Berbicara perihal perkaderan dalam suatu organisasi tidak terlepas dari aspek kebutuhan, budaya dan nilai. Dimana jenis perkaderan yang bermacam-macam dan modelnya juga variatif, membuat kita harus memamahi ranah perkaderan seperti bagaimana yang dapat memberikan impact yang baik kepada calon kader tersebut.
Tentu saja, tujuan dari perkaderan adalah merekrut kader atau umumnya anggota untuk masuk ke dalam organisasi. Perkaderan juga merupakan pintu awal seorang kader di tempah dan dibina tentang nilai-nilai idelogis dengan tinjauan dialogis yang dapat memberikan keyakinan lebih bahwa organisasi yang dipilih dan diikuti adalah organisasi yang dapat menjawab apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan dari kader itu sendiri.
Menurut KBBI perkaderan/pengkaderan ialah cara, proses, tindakan mendidik atau membentuk seorang kader. Pada istilah umum, pengkaderan merupakan suatu upaya sistematis untuk mengembangkan sumber daya manusia. Demikian dalam hal ini, apapun organisasinya pastinya menggunakan perkaderan sebagai akses awal dalam membentuk, membina dalam kurung waktu dan tujuan dengan menggunakan model yang disepakati sebagai suatu rencana pendidikan pengembangan kader.
Perkaderan Konsevatif
Istilah perkaderan konservatif ialah salah satu dari sekian banyak istilah yang ada, dimana saya memandang dari aspek kata yang dapat mempengaruh maksud yang berbeda dari apa yang dipikirkan oleh kita sendiri. Konservatif dalam KBBI : bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang berlaku.Â
Dari arti kata konsevatif sendiri dapat kita pahami, bahwa perkaderan konservatif adalah suatu bentuk cara, proses mendidik atau pengembangan sumber daya manusia dengan keadaan yang ada, kebiasaan sering digunakan atau menggunakan metode perkaderan berdasarkan tradisi yang berlaku di dalam organisasi.
Sederhananya, perkaderan konservatif merupakan perkaderan yang berdasarkan sistem kultural yang sudah sebelumnya dilakukan dan dilanjutkan sebagai bentuk sesuatu yang sudah ada. Hal demikian mempengaruhi pada proses perkaderan, seperti perkaderan yang dilakukan dengan cara membangun dinamika saling memarahi, memukul karena tindakan peserta keliru atau salah untuk mengasah mental, kekuatan fisik dan lain-lain.
Perkaderan demikian bisa dikatakan perkaderan yang militeristik di kampus. Akan tetapi jika perkaderan konservatif atau militeristik tersebut dilakukan di kalangan mahasiswa menurut saya tidak terlalu efektif, sebab unsur kultural dalam proses perkaderan yang buat cenderung menciderai mental, bukan mengasah mental, mematikan kreativitas berpikir, bukan berpikir kritis serta dari kecenderungan tersebut juga berdampak pada gangguan psikologis.
Alm.Gilang Endi Saputra yang meninggal karena diketahui adanya tindakan kekerasan pada masa Diksar Menwa UNS dan pengeroyokan mahasiswa di Politeknik Negeri Sriwijaya menjadi kasus terbaru dari sekian banyak kejadian-kejadian terkait adanya tindakan amoral pada masa perkaderan berlangsung.
Tentu saja tindakan-tindakan diatas bukan satu dua kali saja tetapi tercatat sejak pada masa lampau dunia organisasi yang ada di kampus sudah mewariskan perkaderan yang bersifat konservatif yang membudaya. Pada era perkembangan saat ini sudah seharusnya bentuk perkaderan yang dilakukan sudah pada tataran pengembangan kualitas, skill, critical thinking, serta problem solving.
Puncaknya dari proses perkaderan konservatif yang sering kita amati ialah pengambil alian proses perkaderan kepada kelompok senior yang menimbulkan sifat senioritas yang menggunung sehingga lingkungan perkaderan seolah dalam toxic karena adanya senioritas.