Mohon tunggu...
Akroem Semplo
Akroem Semplo Mohon Tunggu... Buruh - Akrom Semplo, seorang pemuda yang lapar

Kelahiran Tegal, Jawa Tengah pada tahun 99 aku sayang, terbelenggu

Selanjutnya

Tutup

Book

Beberapa Perkara Menarik Dalam Novel "Arok-Dedes" Karya Pramoedya Ananta Toer

1 Juli 2024   09:56 Diperbarui: 1 Juli 2024   10:27 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa Perkara Menarik dalam "Arok-Dedes"

Akrommulyadi

Membaca novel Arok-Dedes karya Pramoedya Ananta Toer ini, saya seperti melihat lebih dekat keadaan Jawa pada tahun 1200-an. Baik keadaan lingkungan yang masih banyak hutan maupun keadaan sosial dan politik dalam sistem monarki atau kerajaan yang berpegang teguh pada hukum, norma, dan kaidah Hindu. Novel ini menceritakan kejatuhan pemimpin Tumapel oleh seseorang bernama Arok.

Perbedaan keyakinan antara Syiwa dan Wisnu memengaruhi lingkungan sosial, bahkan keputusan politik. Saya tidak cukup paham apa dan mengapa Syiwa dan Wisnu sulit bertoleransi.

Dua tokoh utama dalam novel ini adalah Arok dan Dedes. Arok digambarkan tidak jelas siapa orang tua kandungnya. Ia diasuh oleh dua keluarga dan keduanya pun bukan keluarga sedarah. Ia sering membuat kerusuhan bersama teman-temannya. Kemudian, akibat Arok lebih dikasihi daripada lima saudaranya, dalam keluarga asuh yang kedua, ia pergi dan diarahkan oleh bapaknya berguru ke Tantripala. Kemampuan berpikir dan semangat belajarnya yang baik, membuat proses belajar itu berlangsung cepat, kemudian Tantripala mengarahkan dia kepada Dang Hyang Lohgawe untuk belajar ilmu yang lebih tinggi.

Kerusuhan di Tumapel semakin besar hingga Tunggul Ametung, pemimpin Tumapel, meminta bantuan kepada Dang Hyang Lohgawe, sebagai brahmana suci terkemuka. Dang Hyang Lohgawe memercayakan penumpasan kerusuhan itu pada Arok. Di sinilah salah satu kesalahan Tunggul Ametung. Dia tahu salah satu perusuh itu adalah Arok, tetapi dia menerima dan memercayai Arok untuk membantu menumpas kerusuhan. Arok pun "melawan" pasukannya sendiri dan dengan cerdik mengatur peperangan agar kelompoknya menang. Lalu, menggulingkan kepemimpinan Tunggul Ametung.

Adapun Dedes adalah gadis desa yang sangat cantik, anak brahmana, Empu Parwa. Dia diculik dan dijadikan istri oleh Tunggul Ametung.  Penculikan itu diinisiasi Arya Artya, brahmana yang kemudian tidak dihargai oleh Tunggul Ametung. Tunggul Ametung menjadikan Dedes sebagai permaisuri. Namun hal itu menambah geram para brahmana yang merasa  tidak dihargai sejak zaman Erlangga. Masyarakat menghargai Dedes berkat kebaikan, kecantikan, dan darah brahmananya.

Ada beberapa hal menarik bagi saya. Pertama, penggambaran segala sesuatu yang amat detail membuat saya kagum. Setiap detail menambah kuat karakter tokoh dan hubungan antartokoh. Bukan hanya tokoh, melainkan juga latar dan suasana. Saya tenggelam ke dalam cerita, bahkan membayangkan andai saya hidup bersama mereka dalam suasana perang itu.

Kedua, setiap tokoh punya watak yang berbeda, dengan karakter masing-masing yang begitu terasa nyata. Membuat setiap sekecil apa pun gerak tokoh itu sangat penting dalam membentuk keutuhan cerita

Namun saat membaca, ada bagian saya menalar agak lama. Itulah saat tokoh Tunggul Ametung tiba-tiba menjadi penurut kepada sang istri, yang menyarankan dia menerima Arok. Tunggul Ametung tidak membantah sama sekali, meski dalam hati ragu. Saya menemukan dua kemungkinan yang memengaruhi hati dan pikiran Tunggul Ametung. Pertama, kedudukan Dang Hyang Lohgawe yang tinggi, baik di kalangan brahmana maupun di masyarakat. Kedua, rasa cinta dia kepada Dedes.

Ketiga, tokoh Arok sangat cerdas dan itu konsisten. Dia hanya seminggu menguasai ilmu Nirwikana, Darana, Pratyahara, Pramayama, dan Ekagrata, sedangkan sang guru, Tantripala, sampai tiga tahun. Saya tidak tahu sama sekali ilmu-ilmu itu, tetapi jika melihat perbandingan waktu seminggu dan tiga tahun, itu sangat luar biasa. Dia juga cepat memahami isi kitab-kitab suci ketika belajar pada Dang Hyang Lohgawe.

Maka masuk akal ketika pada masa perang, ia sampai bisa mengetahui hal tersembunyi dari musuh. Khususnya yang saya menalar agak lama juga pada bagian ketika ia tahu Belakangka telah membiayai Kebo Ijo. Namun, setelah saya teliti, ternyata itu bisa diketahui melalui mata-mata Arok yang memperketat pengamatan pada Empu Gandring.

Ia juga sampai punya ide untuk menghapus perbudakan. Mungkin ketika memasuki masa perang, Arok telah mencapai ilmu lebih tinggi, sebab ia terus melatih diri, baik ilmu yang diajarkan Tantripala maupun Dang Hyang Lohgawe. Ia juga menghentikan latihan jika latihan itu bisa merugikan kecerdasannya.

Tantripala adalah seorang Buddha yang menyembunyikan kebuddhaannya, sedangkan Dang Hyang Lohgawe seorang Syiwa. Arok menguasai ilmu sebanyak itu dan menyaring mana yang searah dengan tujuannya.

Keempat, pembagian kasta dalam agama Hindu. Ada brahmana, kesatria, dan sudra. Saya tidak tahu jelas pembagian kasta itu berdasarkan apa, tetapi cukup menarik, karena semua orang dari kasta mana pun berkemungkinan dapat berkuasa. Saya mendapat pemahaman juga bahwa keadilan sosial memang sulit ditegakkan sejak dulu. Diskriminasi tidak terhindarkan.

Penguasa bertindak tanpa dasar hukum, mungkin lebih tepat hanya hukum yang ia ketahui dari agama. Salah satu contoh adalah ketika lidah para jajaro dipotong demi kerahasiaan penguasa. Itu cukup mengerikan.

Kelima, tokoh Oti, perempuan yang bukan berasal dari Tumapel, tetapi dari negeri lain yang tidak ada perbudakan. Dia diculik dan dijual sebagai budak oleh seorang perompak, sehingga akhirnya menjadi budak di dapur pekuwuan. Ia diusir setelah mencopot penutup kepala sebagai penanda budak dapur pekuwuan.

Ketika perang terjadi, Oti meluapkan dendam kepada prajurit Tumapel. Namun sayang, luapan emosi itu berupa narasi. Saya membayangkan, sesuatu yang didasari perlawanan emosi pribadi mungkin akan membabi buta. Tak peduli apa pun, asal penderitaannya selama bertahun-tahun terbayar.

Keenam, pembunuh Tunggul Ametung dibuat samar; membiarkan pembaca penasaran. Karakter Kebo Ijo dibuat sangat mungkin jujur ketika ia mengaku hanya satu kali mengayunkan pedang ke bagian perut, tetapi Arok menuduh setidaknya telah tiga kali, dan Aroklah yang leluasa bergerak di pekuwuan sebelum Kebo Ijo datang dan memasuki bilik agung seorang diri. Jadi, baik Arok maupun Kebo Ijo sama-sama mungkin menjadi sang pembunuh.

Secara keseluruhan, bagi pelajar yang buta sejarah seperti saya, dan jika novel ini dianggap sebagai gambaran masa lalu, novel ini cukup menjadi guru yang menerangkan sejarah Jawa dengan asyik dan menyenangkan.

Semarang, akhir Mei 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun