Menjadi seorang ibu memang tidak mudah. Melihat perubahan anakku sekarang, setelah mengalami masa pubertas. Nia, gadis kecilku telah bertumbuh besar menjadi seorang remaja. Buah dadanya semakin menonjol, wajahnya tumbuh berjerawat. Mulai menjaga penampilan, menggunakan pembersih wajah. Lebih sering mendekam di kamarnya sepulang dari sekolah menengah pertama.
Jemari ini mengetuk pelan pintu kamar, "Nia, boleh Mama masuk?"
Nia membukakan pintu dengan wajah bertekuk. "Ada apa, Mah?"
"Mama mau berbincang-bincang sama anak Mamah ini. Boleh 'kan?"
Aku duduk di sisi ranjangnya, Nia mulai memainkan ponsel. Sebelah mata kiriku mencoba melirik ke arah layar gadgetnya, mendapati anakku tengah mengetik pesan balasan.
"Ehem ... " Mendengar aku berdehem, anakku menoleh. Lalu, meletakkan ponselnya.
Aku segera bertanya, "Gimana sekolahnya? Apa hari ini ada tugas dari ibu guru?"Â
"Nggak ada, Mah."
"Mama pengen tahu, nama temen-temen Nia yang akrab sama kamu di Sekolah."
Nada pesan berdering, getarannya terasa di kasur busa. Nia hendak mengambil ponselnya, sebelum itu aku mencegah.
"Kok nggak dijawab."
"Banyak, Mah. Ada Iis, Dewi teman sebangku Nia. Maudi, Gita, dan Rosa."
"Kalau yang cowok, siapa?"
"Gi_" Hampir saja Nia ingin menyebut nama temannya itu. Lantas hening. Wajahnya menyembunyikan rasa takut. Takut melihat perubahan sikapku. Aku masih menunjukkan sikap biasa saja.Â
Mencoba memposisikan sebagai kawan, sahabat untuk anakku. Nia.
"Gilang, ya." Aku menebak namanya.
"Kok, Mama tahu."
"Jadi, bener namanya Gilang! Gilang teman sekelas kamu. Kamu lagi dekat sama dia? Bukannya dulu kamu musuhan."
Nia mungkin sudah lupa pernah cerita soal temannya itu. Yang sering gangguin dia, mengatakan Nia hidungnya pesek.Â
"Mamah kok masih ingat saja sih." Rona wajah Nia bersemu merah.
Dari kelas satu, Nia dan Gilang satu kelas. Mereka bukan kawan yang rukun. Setiap kali mencela nama Gilang, di depanku. Sepulang dari sekolahnya. Nia mengadu.
"Gilang nyebelin, Mah. Masa dia suka nyuruh-nyuruh Nia. Mentang-mentang jadi ketua kelas, dan Nia sekretaris kelas. Disuruh ngambil buku, bukannya bantu malah Nia juga yang bawa sampai ke kelas. Dan, yang paling Nia sebel dia suka manggil Nia sek-pesek. Akhirnya, teman-teman yang lain juga ikut-ikutan." Ocehan Nia masih saja tersimpan di memori otak.
Namun, sekarang Nia justru bercerita sebaliknya. Setelah dia duduk di kelas dua. Semakin hari Nia, sibuk dengan ponselnya. Senyum-senyum sendiri setelah membaca pesan.
"Iyah, dong. Mama harus tahu apapun tentang Nia. Karena Mama peduli. Sekarang, coba cerita sama Mamah. Kenapa kamu sama Gilang sudah tidak musuhan lagi?"
"Gilang suka penampilan Nia sekarang."
"Suka? Suka bukan berarti Nia sama Gilang, pacaran 'kan?"
Nia terdiam. Aku perlahan mendesaknya.
"Nia suka sama Gilang?"
Dia mengangguk. Aku menjadi semakin kuatir. Apa mungkin anakku sudah mulai pacaran? Ingin bertanya langsung. Nia tentu berkelit.
Kubelai ujung rambutnya agar Nia mengerti dengan perasaan ibunya. Bahwa aku ingin melarangnya berhubungan lebih dekat dengan lawan jenis.
"Mah, Apa Nia boleh pacaran?"Â
Hatiku semakin teriris, saat Nia meminta sesuatu yang termasuk pelanggaran.
"Nia kamu masih sekolah, Nak. Pacaran itu akan membuat kamu malas belajar."
"Mah, Nia akan rajin belajar kok. Mamah tahu kalau Nia punya pacar. Pacar Nia yang akan semangatin Nia terus."
"Dengerin Mamah, Nia. Mamah pernah muda seperti kamu. Pacaran itu selalu ingin ketemu setiap hari. Mulai jatuh cinta, mikirin yang nggak-nggak. Ketemuan di waktu weekend, duduk berduaan. Mama nggak mau kalau anak Mama sampai melakukan hal yang tidak-tidak. Jaga mahkota kamu, Nia. Jangan sampai membuat malu orang tua."
Nia menunduk.
Aku membuang napas berat, lalu menasehatinya dengan suara lembut.Â
"Bukan hanya itu Nia, belum saatnya kamu pacaran. Pacaran itu kalau kamu sudah lulus SMA, dan siap menjadi orang dewasa. Yang artinya siap untuk melangkah bersama."
"Menjadi orang dewasa, Mah. Apa itu menyenangkan?"
"Menjadi orang dewasa itu memiliki tanggung jawab yang besar, Nak. Tugas yang besar. Yang harus kamu tahu sekarang. Tugas dan tanggung jawab kamu adalah belajar. Belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus."
"Ya, Mah. Nia mengerti."
Aku memeluk Nia erat. Mengecup keningnya. Nia terlelap di pangkuanku.Â
Aku selalu berharap, Nia akan menjadi anak yang sukses di masa depan. Tidak memikirkan pacaran di usianya yang sekarang.Â
Jangan seperti ibunya! Yang kecewa jika mengingat masa lalunya. Karena pacaran saat masih sekolah. Putus sekolah di kelas tiga, mendekati ujian Nasional SMA. Dikeluarkan setelah tahu perutnya buncit.
Beruntung, anak haram itu tidak sampai terlahir ke dunia.Â
Tiba-tiba saja keluar air bening di pelupuk mata. Aku mengusapnya. Ada rasa bersalah. Terpaksa, aku telah menggugurkan kandungan itu dengan mengkonsumsi obat-obatan. Aku nyaris gila. Jika bukan sosok pria yang menjadi Ayah Nia, mengobatiku dengan cinta. Aku tidak mungkin menjadi seorang ibu.
***
Pemalang, 9 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H