Pertama kali dalam sejarah Pemilihan Umum di Indonesia KPU akhirnya membuat kebijakan baru dengan memasukkan orang gila sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pilpres 2019 mendatang, menurut KPU hal berkat desakan beberapa lembaga swadaya masyarakat.
Namun pihak panwaslu mengatakan aturan Ini berdasarkan keputusan MK, uu no. 8 tahun 2012 tentang pileg, UU 42 tahun 2012 tentang pilpres dan UU 19 tahun 2011 tentang disabilitas yang menyatakan mereka yang memiliki gangguan jiwa masih memiliki hak yang sama dengan warga lainnya dalam berwarga negara.
Namun yang janggal adalah aturan baru ini bertentangan terdapat pada PKPU No. 11 tahun 2018 pasal 4 ayat 2 huruf b tentang pemilih yang dapat menggunakan hak pilihnya merupakan warga negara Indonesia 'tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya'.
Melihat kedua aturan diatas maka jika KPU menyatakan orang yang mengalami gangguan jiwa dapat memberikan hak suara maka dapat dinilai kebijakan tersebut sangat dipaksakan dengan dalih adanya ayat ketiga pasal 4 PKPU tersebut.
Hal ini membuat polemik ditengah masyarakat, karena keputusan tersebut sangat tidak masuk akal, pasalnya bagaimana seseorang yang terganggu jiwanya sehingga tidak dapat membedakan mana benar mana salah, kemudian diberi hak untuk menentukan siapa yang menurutnya pantas memimpin Indonesia 5 tahun kedepan.
Tidak bermaksud mendiskriminasi hak hak warga negara termasuk penyandang disabilitas mental, tapi hal tersebut bisa diindikasikan adanya penambahan jumlah dpt tersebut untuk melakukan manipulasi suara dalam pilpres mendatang.
Bahkan dengan adanya keputusan ini juga menambah anggaran pemilu karena KPU turut menambah fasilitas penyelenggaraan pemilu di tempat tempat perawatan orang gila seperti Rumah Sakit Jiwa dan panti panti sosial, sebelumnya melalui PKPU No 11 tahun 2018 mereka yang mengalami gangguan jiwa harus memiliki surat keterangan dokter yang menyatakan orang tersebut masih wajar diberi hak memilih berdasarkan berbagai kriteria namun kali ini disamaratakan bahkan mereka yang masih sementara mendapatkan perawatan pun mendapat hak suara.
Hal ini mengingatkan penulis terkait kejadian beberapa bulan yang lalu dimana beberapa ulama dipersekusi dan dibunuh oleh orang gila dan pembunuhnya tidak dapat dikenakan sanksi hukum karena mereka mengidap gangguan jiwa, nah sekarang malah diberikan hak untuk memilih, penulis melihat ini sebagai suatu hal yang ironis.
Sebelumnya saya sempat menulis terkait beberapa kebijakan yang dicurigai adanya permainan dibalik DPT tersebut oleh pihak pemerintah atau adanya pihak yang tidak ingin kekuasaannya dilengserkan dalam bilik suara karena mereka sudah merasa resah dan ketar ketir melihat elektabilitas yang kian menurun.
Namun penulis tetap berharap adanya niat baik dari KPU agar tidak menyamaratakan semua penderita gangguan jiwa agar tidak ada suatu pihak yang memanfaatkan momentum tersebut untuk melakukan kecurangan pemungutan suara.
Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H