Hujan di bulan Desember selalu saja membawa resah. Kau tahu, kenapa?
"Atapnya bocor lagi, Pah." Sani berteriak membuat ayahnya tercengang.
Sigap memperhatikan ke arahku. Di atas kepalaku yang merembes, membuat lantai rumahnya licin oleh genangan air.
"Cepat ambil kain pel, Sani!"Â
Mamah Dita tanpa disuruh sudah muncul membawa ember dan kain pel. Membersihkan lantai kamar anaknya. Anak perempuan semata wayangnya ini memang sedikit manja.Â
Esoknya, Pak Rudi memperbaiki kepalaku yang sedikit bergeser. Lalu, melapisinya dengan cairan waterproofing. Aku sama sekali tidak keberatan. Sebenarnya, aku ingin lebih dari ini. Sudah lama mereka belum memberiku perawatan rutin. Seperti kepalaku bocor yang menyebabkan masuknya air melalui celah-celah lubang kecil. Pak Rudi lupa memberi sentuhan. Sampai-sampai aku tidak kuat menahan beban. Banyak noda kusam, menjamur, kulitku mengelupas di bagian luar dan dalam.
Mereka sama sekali tidak pernah memperhatikanku selama ini. Gara-gara hujan deras, mereka baru sadar aku butuh pelayanan ekstra.
Seharusnya, mereka berterima kasih kepadaku telah memberikan kenyamanan bertahun-tahun. Dengan tegapnya tubuhku ini. Kebahagiaan hadir di keluarga kecilnya. Menemani selama dua puluh tahun, sekarang Sani sudah tumbuh menjadi gadis belia.
Aku merasa kenyang, jika menghirup bau masakan Mamah Dita. Perempuan paruh baya yang menjelma seperti malaikat. Setiap hari merawatku dengan penuh perhatian kecil.Â
"Hati-hati, Sani. Lantainya belum kering."
Sani mondar mandir membuka daun lemari es. Meraih minuman dingin. Jejak sepatunya, memberi tanda noda di mana-mana. Aku sangat kesal dengan perlakuan Sani terhadapku, juga ibunya. Yang tidak mau sedikit meringankan beban pundak sang ibu.