Aku mengabulkan daun pintu keinginan Sani, istriku. Bukan apa-apa lantaran dia selalu memasang muka cemberut setiap kali ibu masuk kamar kami tanpa permisi.Â
"Kalau begini 'kan jadi lebih privasi, emas." Ujar Sani.
Dia terus memperhatikan aku mengetuk paku dengan palu beberapa kali hingga suara nyaring tercipta sedemikian rupa.
"Iyah, Dik. Ini namanya pintu cadangan dari bahan seadanya. Beruntung dapat material bekas yang tidak terpakai oleh Bude Narti."
tripleks, kayu jati, pintu bekas, bambu semua diangkut daripada mubazir lebih baik digunakan sebagai bahan pintu kamarku.
Lihatlah wajah Sani istriku yang sumringah, aku tidak lagi mendengar rajukannya seperti saat dia sedang terlelap tiba-tiba Bima anakku sudah tak ada di tempatnya. Terkadang saat kami berpergian ketika kami sudah kembali-- Sani akan kehilangan barang-- lipstik maupun parfum yang dia suka menjadi bahan incaran maling. Aku khawatir apabila Sani salah menebak. Sebenarnya bukan karena maling mungkin saja dia lupa menaruhnya.
Jika Sani marah dia akan mengatakan, "Mending tinggal di rumah sendiri."
Aku membalas ucapannya, "Jangan egois, San. Bima anak kita tidak betah di sana. Nanti siapa yang mau merawatnya? Kamu sendiri 'kan yang repot." Sani bergeming menunjukkan ekspresi bibir lebih maju dua senti. Aku tahu dia marah. Alasannya. "Makanya kamar kita pasang pintu, emas. Biar tidak ada yang keluar-masuk." Sani mempertegas ucapannya.
Waktu itu aku sama sekali belum dapat mengabulkan keinginan perempuan yang sudah mendampingiku selama dua tahun ini. Keadaan memaksaku untuk lebih mengutamakan kebutuhan perut dan kebutuhan mendadak seperti popok, minyak telon dan bubur kemasan anakku, Bima.
Sepertinya hari ini ada yang berbaik hati. Bude Narti baru saja merenovasi ruko dan banyak bahan sisa yang bisa dimanfaatkan. Aku memikirkan suatu hal, pintu kamar. Benar, pintu kamarku yang belum berdiri. Belum pernah aku buat untuk menutupi isi di dalam kamar, agar lebih nyaman untuk tidur sepanjang malam. Mengobrol dengan Sani tanpa harus was-was, seseorang masuk ke dalam.
Sani, benar. Jika kamar kami dibuatkan pintu akan lebih privasi. Tidak ada jejak kaki orang lain yang tertinggal, tidak ada mulut-mulut yang berkomentar, tentang isi di dalam kamar kami apabila pakaian belum dirapikan oleh Sani.
Ternyata tidak mudah membuatnya. Membuat pintu dari bahan sisa ada saja masalahnya. Dinding cepat sekali runtuh, tripleks dipasang bukannya pas malah mengelupas, merenggang dan paku saat dipalu tiba-tiba saja keluar dari tancapan.
Hampir saja aku kehilangan akal tetapi Sani terus menopang punggungku. Memijat pelipisku. Membuatkan segelas kopi hangat. Tampak jelas mimik wajahnya menunggu hasil dari kerja kerasku.Â
Lekas aku menampik malas. Sangat bersemangat mewujudkan permintaannya. Sani, istriku tercinta. Aku sangat mencintaimu. apa pun akan kulakukan demi kamu.
"Dorong kuat-kuat, San. Biar pakunya menancap ke dalam. Jadi, lebih kuat."Â
Sani terusmenerus menekan dari ujung bahan. Paku yang tadi dipalu ke lubang kayu menekuk keluar. Aku mengganti paku yang baru berulang-ulang dan akhirnya bisa terpasang. Hampir selesai.
"Makan siang dahulu, emas."
Tepat azan zhuhur bergema di masjid terdekat. Aku menikmati hidangan makan siang yang dibuat Sani. Rasanya seperti masakan Restoran. Istriku memang berbakat memasak.
Sayur bening, ikan tempe goreng dengan sambal, menjadi lauk hidangan hari ini. Sepiring rasanya belum cukup kenyang, minta nambah Sani malah menyuruhku melanjutkan pekerjaan. Halah, ya sudahlah. Akhirnya, aku pun tak dapat menolak.Â
Sepanjang keinginan dia, sampai detik ini belum pernah aku mengatakan tidak. Kalau memang tidak bisa, aku diam saja. Diam-diam aku memperhatikannya, memperhatikan langkahnya ke dapur.Â
Rupanya Sani tidak menyadari bahwa daster yang dia kenakan sudah pernah dimakan tikus tempo hari.
***
Pemalang, 21 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H