Mohon tunggu...
Akmal Baihaqi
Akmal Baihaqi Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

saya memiliki kesukaan pada bidangg seni dan budaya,

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Kekuasaan Algoritma di Era Digital :Studi Kasus Pertentangan antara Gus Miftah dengan Penjual Es Teh

18 Desember 2024   13:05 Diperbarui: 18 Desember 2024   13:51 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teknologi adalah bagian dari legitimasi manusia moderen, dimana komoditas moderen dikonsumsi untuk pemenuhan kesenangan dan menjalani kehidupan yang sedang tren saat ini. Dari yang disampaikan tersebut jelas bahwa manusia moderen dan teknologi tak bisa dipisahkan. Dijelaskan pula bahwa kaum muda kelas menengah perkotaan bahkan sibuk melakukan negosiasi. Memperbaiki, merumuskan ulang, menegaskan ulang identitas sosial mereka. Manusia hidup dalam dunia tanda dimana teknologi digital memberikan ruang.  Internet, sebagai salah satu teknologi yang berbasis sistem utama, dianggap sebagai saluran komunikasi yang memiliki jangkauan komunikasi terluas dan diharapkan menjadi ruang publik baru yang ideal, di mana di dalamnya bertemu berbagai pihak yang saling berkomunikasi satu sama lain secara bebas. Karena itu, banyak pihak memandang bahwa di dalam wacana politik, khususnya, internet telah memberikan optimisme dalam kedudukannya sebagai kekuatan baru, yang dapat menciptakan iklim demokrasi yang lebih kondusif (Malik, 2016). Namun demikian tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan bahwa internet bisa menjadian sistem demokrasi yang adil dalam sebuah media nampaknya menimbulkan dampak yang buruk. (Malik, dalam Vivian, 2008: 277-278) bahwa keberadaan internet sebagai media masa yang di anggap demokratif nampaknya tidak sesuai dengan harapan, karena banyak orang yang membuat isinya sendiri tidak terlepas dari kelemahannya, sehingga konten atau isinya berisi ketidak akuratan yang di sebabkan ketiadaan gatekeer yang dimana internet penuh dengan informi sampah.

Netizen pada platform tertentu seperti, instagram yang bebas untuk mengungkapkan suatu yang dianggapnya benar maupun salah akan dengan mudah di ucapkan tanpa harus berpikir panjang. Hal tersebut menimbulkan kebencian dari beberapa pihak, banyak ujaran kebencian yang seharusnya tidak layak untuk di ucapkan namun pada media sosial orang akan mudah melakukan hal demikian. Ujaran  kebencian yang terus menerus yang kemudian menimbulkan antara kedua belah pihak bersentuhan dalam media tersebut, karena saling share yang sifatnya provokatif untuk mendapatkan perhatian netizen. Untuk menumbuhkan rasa kebencian tersebut biasanya orang akan meakukan berbagai hal negatif, seperti menyebrkan kabar yang dianggap tidak valid kebenaranya hingga kemudian merujuk pada permasalaan yang lebih besar.

Ras, suku, dan agama menjadi hal yang mendasari pada konflik yang telah terjadi di negera ini. Banyak sekali kasus yang terjadi karena perseteruan yang mungkin dianggap hal remeh menjadi ketegangan yang menimbulkan konflik tersebut berkepanjangan hingga masuk pada ranah hukum. Kasus tersebut biasanya terjadi karena adanya perseteruan antara kedua belah pihak pada media yang menimbulkan ujaran kebencian  melalui media denga menyebarkan isu yang sehrusnya tidak perlu di sebarkan. Banyaknya stereotip buruk yang mengarah pada permasalahan tersebut hingga akhirnya semakin memperkeruh suasana. Sepereti kasus yang baru-baru ini terjadi di indonesia yaitu gus miftah yang dimana permasalahan tersebut terjadi pada saat beliau melakukan ceramah. Beliau mengatakan kata kasar kepada penjuak es teh.  Kejadian tersebut mungkin di anggap biasa oleh beberapa orang karena gaya bahasa yang di gunakan oleh Gus Mifta dalam melakukan ceramah biasa menggunakan bahasa yang sedikit kasar. Jika di tarik kebelakang latar belakang Gus Miftah yang dimana beliau ceramah kepada orang yang di anggap kriminal, seperti ceramah di diskotik, tempat yang di anggap kriminal. Dari latar belakang tersebut mungkin beberapa orang yang sudah mengenal beliau sudah biasa karena beckground dia sebagai pengisi acara yang sedikit frontal dalam melontarkan  perkataannyaa, namun akan berbeda pemahaman jika orang tersebut baru mengetahui atau bahkan baru pertama kali melihat beliau. Apalagi adanya sosial media yag mungkin menyebar luaskan hal tersebut dengan stereotip buruk mengakibatkan permasalahan tersebut menjadi ketegangan yang mungkin bisa merugikan pihak yang merasakan, karena permasalahan yang viral di sosial media akan menimbulkan beberapa komentar dari jutaan orang untuk kemudian beranggapan positif maupun negatif pada masalah tersebut. 

Pada era digital saat ini individu sangat mudah untuk mengekspresikan identitas mereka dengan mudah melalalui beberapa platform yang ada seperti, youtube, twitter, instagram, facebook.  Individu tersebut dapat dengan mudah mengorientasikan hal yang menjadi tranding topik dengan menggunakan akal dan pikirannya secara keratif. Namun realitas yang telah terjadi individu tersebut lebih dominan memandang sisi negativ dari apa yang mereka maknaan yang hingga kemudian munculah provokasi, ujaran kebencian dimana-mana. Seperti yang kita ketahui  saat ini indonesia merupakan negara yang minim sekai dalam liteasi, dimana tercatat di unesco indeks membaca indonesia yaitu 0,001 yang dapat di artikan bahwa indonesia sangat rentan dalam permasalahan membaca. Tidak hanya itu netizen indoneia juga di anggap sebagai netizen yang paling tidak sopan di asia tenggara.  Pada era modern saat ini sering kita jumpai di platfom manapun yang dimana banyak informasi yang beragam. Informasi yang sebegitu banyak tersebut di asumsikan dari banyaknya individu mlalui pandangan tertentu melalui keyakinan yang dimiliki oleh setiap individu (Andriani, 2022). Hal tersebut yang menjadikan asumsi dasar bahwa media sosial saat ini tidak hanya mengafirmasi keberadaan informasi yang beragam namun sosial media dapat merusak mental setiap individu untuk melakukan pemaknaan melalui keyakinan mereka dengan menggunakan banyaknya informasi tersebut.

Seperti yang dikatakan Michel Foucoult yang  berpendapat bahwa kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh individu atau institusi tertentu, tetapi tersebar di seluruh jaringan sosial dan digunakan untuk mengatur perilaku individu dalam masyarakat.  kekuasaan bekerja melalui cara pemerintahan yang halus dan tak kasat mata. Foucault memperkenalkan konsep governmentality untuk menjelaskan bagaimana teknik-teknik pemerintahan bekerja untuk membentuk perilaku individu dan masyarakat. Governmentality mengacu pada cara-cara di mana negara menggunakan pengetahuan dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan sehari-hari warga negara. (Tirtayasa, dalam foucoult, 2007). Pada pandangan michel tersebut yang membicarakan mengenai kekuasaan, dapat kita orientasikan bagaimana teknologi telah menguasai  mekanisme kekuasaan  untuk mengatur interaksi, pandangan dan perilaku seorang individu dalam komunitas virtual. Cara kekuasaan bukan melalui kelangsungan, namun secara tidak sadar yang dimana manipulasi suatu yang tidak nampak seperti penyebaran isu, pengalihan informasi. Bagaimana kemudian teknologi  menjadi tempat manifestasi kekuasaan yang mengatur cara pandang individu terhadap respon masyarakat  pada permasalahan gus miftah tersebut. Platform seperti yang disebutkan di atas memprioritaskan seperti Like, komentar, share, kasus tersebut kemudian viral karena algoritma sebagai pendorong perbincangan permasalahan tersebut menuju pada puncak masalah. Seperti penyebaran konten dengan isu permasalahan  yang di anggap menarik, hal tersebut yang menjadikan permasalahan semakin panas karena banyaknya manipulasi penyebaran konten tersebut, dan komentar yang negatif. Algoritma dirancang untuk meningkatkan keterlibatan konten dengan konten yang di anggap paling relevan berdasarkan tingkat riwayat interaksi mereka. Algoritma juga memperhatikan pengguna, apa yang mereka lakukan, sperti scroling, waktu yang mereka gunakan untuk menontot, dan jenis konten yang mereka anggap suka.

Algoritma dsini berperan sebagai penguat fenomena eho chamber dan filter bubble di antara para pengguna , yang memiliki dampak yang signifikan terhadap paandangan pada platform tersebut.  Fenomena echo chamber terjadi ketika individu hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pikiran individu tersebut. Contoh seperti berapa presentase orang yang menyukai dan membagikan video tertentu dari sebuah platfom untuk kemudian menentukan bagian dari kelompok yang memiki pandangan yang sama terhadap fenomena tersebut. Hal tersebut yang kemudian menentukan kecenderungan individu untuk berinteraksi dengan konten yang memperkut keyakinan mereka sendiri, tanpa harus mengaitkan dari sudut pandang yang berbeda. Sementara filter bubble terjadi ketika algoritma menyaring konten yang bertentangan dengan pengguna. Ketika individu yang tidak memiliki pandangan yang serupa dengan salah satu pihak tertentu, namun algoritma menampilkan dengan pandangan yang serupa dengan konten yang di tampilkan tersebut. Hal tersebut menunjukan bahwa algoritma berperan aktif dalam menyaring konten yang berpoteni menimbulkan ketidaknyamanan dengan apa yang biasa mereka lihat, yang dapat mengurangi kesempatan yang terpapar pada sudut pandang yang berbeda (Maisaroh, 2024).

Pada era digital ini teknologi umumnya sosial media memiliki peran besar dalam membentuk bagaiamana masyarakat berinteraksi, berpikir, dan brtindak. Konflik yang teradi seperti gus miftah mengatakan goblok kepada seorang penjul es teh adalah contoh bagaimana penyataan yang mungkin di anggap biasa saja dapat berubah menjadi permasalahan yang besar karena algoritma media sosial  yang dimana teknologi di sini tidak hanya untuk tempat untuk penyebaran informasi saja, tetapi juga mengatur suatu individu secara kolektif.Algoritma pada media  sosial di rancang untuk memperioritaskan  konten yang sedang tranding untuk kemudian memancing emosional seorang individu.

 Pernyataan “goblok” Gus Miftah yang di anggap kontroversial dan negatif langsung menarik perhatian publik untuk bereaksi, baik itu dukungan maupun kritik. Hal ini menciptakan dua kelompok besar antara pendukung gus miftah dan yang kontra dengan gus miftah, masing-masing dari kelmpok tersebut sebenarnya mereka terjebak dalam filter buble, yang mana orang akan mudah percaya dengan pandangan yang serupa dengan pemahaman dan keyakinan mereka sendiri, akibtnya konflik tersebut semakin besar, tanpa adanya pembenaran akan konflik tersebut (Andriani,2022). Selain itu kasus ini juga bagaimana konten pernyataan asli tersebut hilang di gantikan dengan konten yang serupa namun menggunakan buah bibir yang berasumsikan negativ. Padahal yang dikatakan Gus Miftah terhadap penjual es teh tersebut merupakan pola pikir tertentu  yang di sederhanakan menjai narasi. Dalam kasus ini, cepat sekali menjadi viral karena ia yang di anggap sebagai seorang penceramah  yang seharusnya memberikan contoh baik. Konflik tersebut semakin membesar karena allgoritma terus mendorong konten tersebut melibatkan banyaknya interaksi melalui komentar. Disisi lain yang awalnya penjual es teh adalah individu biasa, seolah-olah menjadi korban ketidkadilan, karena  masyarakat membangun cerita tersebut berdasarkan pemaknaan mereka sendiri, dari sinilah muncul opini yang berbanding terbalik dengan konteks awal konflik.

Kasus antara Gus Miftah dan penjual es teh mencerminkan bagaimana teknologi berkuasa, terutama pada algoritma media sosial, mempengaruhi cara pandang dan respons individu dalam ruang publik. Media sosial, yang awalnya dimaksudkan sebagai tempat untuk komunikasi bebas dan demokratis, kini berkembang menjadi alat yang mampu memanipulasi persepsi publik melalui mekanisme echo chamber dan filter bubble. Algoritma dirancang untuk memprioritaskan konten yang viral atau menarik perhatian, sehingga memicu interaksi emosional dan perdebatan yang sering kali bersifat provokatif. Dalam konteks ini, konsep governmentality yang dikemukakan oleh Michel Foucault relevan untuk memahami bagaimana kekuasaan bekerja secara halus dan tidak kasat mata. Algoritma media sosial bukan hanya sekadar teknologi, tetapi telah menjadi mekanisme yang mengatur perilaku kolektif, membentuk opini publik, serta membangun narasi yang cenderung memihak atau menyederhanakan kompleksitas suatu isu.

Kasus Gus Miftah menggambarkan bagaimana sebuah pernyataan yang diucapkan dalam konteks tertentu dapat dengan cepat berubah menjadi isu besar akibat penyebaran informasi yang masif dan tidak terkontrol. Konten yang dimanipulasi serta interpretasi individu yang terjebak dalam filter bubble memperparah eskalasi konflik. Dengan demikian, media sosial tidak hanya menjadi arena komunikasi, tetapi juga alat kekuasaan yang mengatur dinamika interaksi dan konflik sosial di era digital. Penting bagi kita untuk meningkatkan literasi digital dan kemampuan berpikir kritis di kalangan masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh konten yang bersifat manipulatif. Pemahaman yang lebih mendalam terhadap peran algoritma dapat membantu individu menyadari bagaimana teknologi mempengaruhi sudut pandang dan perilaku mereka dalam merespons isu-isu publik.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun