Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pensiun dari Memulung

23 September 2021   14:08 Diperbarui: 1 Desember 2022   04:57 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih tampak semburat ibu di wajahnya ketika malam semakin larut ia masih saja sibuk dengan pekerjaan. Ingin sekali aku memberikan uluran tangan tapi ditolaknya dengan ucapan yang bijaksana.

"Nanti kotor, Nak. Sudah kamu istirahat saja."

Setumpuk kardus yang tertata rapi lalu diikat dengan tali rafia. Botol-botol bekas minuman selalu saja diinjak, mengeluarkan bunyi yang sangat nyaring-- membuat bising di telinga. Acap kali mengganggu tidur tetangga. 

Karena sudah menjadi kebiasaan ibu, tak ada protes dari mulut mereka. Pekerjaan yang membuatnya bertahan dalam hidup. Meski kedua anaknya sudah membangun sebuah rumah tangga. Ibu tak ingin menjadi beban untuk anaknya. 

Terkadang sindiran tetangga memenuhi telingaku. Sudah seharusnya seusia ibu sudah pensiun.

Pernah sekali aku meminta ibu untuk berhenti bekerja, sesegera mungkin. Ditepis lantaran ekonomi belum mencukupi. Dengan suara penekanan, "Mumpung Ibu masih sanggup bekerja."

Bening air mengendap di pelupuk matanya. Mengisyaratkan keluarga kecilku yang baru seumur jagung belum dapat menopang kehidupan yang layak bersama ibu juga.

Aku masih membutuhkan ibu karena tak memiliki tabungan banyak. Seringkali menggunakan uang ibu untuk keperluan mendadak.  

Semenjak keputusan awal setelah menikah, aku menjadi istri yang setia melayani suami. Dari satu sumber penghasilan belum cukup. 

Datanglah Ibu memutuskan untuk kembali tinggal. Karena sebelum ini ia tinggal bersama anak pertamanya, yang sering kupanggil Kak Dwi.

Bisa dibilang Keluarga Kak Dwi sudah lebih mapan. Ia sudah memiliki rumah sendiri, bekerja di pabrik rokok sedangkan suaminya bekerja menjadi kuli bangunan. Keduanya sama-sama memiliki penghasilan lebih.

"Rezeki orang mana ada yang tahu," ujar Suami.

Di saat aku mengeluh meributkan soal uang yang tidak cukup, "Aku ingin bekerja." Tidak ada tanggapan sama sekali.

Tugas istri cukup di rumah, itu yang diinginkannya. Soal rezeki tak perlu ditakutkan, Allah yang akan menjamin. Bukankah makhluk yang hidup akan diberikan rizki. Seperti pohon yang tumbuh mendapatkan air hujan dan burung yang mendapatkan ikan.

Sejenak kupungut nasihat itu, sayangnya hanya sebentar. Jika sudah marah mendekati kewarasan rasa kuatir akan membludak. 

Sampai mana kesabaranku akan diuji. 

Siang itu, ibu pulang dengan membawa sejuta harapan. "Apa yang kurang," Ibu membeli sekarung beras, sabun mandi, sabun cuci dan sampo dalam satu kardus besar. 

Lagi-lagi aku merepotkan ibu. Perempuan paruh baya membetulkan kerudungnya. Sama sekali tidak pernah mengharapkan imbalan dari memberi. Demi anak apapun akan ia lakukan.

Aku mengusap perutku yang buncit, bergerak-gerak senang. Sambil memberi tahu, "Nenek memang baik."

Ibu bisa menjadi contoh bagi anak-anaknya. Menjadi sosok yang pekerja keras, mandiri namun nyatanya aku belum bisa.

Beruntung memiliki suami yang bertanggung jawab. 

Aku teringat kehidupan ibu yang dulu merawat anaknya seorang diri. Ditinggal suami menikah lagi menjadi janda beranak dua. 

Waktu itu usiaku baru tiga tahun sedangkan Kak Dwi baru lima tahun. Masih butuh bimbingan dari orang tua. Malah sering ditinggal bekerja. 

Tiada tanggung jawab seorang bapak menanggung beban keluarga. Ibu sudah lama sekali engkau terbiasa hidup susah. Andai kehidupan ini bisa dirubah, aku pasti akan merubahnya untuk ibu.

"Apa yang kamu pikirkan, Ning."

Suamiku bertanya saat aku seorang diri, aku tetap bergeming.

Perasaanku tak menentu. Sebentar lagi aku membutuhkan uang banyak untuk persiapan persalinan. Sementara tidak memiliki tabungan. Kepalaku mendadak berdenyut. Aku tak ingin merepotkan ibu terus menerus. Meski tanpa meminta ibu akan membelikannya. Seolah tahu apa yang ada di otakku.

Andaikan, andaikan aku benar-benar memiliki banyak uang. Satu hal yang ingin aku sampaikan pada ibu.

"Bu, aku sudah bisa berdiri sendiri. Jadi, ibu tak perlu mengkhawatirkan aku lagi."

***

PML, 23 SEP 2021

@AksaraSulastri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun