Ternyata tidak mudah membuatnya. Membuat pintu dari bahan sisa ada saja masalahnya. Dinding cepat sekali runtuh, tripleks dipasang bukannya pas malah mengelupas, merenggang dan paku saat dipalu tiba-tiba saja keluar dari tancapan.
Hampir saja aku kehilangan akal tetapi Sani terus menopang punggungku. Memijat pelipisku. Membuatkan segelas kopi hangat. Tampak jelas mimik wajahnya menunggu hasil dari kerja kerasku.Â
Lekas aku menampik malas. Sangat bersemangat mewujudkan permintaannya. Sani, istriku tercinta. Aku sangat mencintaimu. apa pun akan kulakukan demi kamu.
"Dorong kuat-kuat, San. Biar pakunya menancap ke dalam. Jadi, lebih kuat."Â
Sani terusmenerus menekan dari ujung bahan. Paku yang tadi dipalu ke lubang kayu menekuk keluar. Aku mengganti paku yang baru berulang-ulang dan akhirnya bisa terpasang. Hampir selesai.
"Makan siang dahulu, emas."
Tepat azan zhuhur bergema di masjid terdekat. Aku menikmati hidangan makan siang yang dibuat Sani. Rasanya seperti masakan Restoran. Istriku memang berbakat memasak.
Sayur bening, ikan tempe goreng dengan sambal, menjadi lauk hidangan hari ini. Sepiring rasanya belum cukup kenyang, minta nambah Sani malah menyuruhku melanjutkan pekerjaan. Halah, ya sudahlah. Akhirnya, aku pun tak dapat menolak.Â
Sepanjang keinginan dia, sampai detik ini belum pernah aku mengatakan tidak. Kalau memang tidak bisa, aku diam saja. Diam-diam aku memperhatikannya, memperhatikan langkahnya ke dapur.Â
Rupanya Sani tidak menyadari bahwa daster yang dia kenakan sudah pernah dimakan tikus tempo hari.
***