Ia tengah berbaring mendekat ke dinding. Ku usap lengan tangannya dengan lembut. Dia diam kemudian bergeser. Terdengar sesenggukan. Retno, istriku tengah menangis. Aku bingung. Mengapa istriku tiba-tiba menangis?
"Kenapa?"
Dia tetap terdiam dengan raut wajah masam. Aku mencoba membaca binar matanya agar tahu apa kesalahan ku sehingga membuat istriku menangis. Sayangnya dia kembali berpaling. Akan tetapi aku berusaha supaya mata kami bertemu.
Telapak tangan ini mencoba mengusap bening air matanya yang tumpah ke pipi. Dia mendelik. Aku tahu istriku merajuk akhir-akhir ini. Kalau tidak diam, dia akan mengomel panjang. Tetapi aku lebih suka saat dia mengomel yang berarti kesalahanku masih bisa dimaklumi.Â
"Maaf," aku segera meraih telapak tangannya sembari mengecup.Â
Pipinya merona. Dia mulai tersenyum sedikit dengan menutup bantal guling. Â Aku menghempaskan bantal guling itu ke belakang punggungnya lalu memeluk erat. Dia mulai menangis lagi.
"Maafin, Mas. Yang nggak pernah peka. Sekarang bilang Adik kenapa?"
"Makanya kalau Adik panggil itu langsung masuk. Malah dicuekin. Ngerumpi lagi sama Mbak Mirna."
Istriku kembali membaik. Dia kesal dengan kebiasaan ku. Seharusnya dia juga mengerti. Sudah lama aku tidak pernah bertemu dengan Mbak Mirna dan dengan mengobrol itu caranya mencurahkan rasa rindu antara adik dan kakak. Perempuan di mana-mana selalu saja ingin dimengerti tapi tidak mau mengerti dengan perasaan pasangannya.
Demi membuatnya senang aku tak banyak bicara. Kudengarkan dia mengomel sepanjang malam. Membiarkan dia tertidur di pangkuan.
Esoknya, istriku wajahnya tampak cerah dan ceria seperti hari biasanya. Seraya menatap, bermanja denganku sebelum berangkat kerja.