Mohon tunggu...
Rudy Santoso
Rudy Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Writer, Memoaris, Influencer, Property Advisor.

Rudy Akasara_Nusa Kota Malang - 1974_writer Penulis - memoaris - influencer - property advisor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menulis adalah Terapi 3 - Berguru pada Huruf

8 Maret 2024   10:25 Diperbarui: 10 Maret 2024   11:44 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapakah pembaca itu? Apa yang aku baca dari kecil sampai usia sekarang ini? Sejak aku kecil mulai belajar mengeja setiap uruf dari huruf a sampai z, hingga aku menjadi seorang pembaca hingga saat ini.Tidak ada satupun orang yang berpikir untuk menjadi seorang pembaca, bahkan di sekolah atau di kampus semua hanya berpikir jadi penulis. Menurut pemahaman yang di tulis dalam buku Berguru Pada Huruf (M. Fauzi Syukri - Penerbit Diomedia).  Pembaca adalah seorang yang membaca kata-kata dan pencari koleksi kata untuk pikiran - hatinya sendiri. Mencerna kata ke otak – hatinya sendiri, berimajinasi untuk dirinya sendiri, dan pembaca tidak pernah menggunakan pikiran dan otak orang lain.

Sastrawan Goethe (1749-1832) membagi kriteria pembaca menjadi 3 type yaitu pertama pembaca yang menikmati saat membaca tanpa menghakimi. Kedua pembaca yang tidak menikmati saat membaca tetapi menghakimi. Ketiga pembaca yang menghakimi juga menikmati saat membaca, pembaca yang menghakimi dan menikmati saat menghakimi. Type ketiga ini-lah dengan bacaannya akan menjadi penulis pembaca yang mencipta, suatu gagasan baru yang dipikirkan dari ide hasil bacaan.

Seorang filosof-sejarawan Ibnu Khaldun mengingatkan pembaca perihal buku diktat /pembelajaran, dalam kitab Muqadimah (2009:748). “Banyaknya buku ilmu pengetahuan yang ditulis merupakan penghambat memperoleh ilmu pengetahuan.” Dalam hal ini yang dimaksud dalam konteks kebudayaan literasi khazanah Islam. Hambatan kedua adalah pemahaman itu sendiri, apakah pembaca mempunyai kemampuan untuk memahami, mencerna, dan menghayati seiring dengan gerak pikiran pembaca.

#. Selft Editor.

Menyunting tentang Bahasa dan tentang kesalahan berpikir yang merupakan kerangka dasar suatu kerja menyunting atau mengedit.

Seorang penulis akan menyunting hasil tulisannya, entah itu memposisikan diri menjadi seorang editor atau penulis itu sendiri. Dalam dunia cetak sebelum hasil tulisan itu sendiri naik cetak dan tersebar ke pembaca, biasanya dilakukan pengeditan yang sederhana (mechanical editing), bahkan melakukan pengeditan yang cukup besar (subtancial editing). Dalam hal ini penyuntingan tulisan adalah hal yang terpenting harus dilakukan, sebelum hasil tulisan itu dicetak dan disebar ke pembaca sangatlah sulit untuk merivisi dan menariknya.

Setiap kali editor/penyunting melakukan pengeditan langkah awal bukan sekedar menyunting hasil tulisan atau kata-kata itu sendiri. Yang dilakukan seorang editor adalah menyunting pikiran kita sendiri, yang merupakan kerangka dasar suatu kerja penyuntingan tulisan. Hal yang wajib diingat sebagai seorang editor atau penyunting, tidak boleh merasa lebih tahu, lebih menguasai dan lebih memahami dari sang penulis. Sehingga editor tidak berhak merombak atau merubah tulisan tanpa izin penulis, apalagi sebuah tulisan yang bernilai historis bahkan dihindari untuk melakukan pengeditan. Naskah yang bernilai historis jarang sekali dilakukan penyuntingan, karena pentingnya nilai histori yang harus hadir apa adanya dengan semua kekurangan dan kesalahannya.

Pada dasarnya lebih baik penulis tidak melakukan penyuntingan apapun sebelum tulisan atau naskah itu selesai. Hal ini di upayakan untuk menghindari diri penulis menjadi tidak percaya dan tidak yakin dengan naskah hasil tulisannya, karena mengedit atau menyunting adalah kerja berpikir dan berbahasa. Dan yang paling utama adalah agar pembaca percaya dan yakin dengan apa yang kita tulis. Penyuntingan berhubungan penyelarasan gaya bahasa seorang penulis, dan mempunyai peran ganda untuk hasil tulisannya, sebagai penulis, pembaca, dan sebagai editor (selft editor) tulisannya sendiri.

Penyuntingan itu sediri bersifat hierarkis, pertama dari yang paling ringan yaitu pembetulan kesalahan ketik/ejaan dalam suatu kata, perombakan kalimat dan perubahan susunan paragraf. Yang kedua pengecekan data fakta yang digunakan, dan yang ketiga perubahan besar pada tataran paradigma/perspektif jauh lebih mendasar dari pada masalah linguistik dan pengecekan data aktual. Tujuan penyuntingan adalah menghindari kesalahan-kesalahan dari yang bersifat kebahasaan, kesalahan informasi, dan kesalahan pola pikir yang bisa menghancurkan kredibilitas dan integritas seorang penulis. Dengan penyuntingan saat kita membaca tulisan kita sendiri akan menemukan struktur dan alur pemikiran yang kurang sesuai, seperti tata bahasa, argumen yang lemah, bukti yang kurang kuat dalam kerangka tulisan penulis. Penyuntingan terberat adalah perombakan struktur kalimat bahkan paragraf, hal ini wajib dilakukan perbaikan agar mampu memperkuat tulisan itu sendiri.

Seorang penulis kadang tidak menyadari kesalahan umum yang sering terjadi, bahkan berkali-kali terjebak dalam pemikiran atau penalaran yang salah. Beberapa kesalahan nalar atau berpikir yang sering terjadi antara lain: yang pertama disebut bandwagon, kesalahan pemikiran dengan mengikuti sikap khalayak umum atau orang lain. Tanpa disertai nalar yang kuat dari opini publik dan tidak mewaspadai informasi kebenarannya terlebih dahulu. Yang kedua adalah suatu peristiwa yang begitu dramatic (fallacy of dramatic instance) dijadikan sebuah kasus umum atau digeneralisir. Yang ketiga adalah post hoc ergo propter hoc. Suatu kesalahan yang di sebabkan kesalahan mengindetifikasi/menganalisa sebab dan akibat. Yang keempat adalah argumentum ad hominem. Kesalahan argumen ditujukan kepada orangnya, bukan pada argument bukti itu sendiri. Biasanya kesalahan argument ini untuk menyerang personal, tanpa melihat esensi isi argument dan bukti fakta yang diajukan.

Seorang penulis mempunyai keahlian menulis dengan semua gagasan, ide, inspirasi dari yang paling sederhana hingga yang paling ruwet. Penulis puisi cenderung penekanan pada defamiliarisasi kata-kata atau bahasa yang menciptakan kata/metafora. Pada prosa cenderung penekanan pada defamiliarisasi peristiwa. Sedangkan pada penulis cerpen penekanan kata untuk menciptakan peristiwa, kata-kata menjadi sekunder hanya untuk menyampaikan peristiwa. Sedangkan penulis esai cenderung menghormati kata tetapi mengagumi peristiwa, esai merupakan bentuk ambigu. Tetapi penulis esai dipenuhi dengan hasrat sadar diri,mempunyai pemahaman dan penjelasan yang sangat baik. Baik itu melalui kesadaran akan kekuatan kata atau peristiwa, jika kita bicara tentang penulis esai cenderung hanya menjadi seorang pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun