Mohon tunggu...
Akmal Yusra Adamma
Akmal Yusra Adamma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa Hubungan Internasional di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagai seorang mahasiswa jurusan hubungan internasional, saya selalu berusaha mengamati bagaimana kebijakan dan aktor luar negeri negara berinteraksi dan menjalin hubungan. Sejalan dengan pengalaman saya di berbagai organisasi penelitian dan pengembangan, serta sebagai pemimpin dalam organisasi yang berfokus pada hubungan internasional, saya telah dilatih dalam menganalisis urusan internasional.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Ancaman Nuklir Korea Utara dan Diplomasi ASEAN: Kontribusi Indonesia melalui SEANWFZ sebagai Model Perdamaian di Asia Timur

15 September 2024   11:44 Diperbarui: 15 September 2024   11:56 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak uji coba nuklir pertamanya pada tahun 2006, Korea Utara menjadi salah satu negara dengan kekuatan militer yang semakin sulit diabaikan dalam dinamika regional maupun global. Uji coba ini menandai babak baru dalam geopolitik Asia Timur, di mana keseimbangan kekuatan mulai bergeser secara signifikan. Ketegangan di kawasan meningkat seiring dengan respons dari negara-negara tetangga seperti Korea Selatan, Jepang, dan bahkan China. Di sisi lain, Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya di kawasan, yang sebelumnya berfokus pada kebangkitan China, harus mengalihkan perhatian mereka kepada ancaman baru ini.

Uji coba nuklir Korea Utara tidak hanya mengubah perhitungan keamanan regional, tetapi juga memicu perlombaan diplomasi serta peningkatan aliansi militer yang lebih erat di bawah payung keamanan AS. Di samping itu, peran Perserikatan Bangsa-Bangsa semakin penting, dengan sanksi-sanksi yang lebih keras diberlakukan guna menghambat perkembangan program nuklir Korea Utara. Uji coba ini juga memperlihatkan ketidakmampuan mekanisme diplomasi konvensional untuk mengekang ambisi nuklir rezim Kim Jong-il pada masa itu, sehingga memunculkan debat baru tentang efektivitas kontrol senjata global dan kebijakan pencegahan yang harus diterapkan.

Sejak Korea Utara keluar dari Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) pada tahun 2003, terutama pada rezim Kim Jong-Un, negara tersebut mulai mempercepat pengembangan program nuklirnya. Terutama pada November 2017, Pemerintah Korea Utara mengklaim bahwa mereka telah berhasil meluncurkan rudal balistik antar benua (ICBM) jenis baru, yaitu "Hwasong-15" yang mampu membawa hulu ledak nuklir dengan daya yang besar dan menghantam seluruh daratan AS. Tentunya hal ini membuat ketegangan antara Korea Utara dengan AS meningkat. Presiden AS pada saat itu, Donald Trump, menjanjikan sanksi internasional yang lebih keras terhadap Korea Utara. Meskipun ketegangan diplomatik tersebut mereda dengan diadakannya pertemuan puncak pada tahun 2018, situasi tetap rapuh, dan Korea Utara tetap mempertahankan pengembangan senjata nuklirnya secara aktif.

Pada tahun 2022, Korea Utara awalnya menyatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan senjata nuklir kecuali ada serangan militer eksternal. Namun, kebijakan ini berubah setelah Majelis Rakyat Tertinggi mengesahkan undang-undang yang memungkinkan serangan nuklir otomatis jika pemimpin tertinggi atau sistem komando nuklir diserang. Undang-undang ini juga menetapkan bahwa jika Kim Jong-un terbunuh, otorisasi serangan nuklir akan diberikan kepada pejabat senior lainnya. Hal ini tentunya meningkatkan ketegangan geopolitik di kawasan. Ketegangan tersebut berlanjut hingga 2024, dengan pertemuan antara Presiden Rusia, Vladimir Putin dan Kim Jong-un di Pyongyang pada pertengahan Bulan Juni lalu. Spekulasi muncul bahwa Putin, menghadapi perang yang berlarut-larut di Ukraina, berusaha memperkuat persenjataan Rusia dengan imbalan dukungan teknologi dan keahlian bagi program nuklir Korea Utara.

Kesepakatan ini telah menimbulkan kekhawatiran dan memicu penolakan bersama oleh Korea Selatan, Jepang dan AS, yang dirilis dalam beberapa hari setelah kunjungan Putin ke Pyongyang. Pertemuan itu memperjelas bahwa Korea Utara ingin memainkan peran diskala global, daripada hanya sebagai pemain regional. Media berita utama Korea Utara, yaitu Korean Central News Agency (KCNA) menyatakan bahwa hubungan antara Korea Utara dan Rusia menjadi pendorong dalam mempercepat pembentukan dunia multipolar yang baru. Dengan kata lain, Korea Utara memposisikan dirinya sejajar dengan Rusia sebagai pemain kunci dalam membentuk kembali tatanan internasional.

Elemen senjata nuklir Korea Utara ini telah seringkali dianggap sebagai ketidakstabilan keamanan di Asia Timur dan sekitarnya. Walaupun menjadi tetangga dan sekutu dekat Korea Utara, China memiliki kekhawatiran terkait stabilitas regional. Bagi China, Korea Utara dapat menimbulkan tantangan dengan memunculkan beban strategis di kawasan. Korea Utara, khususnya melalui program nuklirnya, semakin membuat ketidakstabilan regional yang terus berkembang. Terlebih lagi posisinya yang sangat berdekatan dengan China tentunya dapat menjadi ancaman tingkat tinggi. Ketika menyangkut ancaman nuklir, China tidak akan diuntungkan apabila terdapat konflik yang terjadi di dekat wilayahnya.

Dalam konteks konflik hegemoni dengan AS yang terancam oleh pengembangan senjata nuklir Korea Utara, AS memiliki alasan kuat untuk membangun sebuah aliansi militer bersama Jepang dan Korea Selatan. Dengan demikian, China perlu untuk meningkatkan keamanan nasionalnya sebagai akibat dari pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Jika China hanya melihat Korea Utara sebagai wilayah penyangga atau buffer zone, maka tak menutup kemungkinan bahwa aliansi militer baru musuh akan terbentuk yang akhirnya meningkatkan ancaman negaranya. Ditambah lagi, China saat ini memiliki hubungan yang kuat dengan negara-negara Barat. China masih membutuhkan negara-negara Barat untuk pengembangan ekonomi, teknologi, dan keamanan yang berkelanjutan di tahun-tahun mendatang. Jika China secara terbuka mendukung pengembangan militer dan program nuklir Korea Utara, maka negara-negara di Eropa dan Asia Timur akan semakin menjaga jarak dan mempertimbangkan China sebagai suatu potensi acaman.

Kondisi ini menandakan adanya perbedaan pandangan antara Rusia dan China dalam melihat keuntungan dari program nuklir Korea Utara. Selagi Pemerintah Rusia mendapatkan tambahan pasokan senjata untuk berfokus pada perang di Ukaina, Rusia juga melihat sisi positif dari Korea Utara, terutama senjata nuklirnya, yang bertindak sebagai penyangga terhadap ancaman AS dan sekutunya di Asia Timur. Sementara itu, China semakin dirugikan oleh lingkungan keamanan yang semakin tidak stabil.

Menurut laporan dari The International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) terdapat sekitar 440 hulu ledak nuklir di negara-negara Asia Timur dan diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat. Diperlukan kewaspadaan terhadap risiko proliferasi nuklir yang dapat merembet ke Asia Tenggara. Keterlibatan Association South East Asia Nations (ASEAN) melalui Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ), dapat menjadi contoh penting dalam upaya mendorong perdamaian dan stabilitas di Asia Timur.

SEANWFZ yang didirikan dengan tujuan untuk menjaga Asia Tenggara bebas dari senjata nuklir, menunjukkan bahwa kerja sama regional dapat efektif dalam memitigasi ancaman senjata nuklir. ASEAN sendiri telah berhasil merangkul negara-negara anggotanya yang memiliki latar belakang politik dan ekonomi yang sangat berbeda, namun tetap berkomitmen untuk menciptakan kawasan yang aman dari senjata pemusnah massal.

Ada potensi bagi ASEAN untuk meningkatkan peran diplomatiknya dalam isu ancaman nuklir di Semenanjung Korea. Indonesia, sebagai salah satu negara berpengaruh di ASEAN dan penggagas penting SEANWFZ, dapat memimpin inisiatif untuk mendorong dialog lebih lanjut antara ASEAN, Korea Utara, dan negara-negara besar seperti China, AS, dan Rusia. Indonesia, melalui kebijakan luar negeri bebas aktifnya, memiliki modal politik untuk memfasilitasi dialog multilateral yang lebih inklusif, terutama yang berkaitan dengan denuklirisasi Semenanjung Korea.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun