaksana akan membawa kestabilan dan kemajuan bagi masyarakat.
6. Kemurahan Hati (Welas Asih)
Pemimpin diharapkan memiliki hati yang luas dan kemurahan hati terhadap rakyatnya. Sikap ini menciptakan kebersamaan dan rasa keadilan di tengah masyarakat.
7. Kerendahan Hati (Alim/Urip Lan Woso)
Pemimpin dihimbau untuk memiliki sikap rendah hati dan tidak sombong. Sikap ini akan membuat pemimpin lebih terbuka terhadap masukan dan aspirasi rakyatnya.
Pemimpin yang menerapkan nilai-nilai tersebut diharapkan dapat menciptakan pemerintahan yang baik, adil, dan berkelanjutan, serta dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut mencerminkan konsep kepemimpinan yang berlandaskan pada moral dan etika, sejalan dengan tujuan Serat Wedhatama dalam memberikan petunjuk hidup yang baik dan benar.
Konsep kepemimpinan religius Jawa dalam Serat Wedhatama
1) Pemimpin harus memegang kuat Tri Prakara (tiga hal) yang disebut Tri Winasis, yaitu:
a. Kepandaian atau ilmu pengetahuan yang dimaksud, adalah kepandaian lahir dan batin (agama) bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
b. Wirya atau Keluhuran (kedudukan) yang bertujuan seorang pemimpin diharuskan memiliki wibawa yang tinggi.
c. Kebahagiaan atau kekayaan disebutkan dalam kaitannya dengan "kesejahteraan batin", yaitu kekayaan hati yang hakiki, yang bertujuan untuk menyempurnakan kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
2) Etika pemimpin menurut Serat Wedhatama, yaitu:
a. Mengenai tata krama (sopan santun).
b. Ajaran untuk selalu bersifat rendah hati.
c. Menghilangkan sifat ragu-ragu.
d. Ajaran larangan untuk bersikap sombong dan takabur.
e. Ajaran keteladanan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, dan Pangeran Senopati mengenai pokok ajaran-ajarannya.
f. Mengenai ajaran cinta kasih.
g. Ajaran untuk menghindari keserakahan.
h. Ajaran 3 (tiga) pegangan hidup para pemimpin (satria) Jawa, yaitu:
- Rela, artinya pengorbanan, persetujuan, atau tindakan tanpa paksaan.
- Sabar, artinya menahan diri dari tindakan atau reaksi negatif di tengah-tengah cobaan, kesulitan, atau tekanan.
- Ikhlas, artinya keadaan atau sikap ketulusan hati dalam melakukan sesuatu, tanpa menyimpan maksud atau motif tertentu selain untuk mencari ridha Tuhan atau untuk kebaikan bersama.
3) Konsep syarat untuk mencapai kepemimpinan religius yang tersirat dalam Serat Wedhatama, yaitu :
a. Menjauhi nafsu angkara.
b. Memahami ilmu kejiwaan dan kebatinan dalam mempelajari ilmu pengetahuan sebagai pegangan hidup di dunia dan di akhirat. Dengan menguasai Triloka (tiga alam, yaitu:
- Alam dunia (lahiriah).
- Alam astral (perasaan).
- Alam kelanggengan atau mental (angan-angan).
dan Tri Winasis sebagai syarat hidup seorang pemimpin, yaitu:
- Wirya (keluhuran/kekuasaan, yaitu berusaha bekerja semaksimal mungkin untuk mencapai kedudukan.
- Harta (kesejahteraan), yaitu mendapatkan modal yang halal semaksimal mungkin.
- Cindikia atau ilmu pengetahuan (kepandaian), yaitu berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan.
c. Melaksanakan sembah raga, cipta, jiwa dan rasa, yaitu:
- Sembah raga (meningkatkan ilmu pengetahuan secara wajar)
Sembah raga bersifat lahiriah yang dilakukan dengan syarat pertama dengan air (air wudu) dan kewajiban melaksanakan salat 5 waktu yang dilakukan tetap dan tekun, bertujuan untuk menyegarkan atau menyehatkan badan jasmani dan menenangkan atau mententramkan hati.
- Sembah cipta (konsentrasi/fokus)
Sembah cipta atau sembah kalbu, yaitu menyembah Allah SWT, yang bertujuan untuk membersihkan kalbu (hati) dari penyakit hati, dengan syarat utama mengurangi hawa nafsu dan pensuciannya menggunakan air (wudu).
- Sembah jiwa (tawakal lahir batin atau berbakti kepada Tuhan)
Sembah jiwa merupakan sembah yang sudah tidak bercampur mengenai persoalan lahiriah maka disebut sebagai "laku batin". Sembah ini yang di tunjukkan kepada "sukma". Sembah ini boleh dikatakan penting sebab mempunyai hubungan dengan batin.
- Sembah rasa atau "sembah rasa sejati"
Merupakan sembah terakhir yang mempunyai tingkatan yang paling tinggi diantara sembah lainnya. Sembah ini bukan rasa yang bersifat lahiriah seperti, pahit, asin, manis, sakit, senang, dan sebagainya. Tetapi rasa sejatinya rasa, rasa yang paling halus yang menguasai segala rasa-rasa lahiriah, yang dapat merasakan hakekat kehidupan.
ISI Serat Wedhatama
Serat Wedhatama yang ditulis oleh Mangkunegara IV terdiri dari 5 pupuh, yaitu Pangkur, Sinom, Pocung, Gambuh, dan Kinanthi.
1. Pupuh Pangkur (14 pupuh, I-XIV), membahas tentang figur manusia yang baik dari segi identitas, ilmu, dan karakternya.
2. Pupuh Sinom (18 pupuh, XV-XXXII), membahas tentang hak dan kewajiban spiritual kehidupan manusia.
3. Pupuh Pocung (15 pupuh, XXXIII-XLVII), membahas tentang persyaratan dasar hidup seorang manusia berupa pentingnya perjuangan dan pengetahuan untuk mendapatkan kekuasaan, kekayaan, dan keahlian untuk menempuh lautan kehidupan di dunia.
4. Pupuh Gambuh (35 pupuh, XLVIII-LXXXII), membahas tentang pemahaman dasar agama Islam untuk mendapatkan kasih dan karunia dari Allah SWT.
5. Pupuh Kinanthi (18 pupuh, LXXXIII-C) membahas tentang ajaran dan konsep dalam menjalani kehidupan di dunia ini dengan baik.
Isinya adalah falsafah hidup seperti hidup bertoleransi, menganut ajaran agama dengan bijaksana, bagaimana menjadi manusia yang sempurna dan bagaimana menjadi pribadi yang berkepribadian dermawan.
Konsep dan Pengertian KORUPSI
Hampir setiap hari kita mendengar tentang tindakan korupsi, baik yang dilakukan oleh penyelenggara negara maupun pelaku ekonomi lainnya, dan keadaan ini telah merambah ke setiap elemen kehidupan manusia. Situasi yang mengkhawatirkan ini telah dicari solusinya oleh Pemerintah maupun lembaga-lembaga lainnya untuk memperbaiki kasus korupsi, namun korupsi belum dapat terselesaikan degan baik.
Meskipun upaya pencegahan yang dilakukan pemerintah telah dilakukan secara maksimal, salah satunya adalah dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia disingkat KPK, yang dibentuk pada tanggal 29 Desember 2003 berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002. Ada pula tindak pidana korupsi telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1990 dan UU No. 20 Tahun 2001. Dari segi hukum, tindak pidana korupsi pada umumnya mencakup unsur-unsur seperti perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kekuasaan, kesempatan atau sarana, memperkaya diri sendiri atau orang lain, usaha atau badan usaha lain, dan menimbulkan kerugian pada negara atau perekonomian negara.
Memahami arti korupsi dari akar etimologis. Kata "korupsi" berasal dari bahasa Latin.
a. Corruption (kata benda): hal merusak, hal membuat busuk, pembusukan, penyuapan, kerusakan, kebusukan, kemerosotan
b. Corrumpere (kata kerja): menghacurkan, merusak, merusak bentuk, memutarbalikkan, membusukkan, memalsukan, memerosotkan, mencemarkan, menyuap, melanggar, menggodai, memperdayakan.
c. Corruptor (pelaku): perusak, pembusuk, penyuap, penipu, pengoda, pemerdaya, pelanggar.
d. Corruptus-a-um (kata sifat): rusak, busuk, hancur, tidak utuh, tidak murni, merosot, palsu.
Korupsi di tanah negeri, ibarat "warisan haram" tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal meliputi aspek etika seperti :
Aspek Perilaku Individu
Sifat manusia adalah serakah / tamak. Korupsi bukanlah kejahatan kecil karena perlu makan. Korupsi adalah kejahatan yang dilakukan oleh para profesional yang tamak. Cukup sudah, tapi tetap serakah. Memiliki keinginan yang besar untuk menjadi kaya. Faktor penyebab terjadinya korupsi pada para pelaku kejahatan ini berasal dari dalam dirinya sendiri, yaitu keserakahan dan keserakahan. Oleh karena itu, diperlukan tindakan tegas dan tanpa kompromi.
* Kurangnya etika yang kuat. Orang yang lemah moralnya mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan bisa datang dari atasan, teman yang berpangkat lebih tinggi, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan.
* Gaya hidup boros. Kehidupan di kota-kota besar seringkali mendorong gaya hidup konsumeris. Jika perilaku konsumsi tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai, maka kontrol seluruh anggota masyarakat terhadap aparatur pemerintah dapat memperbaiki sistem pelayanan menjadi lebih terbuka dan transparan. Untuk menghilangkan praktik korupsi dalam sistem pelayanan publik.
Aspek Sosial
Perilaku korup bisa terjadi karena dorongan keluarga. Peneliti perilaku berpendapat bahwa lingkungan keluargalah yang sangat mendorong seseorang untuk melakukan korupsi, sehingga mempengaruhi kualitas manusia yang menjadi ciri kepribadian. Dalam hal ini, lingkungan memberikan dorongan, bukan hukuman, ketika mereka menyalahgunakan kekuasaannya.
Sedangkan faktor eksternal dapat dikaitkan dengan beberapa aspek seperti :
Aspek sikap masyarakat terhadap korupsiSecara umum manajemen selalu menutup-nutupi praktik korupsi yang dilakukan oleh segelintir individu dalam organisasi. Karena sifatnya yang tertutup ini, pelanggaran korupsi terus terjadi dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu, sikap masyarakat dapat mendukung terjadinya praktik korupsi karena alasan berikut :
* Nilai-nilai sosial menciptakan kondisi terjadinya korupsi. Korupsi bisa disebabkan oleh sosial budaya. Misalnya masyarakat menghormati seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis terhadap kondisi, seperti di mana kekayaan diperoleh.
* Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah diri mereka sendiri. Pandangan umum masyarakat terhadap kasus korupsi adalah negara yang paling dirugikan. Padahal, kalau negara rugi, rakyat juga yang paling dirugikan, karena proses anggaran pembangunan bisa terpotong karena korupsi.
* Masyarakat kurang sadar akan keterlibatannya dalam korupsi. Setiap tindakan korupsi mau tidak mau melibatkan anggota masyarakat. Masyarakat kurang menyadarinya. Faktanya, masyarakat sering kali terbiasa terang-terangan ikut serta dalam kegiatan korupsi setiap hari, namun tidak menyadarinya.
* Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan dihilangkan jika mereka berpartisipasi aktif dalam program pencegahan dan pemberantasan korupsi. Masyarakat secara umum berpandangan bahwa permasalahan korupsi adalah tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi hanya bisa dihilangkan jika masyarakat bekerja sama.
Aspek ekonomi . Pendapatan yang didapat dirasa tidak mencukupi kebutuhan . Semasa hidup seseorang, tidak menutup kemungkinan seseorang akan terjerumus dalam keadaan darurat ekonomi. Keadaan darurat ini membuka kemungkinan bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas, termasuk melakukan tindakan korupsi.
Aspek Politis. Kontrol sosial merupakan suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi masyarakat agar berperilaku sesuai dengan harapan sosial. Kontrol sosial ini dilakukan dengan menggerakkan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu badan yang terorganisir secara politik, melalui lembaga-lembaga yang didirikannya. Dengan demikian, ketidakstabilan politik, kepentingan politik, serta perolehan dan mempertahankan kekuasaan semuanya berpotensi menimbulkan perilaku korupsi.
Aspek Organisasi. Pada aspek organisasi ini terbagi menjadi beberapa bagian seperti :
* Kurangnya sikap kepemimpinan yang patut diteladani. Posisi seorang pemimpin dalam organisasi formal maupun informal mempunyai pengaruh penting terhadap bawahannya. Jika seorang pemimpin gagal memberikan contoh yang baik kepada bawahannya, misalnya dengan melakukan korupsi, maka besar kemungkinan bawahannya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
* Kurangnya budaya organisasi yang baik. Budaya organisasi pada umumnya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap para anggotanya. Jika budaya organisasi tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan banyak situasi buruk yang mempengaruhi kehidupan organisasi. Dalam situasi seperti ini, tindakan negatif seperti korupsi sangat mungkin terjadi.
* Sistem akuntabilitas belum lengkap. Di satu sisi, organisasi pemerintah pada umumnya belum merumuskan secara jelas visi dan misi yang dijalankannya, serta belum terbentuknya tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai hal tersebut. Akibatnya, sulit bagi lembaga pemerintah untuk mengevaluasi apakah mereka berhasil mencapai tujuan mereka. Akibat lainnya adalah kurangnya perhatian terhadap efisiensi penggunaan sumber daya yang ada. Situasi ini menciptakan situasi organisasi yang kondusif bagi praktik korupsi.
* Kelemahan sistem pengendalian manajemen. Pengendalian manajemen merupakan salah satu kondisi yang menyebabkan terjadinya perilaku koruptif dalam suatu organisasi. Semakin lemah/kendali pengendalian manajemen suatu organisasi, semakin rentan organisasi tersebut terhadap perilaku korupsi yang dilakukan oleh anggota atau karyawannya.
* Pengendalian yang lemah. Secara umum pengendalian dibedakan menjadi dua jenis: pengendalian internal (pengendalian fungsional dan pengendalian langsung terhadap manajemen) dan pengendalian eksternal (pengendalian legislatif dan publik).Pengawasan ini tidak bisa efektif karena beberapa faktor, antara lain tumpang tindih pengawasan di berbagai instansi, kurangnya pengawasan profesional, dan kurangnya penghormatan terhadap hukum dan etika pemerintah dari pengawas itu sendiri.
Kaitan antara ajaran KGPAA Mangkunegara IV yang terdapat pada Serat Wedhatama dengan Upaya Pencegahan tindakan Korupsi :
Umumnya, tindakan korupsi dilakaukan oleh orang yang memiliki jabatan tinggi atau dapat disebut sebagai seorang pemimpin. Hal ini dilakukan karena terdapat faktor -- faktor serta adanya kesempatan untuk melakukannya. Dengan adanya tindakan ini dapat mengakibatkan kerugian diberbagai aspek kehidupan dan di berbagai lapisan kehidupan. Maka dalam upaya pencegahan nya seorang pemimpin atau leader harus memiliki pedoman dalam menjalan perannya sebagai seorang pemimpin agar terhindar dari tindakan penyelewengan yang dapat menyebabkan kerugian orang banyak atau korupsi. Salah satu pedoman yang dapat digunakan ialah Serat wedhatama yang dibuat oleh KGPAA Mangkunegara IV.
Pada dasarnya Serat wedhatama yang dibuat oleh KGPAA Mangkunegara IV berisikan petuah -- petuah atau nasihat yang dapat dijadikan pedoman hidup. Hal ini pula yang dapat dipegang sebagai acuan dasar dalam upaya menjadi seorang pemimpin. Terdapat beberapa konsep yang terdapat pada Serat wedhatama antara lain yaitu Konsep Tri Ugerung Ngaurip. Didalam konsep tri ugering ngaurip terbagi menjadi beberapa bagian seperti Wirya ( kndl (berani), kuwasa (berkuasa); mulya (mulia), dan luhur. ), Arta ( uang, harta benda, atau kekayaan. ), Dan Winasis ( pandai, cerdas atau terampil. ). Selain itu, terdapat pula hal -- hal positif yang harus terdapat pada diri seorang pemimpin antara lain yaitu Tidak merasa bisa, Tapi bisa merasakan; memiliki keberanian, sikap lugas dan berfikir masa panjang ; Memiliki kejujuran dimanapun posisi keberadaannya ; memiliki sikap responsif kepada keadaan sekitar serta selalu merasa bersyukur. Apabila seorang pemimpin dapat menjadikan hal -- hal tersebut sebagai pedoman dan dapat di amalkan pada kehidupan sehari -- harinya maka dapat dipastikan seorang pemimpin tersebut akan menghindari kegiatan tindakan korupsi. Hal ini diakibatkan karna apabila seorang pemimpin melakukan hal tersebut dapat merusak segala aspek termasuk dirinya sendiri.
Hubungan Kepemimpinan Serat Wedhatama dalam Upaya Pencegahan Korupsi
Berikut ini merupakan penerapan ajaran Serat Wedhatama dalam upaya pencegahan korupsi:
1. Pemimpin harus memiliki sifat jujur dan dapat dipercaya. Pemimpin yang jujur akan selalu berkata dan bertindak jujur, sehingga tidak akan berani menerima suap atau melakukan korupsi lainnya.
2. Pemimpin harus memiliki sifat adil dan bijaksana. Pemimpin yang adil akan selalu bersikap adil terhadap semua orang, sehingga tidak akan melakukan korupsi demi kepentingan pribadi atau kelompoknya
3. Pemimpin harus memiliki sifat luhur budi dan keteladanan. Pemimpin yang memiliki budi pekerti yang luhur akan selalu bersikap baik dan hormat kepada semua orang, sehingga akan menjadi panutan bagi bawahannya.
Dengan menerapkan ajaran-ajaran Serat Wedhatama dalam kepemimpinan, maka upaya pencegahan korupsi dapat menjadi lebih efektif.
Daaftar Pustaka
Yudiaatmaja, F. (2013). Kepemimpinan: konsep, teori dan karakternya. Media Komunikasi FPIPS, 12(2).
KOMARUDIN, A. (2014). Konsep Kepemimpinan Jawa KGPAA Mangkunegara IV (Studi terhadap Serat Wedhatama) (Doctoral dissertation, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA).
Serat wedhatama: mandiri caraka trah Mataram. (2010). Indonesia: Narasi.
Ebook Al Bariyah, Wahyu Pemimpin
Muthia Khansanatunnisa, Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Tembang Kinanthi Serat Wedhatama dengan Media Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H