Mohon tunggu...
Akmal Satrio Fasha Wihardi
Akmal Satrio Fasha Wihardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama: Akmal satrio Fasha Wihardi, NIM: 41322010001. Mata kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB. Dosen : Prof.Dr. Apollo , Ak, M. Si. Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gaya Kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram dalam Upaya Pencegahan Korupsi

11 November 2023   15:39 Diperbarui: 11 November 2023   17:55 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa itu gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram?

Dokpri : Akmal satrio
Dokpri : Akmal satrio

Gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram adalah gaya kepemimpinan yang demokratis, humanis, dan rasional. Gaya kepemimpinan ini didasarkan pada pengalaman dan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram, seorang tokoh filsafat dan spiritual Jawa yang lahir pada tahun 1892 sebagai putra ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ia memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas Kudiarmadji dan kemudian berganti nama menjadi Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram.

Ki Ageng Suryomentaram menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang memiliki arti ilmu bahagia1. Salah satu ajaran moral dari Ilmu Begja yang sangat populer pada masa itu adalah Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.

Pada awalnya Ki Ageng Suryomentaram bergelar Pangeran Surya Mataram tetapi kemudian ia menanggalkan gelar kepangeranannya itu dan menyebut diri Ki Ageng Suryomentaram1. Hal ini bermula ketika BPH Suryomentaram pernah turut dalam rombongan jagong manten ke Surakarta dan dalam perjalanan dengan kereta api melihat petani yang sedang bekerja di sawah1. Apa yang dilihat oleh BPH Suryomentaram ini menyentuh hatinya, betapa beratnya beban hidup para petani1. Lalu ia sering keluar istana untuk bersemedi di tempat-tempat yang biasa dikunjungi para leluhurnya seperti Gua Langse, Gua Semin dan Parangtritis. Lalu BPH Suryomentaram keluar istana, pergi mengembara di daerah Kroya, Purworejo sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik pikulan, petani dan kuli.

Pada saat itu utusan kraton mencoba mencarinya dan menemukan keberadannya di Kroya ketika sedang bekerja menggali sumur dengan memakai nama samaran Natadangsa1. Utusan kraton itu kemudian mengajak Natadangsa untuk kembali ke istana1. Hidup BPH Suryomentaram di istana menjadi gelisah, tidak puas dan memuncak ketika kakeknya Patih Danurejo VI dibebaskan dari tugasnya dan ibunya dikembalikan kepada kakeknya1. Tidak lama kemudian isteri BPH Suryomentaram sendiri dan meninggal dunia, lalu ia mengambil sikap melepaskan kedudukan kebangsawanannya untuk hidup menjadi rakyat biasa. Ketika Sultan Hamengkubuwono VII telah diganti oleh Sultan Hamengkubuwono VIII, Sultan baru ini mengizinkan BPH Suryomentaram meninggalkan kraton Yogyakarta. BPH Suryomentaram memilih untuk hidup sebagai petani di sebuah desa yang bernama Bringin di daerah Salatiga, Jawa Tengah1. Di sana ia menjadi guru aliran kebatinan yaitu Kawruh Begja yang berarti ilmu bahagia1. Penganutnya cukup banyak dan tersebar di seluruh Jawa, meskipun tanpa ada organisasi atau propaganda seperti yang dilakukan oleh aliran-aliran yang lain.

Ki Ageng Suryomentaram merasa tidak puas dengan kehidupan istana yang mewah dan jauh dari kenyataan rakyat. Ia pernah melihat para petani yang bekerja keras di sawah dan merasakan simpati yang mendalam. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan istana dan mengembara di berbagai tempat sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik, petani, dan kuli. Ia sempat kembali ke istana atas permintaan ayahnya, tetapi kemudian ia kembali pergi dan menetap di desa Bringin, Salatiga, Jawa Tengah.

Di sana, ia menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang berarti ilmu bahagia. Ia mengajarkan ajaran moral yang sederhana namun mendalam, seperti Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama. Ia juga menulis banyak buku dan karangan tentang alam kejiwaan dan filsafat Jawa. Ia dijuluki sebagai Plato dari Jawa karena gagasannya yang jelas dan logis.

Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya kepemimpinan yang melibatkan partisipasi dan kontribusi dari anggota kelompok dalam pengambilan keputusan. Gaya kepemimpinan ini mengutamakan komunikasi yang terbuka, diskusi yang konstruktif, dan kerjasama yang harmonis. Gaya kepemimpinan ini dapat meningkatkan motivasi, kreativitas, dan komitmen dari anggota kelompok.

Gaya kepemimpinan humanis adalah gaya kepemimpinan yang memperhatikan dan menghormati kemanusiaan dari anggota kelompok. Gaya kepemimpinan ini mengutamakan kebutuhan, kepentingan, dan potensi dari anggota kelompok. Gaya kepemimpinan ini dapat meningkatkan kepuasan, loyalitas, dan produktivitas dari anggota kelompok.

Gaya kepemimpinan rasional adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan akal dan logika dalam pengambilan keputusan. Gaya kepemimpinan ini mengutamakan fakta, data, dan analisis yang objektif dan valid. Gaya kepemimpinan ini dapat meningkatkan kualitas, efisiensi, dan efektivitas dari hasil kerja kelompok.

Dokpri : Akmal satrio
Dokpri : Akmal satrio

Why: Mengapa gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram penting dalam pencegahan korupsi?

Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Korupsi juga dapat mengganggu kesejahteraan, keadilan, dan hak asasi manusia.

Penyebab korupsi dapat berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah sikap dan sifat individu, sementara faktor eksternal adalah pengaruh yang datang dari lingkungan atau pihak luar. Faktor internal sangat dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya nilai-nilai anti korupsi dalam diri seseorang. Faktor eksternal sangat dipengaruhi oleh sistem, budaya, dan perilaku yang ada di masyarakat.

Gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram penting dalam pencegahan korupsi karena ia dapat memberikan contoh dan teladan bagi orang lain untuk memiliki nilai-nilai anti korupsi. Ia juga dapat menciptakan sistem, budaya, dan perilaku yang tidak mendukung korupsi. Ia dapat menanamkan kesadaran dan tanggung jawab kepada orang lain untuk tidak melakukan korupsi.

Nilai-nilai anti korupsi yang dimiliki oleh Ki Ageng Suryomentaram antara lain adalah:

  • Kecukupan: Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan prinsip “sacukupe” atau “secukupnya”, yang berarti merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan diperoleh, tidak berlebihan atau kurang. Prinsip ini mengajarkan kita untuk merasa cukup dengan apa yang kita miliki dan tidak serakah atau iri. Dengan merasa cukup, kita dapat menghindari perilaku korupsi yang seringkali dipicu oleh rasa tidak puas atau keinginan untuk memiliki lebih. Selain itu, Ki Ageng Suryomentaram juga mengajarkan prinsip “sabutuhe” atau “sebutuhnya”, yang berarti memenuhi kebutuhan diri sendiri dan orang lain sesuai dengan apa yang dibutuhkan, tidak berlebihan atau kurang. Prinsip ini mengajarkan kita untuk hidup sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan, yang dapat membantu kita menghindari perilaku korupsi.

    Dalam konteks korupsi, prinsip kecukupan ini sangat penting. Korupsi seringkali terjadi karena individu merasa tidak cukup dengan apa yang mereka miliki dan berusaha untuk mendapatkan lebih, seringkali dengan cara yang tidak etis atau ilegal. Dengan menerapkan prinsip kecukupan dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menghindari perasaan tidak puas yang dapat memicu perilaku korupsi. Selain itu, prinsip kecukupan juga mengajarkan kita untuk memahami dan menghargai nilai dari apa yang kita miliki, dan untuk tidak selalu mengejar lebih.

  • Kejujuran: Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan prinsip “sabenere” atau “sebenarnya”, yang berarti bersikap jujur dan tulus dengan diri sendiri dan orang lain, tidak berbohong atau berpura-pura. Kejujuran adalah nilai fundamental dalam mencegah korupsi. Dengan bersikap jujur, kita dapat membangun kepercayaan dan integritas, yang merupakan fondasi penting dalam masyarakat yang bebas korupsi. Selain itu, Ki Ageng Suryomentaram juga mengajarkan prinsip “samesthine” atau “semestinya”, yang berarti bertindak sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab yang dimiliki, tidak melalaikan atau menyalahi. Prinsip ini mengajarkan kita untuk selalu bertindak dengan integritas dan bertanggung jawab, yang dapat membantu kita menghindari perilaku korupsi.

    Dalam konteks korupsi, prinsip kejujuran ini sangat penting. Korupsi seringkali terjadi karena individu berbohong atau berpura-pura untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dengan menerapkan prinsip kejujuran dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menghindari perilaku ini dan membangun masyarakat yang berintegritas dan bebas korupsi. Selain itu, prinsip kejujuran juga mengajarkan kita untuk selalu bertindak dengan integritas dan bertanggung jawab, yang merupakan nilai penting dalam mencegah korupsi.

  • Kesederhanaan: Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan prinsip “aja dumeh”, yang berarti jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama. Prinsip ini mengajarkan kita untuk hidup sederhana dan tidak menyombongkan diri, yang dapat membantu kita menghindari perilaku korupsi yang seringkali dipicu oleh rasa sombong atau ingin menunjukkan kekuasaan. Selain itu, Ki Ageng Suryomentaram juga mengajarkan prinsip “sakepenake” atau “seenaknya”, yang berarti manusia harus bertindak sesuai dengan keinginan dan kenyamanan dirinya sendiri, tanpa dipengaruhi oleh orang lain atau hal-hal yang tidak penting. Prinsip ini mengajarkan kita untuk tidak mudah terpengaruh oleh tekanan eksternal atau godaan untuk melakukan korupsi.

    Dalam konteks korupsi, prinsip kesederhanaan ini sangat penting. Korupsi seringkali terjadi karena individu ingin menunjukkan kekuasaan atau status sosial mereka, dan mereka seringkali melakukan ini dengan cara yang tidak etis atau ilegal. Dengan menerapkan prinsip kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menghindari perilaku ini dan menciptakan masyarakat yang lebih egaliter dan bebas korupsi. Selain itu, prinsip kesederhanaan juga mengajarkan kita untuk tidak mudah terpengaruh oleh tekanan eksternal atau godaan untuk melakukan korupsi, yang dapat membantu kita menjaga integritas kita.

Sistem, budaya, dan perilaku yang tidak mendukung korupsi yang diciptakan oleh Ki Ageng Suryomentaram antara lain adalah:

  • Sistem yang berdasarkan pada hati nurani rakyat: Ki Ageng Suryomentaram mengkritik sistem pemerintahan yang tidak berdasarkan pada hati nurani rakyat, tetapi hanya berdasarkan pada kekuasaan dan kepentingan pribadi. Ia menginginkan sistem pemerintahan yang berdasarkan pada hati nurani rakyat, yang mengutamakan kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Ia menginginkan sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
  • Budaya yang berdasarkan pada kearifan Jawa: Ki Ageng Suryomentaram menulis banyak buku dan karangan tentang alam kejiwaan dan filsafat Jawa yang mengandung nilai-nilai moral dan etika yang dapat mencegah korupsi. Ia mengajarkan bagaimana cara manusia untuk mengenal diri sendiri, mengembangkan potensi diri, mengatasi hambatan diri, dan menyelaraskan diri dengan alam semesta. Ia mengajarkan bagaimana cara manusia untuk berhubungan dengan sesama manusia, dengan Tuhan, dan dengan lingkungan. Ia menekankan pentingnya sikap saling menghormati, menghargai, dan membantu antara sesama manusia, tanpa membedakan status, pangkat, atau golongan. Ia menekankan pentingnya sikap tawakal, sabar, dan syukur kepada Tuhan, serta sikap menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan.
  • Perilaku yang berdasarkan pada keteladanan pemimpin: Ki Ageng Suryomentaram menekankan pentingnya keteladanan pemimpin yang bersih, berwibawa, dan bertanggung jawab dalam memberantas korupsi. Ia mengajarkan agar pemimpin tidak hanya mengucapkan, tetapi juga menunjukkan dengan perbuatan. Ia mengajarkan agar pemimpin tidak hanya menuntut, tetapi juga memberi. Ia mengajarkan agar pemimpin tidak hanya memimpin, tetapi juga melayani.

Dengan cara-cara ini, gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram dapat menanamkan kesadaran dan tanggung jawab kepada orang lain untuk tidak melakukan korupsi. Ia dapat membuat orang lain merasa terinspirasi dan termotivasi untuk mengikuti nilai-nilai anti korupsi yang ia ajarkan dan teladani.

Dokpri : Akmal satrio
Dokpri : Akmal satrio

Bagaimana gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram dapat mencegah korupsi?

Gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram dapat mencegah korupsi dengan cara-cara berikut:

  • Ia mengajarkan prinsip enam "sa" versi Ki Ageng Suryomentaram, yaitu sakepenake (seenaknya/senyamannya): Prinsip ini mengajarkan kita untuk bertindak sesuai dengan apa yang membuat nyaman, tidak memaksakan diri. Ini berarti kita harus selalu berusaha untuk melakukan apa yang membuat kita nyaman dan tidak memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak nyaman bagi kita. , sabutuhe (sebutuhnya/sesuai kebutuhan): Prinsip ini mengajarkan kita untuk bertindak sesuai dengan apa yang dibutuhkan, tidak berlebihan dan tidak kurang. Ini berarti kita harus memahami apa yang benar-benar kita butuhkan dan tidak terjebak dalam keinginan yang berlebihan. saperlune (seperlunya): Prinsip ini mengajarkan kita untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keperluannya, tidak lebih dan tidak kurang. Ini berarti kita harus memahami apa yang benar-benar perlu kita lakukan dan tidak melakukan sesuatu yang tidak perlu. sacukupe (sacukupnya): Prinsip ini mengajarkan kita untuk mengambil atau menggunakan sesuatu secukupnya, tidak berlebihan dan tidak kurang. Ini berarti kita harus memahami apa yang cukup bagi kita dan tidak berlebihan dalam mengambil atau menggunakan sesuatu. , samesthine (semestinya): rinsip ini mengajarkan kita untuk bertindak sesuai dengan apa yang seharusnya, tidak melanggar aturan atau norma yang berlaku. Ini berarti kita harus selalu berusaha untuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan dan tidak melanggar aturan atau norma yang berlaku. dan sabenere (sebenarnya): Prinsip ini mengajarkan kita untuk bertindak sesuai dengan kebenaran, tidak menyimpang dari kebenaran. Ini berarti kita harus selalu berusaha untuk berbuat yang benar dan tidak menyimpang dari kebenaran. Prinsip ini dapat membantu orang untuk mengendalikan keinginan dan kebutuhan dirinya sendiri, tidak berlebihan atau kurang, tidak serakah atau iri, tidak menyombongkan diri atau mengecilkan orang lain, tidak berbohong atau berpura-pura. Prinsip ini dapat membuat orang merasa cukup, puas, dan bahagia dengan apa yang dimiliki dan diperoleh. Prinsip ini dapat mengurangi peluang dan motivasi untuk melakukan korupsi, karena orang tidak merasa kurang atau kekurangan, tidak merasa iri atau dengki, tidak merasa sombong atau rendah diri, tidak merasa perlu berbohong atau berpura-pura.
  • Ia menggunakan konsep kawruh jiwa atau ilmu jiwa untuk menjelaskan fenomena korupsi. Kawruh jiwa adalah ilmu yang mempelajari rasa atau perasaan manusia yang terdiri dari karep (keinginan), ati (hati), budi (akal), dan rasa (perasaan). Karep adalah keinginan yang bersifat mulur (berkembang) dan mungkret (menciut) sesuai dengan situasi dan kondisi. Ati adalah hati yang merupakan pusat pengendali karep dan budi. Budi adalah akal yang berfungsi sebagai alat untuk memahami dan menilai sesuatu. Rasa adalah perasaan yang timbul sebagai akibat dari karep, ati, dan budi. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, korupsi terjadi karena karep yang tidak terkendali oleh ati dan budi. Karep yang tidak terkendali akan menimbulkan rasa yang negatif, seperti serakah, iri, sombong, dan lain-lain. Rasa yang negatif ini akan mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, Ki Ageng Suryomentaram menyarankan agar manusia dapat mengendalikan karepnya dengan mengikuti prinsip enam "sa". Dengan demikian, manusia dapat mengubah rasa yang negatif menjadi rasa yang positif, seperti puas, syukur, rendah hati, dan lain-lain. Rasa yang positif ini akan mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
  • Ki Ageng Suryomentaram adalah seorang filsuf dan penulis yang produktif. Buku-buku dan karangan-karangannya mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk alam kejiwaan dan filsafat Jawa. Karya-karyanya mengandung nilai-nilai moral dan etika yang dapat mencegah korupsi. Beberapa karya beliau yang terkenal adalah Kawruh Jiwa, Kawruh Begja, Kawruh Rasa, Kawruh Budi, Kawruh Ati, dan Kawruh Karep.

    Dalam karya-karya ini, Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bagaimana cara manusia untuk mengenal diri sendiri, mengembangkan potensi diri, mengatasi hambatan diri, dan menyelaraskan diri dengan alam semesta. Dia juga mengajarkan bagaimana cara manusia untuk berhubungan dengan sesama manusia, dengan Tuhan, dan dengan lingkungan. Dia menekankan pentingnya sikap saling menghormati, menghargai, dan membantu antara sesama manusia, tanpa membedakan status, pangkat, atau golongan. Dia juga menekankan pentingnya sikap tawakal, sabar, dan syukur kepada Tuhan, serta sikap menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan.

    Membaca dan mempelajari karya-karya Ki Ageng Suryomentaram dapat memperkaya pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran kita tentang nilai-nilai moral dan etika yang dapat mencegah korupsi. Kita dapat meniru dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kita dapat membantu mencegah korupsi dan menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.

    Selain itu, karya-karya Ki Ageng Suryomentaram juga memberikan kita panduan untuk hidup yang lebih baik dan lebih bahagia. Dia mengajarkan kita untuk merasa cukup dengan apa yang kita miliki, untuk bersikap jujur dan tulus, dan untuk hidup sederhana. Dia mengajarkan kita untuk tidak mudah terpengaruh oleh tekanan eksternal atau godaan untuk melakukan korupsi. Dia mengajarkan kita untuk selalu bertindak dengan integritas dan bertanggung jawab.

    Dengan demikian, ajaran Ki Ageng Suryomentaram tidak hanya memberikan kita panduan untuk mencegah korupsi, tetapi juga memberikan kita panduan untuk hidup yang lebih baik dan lebih bahagia. Dengan menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat mencapai kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup.

    Jadi, karya-karya Ki Ageng Suryomentaram bukan hanya berharga dari segi filosofis dan etis, tetapi juga sangat relevan dan bermanfaat dalam konteks modern. Nilai-nilai yang diajarkan dalam karya-karya ini dapat membantu kita menghadapi tantangan dan masalah dalam kehidupan sehari-hari, termasuk masalah korupsi. Dengan demikian, karya-karya Ki Ageng Suryomentaram layak untuk dibaca dan dipelajari oleh semua orang, terlepas dari latar belakang atau kepercayaan mereka.

  • Ia menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang berarti ilmu bahagia dan bertujuan untuk merenungkan hakikat hidup manusia agar memperoleh kebahagiaan yang sesungguhnya.Dalam pengajaran ini, Ki Ageng Suryomentaram menekankan pentingnya kesadaran dan pemahaman terhadap diri sendiri. Dia mengajarkan bahwa dalam hidup, setiap orang akan mengalami masa-masa senang dan susah2. Oleh karena itu, orang yang paham akan irama senang dan susah, dan bisa tabah dalam menghadapi kedua kondisi tersebut, adalah orang yang akan mencapai kebahagiaan.Ilmu ini juga mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak terletak di luar diri kita, melainkan berasal dari dalam diri kita sendiri. Banyak orang yang mengira bahwa kebahagiaan terletak di luar dirinya dan sibuk memperhatikan aspek luar dari dirinya sendiri. Namun, menurut Ki Ageng Suryomentaram, kebahagiaan sejati ditemukan ketika seseorang bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan menerima apa adanya. Aliran ini memiliki banyak penganut yang tersebar di seluruh Jawa, meskipun tanpa ada organisasi atau propaganda seperti yang dilakukan oleh aliran-aliran yang lain. Aliran ini mengajarkan ajaran moral yang sederhana namun mendalam, seperti Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama. Aliran ini juga mengajarkan bagaimana cara manusia untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, yaitu dengan mengikuti alur hidup yang telah ditentukan oleh Tuhan, tanpa memaksakan kehendak sendiri. Aliran ini juga mengajarkan bagaimana cara manusia untuk menghadapi dan menyikapi penderitaan yang pasti dialami oleh manusia, yaitu dengan menerima, mengerti, dan mengubahnya menjadi pelajaran berharga. Dengan bergabung dan belajar dari aliran ini, orang dapat merasakan kebahagiaan, ketentraman, dan keseimbangan dalam hidup. Orang dapat menghindari korupsi, karena mereka tidak merasa perlu untuk mencari kebahagiaan dari hal-hal yang bersifat materi, duniawi, atau sementara.

Sistem, budaya, dan perilaku yang tidak mendukung korupsi yang diciptakan oleh Ki Ageng Suryomentaram antara lain adalah:

  • Sistem yang berdasarkan pada hati nurani rakyat: Ki Ageng Suryomentaram percaya bahwa sistem pemerintahan yang ideal adalah sistem yang berdasarkan pada hati nurani rakyat, bukan hanya berdasarkan pada kekuasaan dan kepentingan pribadi. Dalam sistem seperti ini, kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama. Sistem ini juga harus demokratis, transparan, dan akuntabel, sehingga dapat mencegah korupsi. Ki Ageng Suryomentaram mengkritik sistem pemerintahan yang tidak berdasarkan pada hati nurani rakyat, tetapi hanya berdasarkan pada kekuasaan dan kepentingan pribadi. Ia menginginkan sistem pemerintahan yang berdasarkan pada hati nurani rakyat, yang mengutamakan kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Ia menginginkan sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
  • Budaya yang berdasarkan pada kearifan Jawa: Kearifan lokal Jawa yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk cara berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungan, serta cara memahami dan menerima diri sendiri. Misalnya, dalam berinteraksi dengan sesama manusia, dia menekankan pentingnya sikap saling menghormati dan menghargai, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Ki Ageng Suryomentaram menulis banyak buku dan karangan tentang alam kejiwaan dan filsafat Jawa yang mengandung nilai-nilai moral dan etika yang dapat mencegah korupsi. Ia mengajarkan bagaimana cara manusia untuk mengenal diri sendiri, mengembangkan potensi diri, mengatasi hambatan diri, dan menyelaraskan diri dengan alam semesta. Ia mengajarkan bagaimana cara manusia untuk berhubungan dengan sesama manusia, dengan Tuhan, dan dengan lingkungan. Ia menekankan pentingnya sikap saling menghormati, menghargai, dan membantu antara sesama manusia, tanpa membedakan status, pangkat, atau golongan. Ia menekankan pentingnya sikap tawakal, sabar, dan syukur kepada Tuhan, serta sikap menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan.
  • Perilaku yang berdasarkan pada keteladanan pemimpin: Ki Ageng Suryomentaram menekankan pentingnya keteladanan pemimpin yang bersih, berwibawa, dan bertanggung jawab dalam memberantas korupsi. Ia mengajarkan agar pemimpin tidak hanya mengucapkan, tetapi juga menunjukkan dengan perbuatan. Mereka harus berkomitmen untuk melayani masyarakat, bukan kepentingan pribadi mereka. Mereka juga harus transparan dalam semua keputusan dan tindakan mereka, dan harus dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan mereka. Dengan menjadi teladan yang baik, pemimpin dapat membantu mencegah perilaku merugikan seperti korupsi dan membantu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Ia mengajarkan agar pemimpin tidak hanya menuntut, tetapi juga memberi. Ia mengajarkan agar pemimpin tidak hanya memimpin, tetapi juga melayani.

Dengan cara-cara ini, gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram dapat menanamkan kesadaran dan tanggung jawab kepada orang lain untuk tidak melakukan korupsi. Ia dapat membuat orang lain merasa terinspirasi dan termotivasi untuk mengikuti nilai-nilai anti korupsi yang ia ajarkan dan teladani.

Kesimpulan

Ki Ageng Suryomentaram adalah seorang tokoh filsafat dan spiritual Jawa yang memiliki gaya kepemimpinan yang demokratis, humanis, dan rasional. Gaya kepemimpinan ini didasarkan pada pengalaman dan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram, seorang putra raja yang memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa. Gaya kepemimpinan ini melibatkan partisipasi dan kontribusi dari anggota kelompok dalam pengambilan keputusan, memperhatikan dan menghormati kemanusiaan dari anggota kelompok, dan menggunakan akal dan logika dalam pengambilan keputusan.

Gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram penting dalam pencegahan korupsi karena ia dapat memberikan contoh dan teladan bagi orang lain untuk memiliki nilai-nilai anti korupsi, menciptakan sistem, budaya, dan perilaku yang tidak mendukung korupsi, dan menanamkan kesadaran dan tanggung jawab kepada orang lain untuk tidak melakukan korupsi. Nilai-nilai anti korupsi yang dimiliki oleh Ki Ageng Suryomentaram antara lain adalah kecukupan, kejujuran, dan kesederhanaan. Sistem, budaya, dan perilaku yang tidak mendukung korupsi yang diciptakan oleh Ki Ageng Suryomentaram antara lain adalah sistem yang berdasarkan pada hati nurani rakyat, budaya yang berdasarkan pada kearifan Jawa, dan perilaku yang berdasarkan pada keteladanan pemimpin.

Gaya kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram dapat mencegah korupsi dengan cara mengajarkan prinsip enam "sa" versi Ki Ageng Suryomentaram, yaitu sakepenake (seenaknya/senyamannya), sabutuhe (sebutuhnya/sesuai kebutuhan), saperlune (seperlunya), sacukupe (sacukupnya), samesthine (semestinya), dan sabenere (sebenarnya). Prinsip ini dapat membantu orang untuk mengendalikan keinginan dan kebutuhan dirinya sendiri, tidak berlebihan atau kurang, tidak serakah atau iri, tidak menyombongkan diri atau mengecilkan orang lain, tidak berbohong atau berpura-pura. Prinsip ini dapat membuat orang merasa cukup, puas, dan bahagia dengan apa yang dimiliki dan diperoleh. Prinsip ini dapat mengurangi peluang dan motivasi untuk melakukan korupsi, karena orang tidak merasa kurang atau kekurangan, tidak merasa iri atau dengki, tidak merasa sombong atau rendah diri, tidak merasa perlu berbohong atau berpura-pura. Ia juga menggunakan konsep kawruh jiwa atau ilmu jiwa untuk menjelaskan fenomena korupsi. Kawruh jiwa adalah ilmu yang mempelajari rasa atau perasaan manusia yang terdiri dari karep (keinginan), ati (hati), budi (akal), dan rasa (perasaan). Karep adalah keinginan yang bersifat mulur (berkembang) dan mungkret (menciut) sesuai dengan situasi dan kondisi. Ati adalah hati yang merupakan pusat pengendali karep dan budi. Budi adalah akal yang berfungsi sebagai alat untuk memahami dan menilai sesuatu. Rasa adalah perasaan yang timbul sebagai akibat dari karep, ati, dan budi. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, korupsi terjadi karena karep yang tidak terkendali oleh ati dan budi. Karep yang tidak terkendali akan menimbulkan rasa yang negatif, seperti serakah, iri, sombong, dan lain-lain. Rasa yang negatif ini akan mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, Ki Ageng Suryomentaram menyarankan agar manusia dapat mengendalikan karepnya dengan mengikuti prinsip enam "sa". Dengan demikian, manusia dapat mengubah rasa yang negatif menjadi rasa yang positif, seperti puas, syukur, rendah hati, dan lain-lain. Rasa yang positif ini akan mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Ia juga menulis banyak buku dan karangan tentang alam kejiwaan dan filsafat Jawa yang mengandung nilai-nilai moral dan etika yang dapat mencegah korupsi. Beberapa karya beliau yang terkenal adalah Kawruh Jiwa, Kawruh Begja, Kawruh Rasa, Kawruh Budi, Kawruh Ati, dan Kawruh Karep. Dalam karya-karya ini, beliau mengajarkan bagaimana cara manusia untuk mengenal diri sendiri, mengembangkan potensi diri, mengatasi hambatan diri, dan menyelaraskan diri dengan alam semesta. Beliau juga mengajarkan bagaimana cara manusia untuk berhubungan dengan sesama manusia, dengan Tuhan, dan dengan lingkungan. Beliau menekankan pentingnya sikap saling menghormati, menghargai, dan membantu antara sesama manusia, tanpa membedakan status, pangkat, atau golongan. Beliau juga menekankan pentingnya sikap tawakal, sabar, dan syukur kepada Tuhan, serta sikap menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan. Dengan membaca dan mempelajari karya-karya beliau, orang dapat memperkaya pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran mereka tentang nilai-nilai moral dan etika yang dapat mencegah korupsi. Orang dapat meniru dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Ia juga menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang berarti ilmu bahagia.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

              Arifin, M. (2020). KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER KI AGENG SURYOMENTARAM DAN IMPLIKASINYA DALAM MENGHADAPI TATANAN KEHIDUPAN NEW NORMAL ERA PANDEMI. Jurnal Pendidikan Karakter, 10(2), 137-148.

       Hidayat, A. (2017). Konsep Pendididkan Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dan Relevansinya Terhadap Pengembangan Agama. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 15(2), 179-198.

       Kurniawan, A., & Wibowo, A. (2018). Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan. Jurnal Manajemen, 22(1), 1-16.

       Sutrisno, A. (2012). BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN KI AGENG SURYOMENTARAM (1892-1962). Jurnal Ilmu Sejarah, 1(1), 1-18.

       Sari, D. A., & Sari, R. P. (2018). PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT. BANK MEGA, TBK CABANG JAKARTA BARAT. Seminar Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SNIPTEK), 1(1), 1-10.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun