Sebagai negara Demokrasi yang memelihara asas asas pancasila, Indonesia tentu harusnya menunjukkan kedewasaan ataupun kemajuan dalam berdemokrasi, sejak rezim Soekarno harusnya ada kemajuan, namun di rezim jokowi terlihat adanya kemunduran berdemokrasi yang tidak dapat dipungkiri karena sikap Jokowi yang terkesan Otoriter.
Hal ini diindikasikan karena besarnya tekanan yang dirasakan oleh pihak istana dengan adanya gejolak elektabilitas yang terus mengkerut, berbagai aksi aksi digelar secara demokratis mengkritik pemerintah, bahkan banyak diantaranya yang ingin presiden mundur dari jabatannya karena Pemerintah dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan vital di negeri ini.
Sikap otoriter ini ditunjukkan dengan menggunakan berbagai instrumen pemerintahan yang gencar bahkan secara membabi buta melakukan kritikan yang tidak mendidik bahkan terkesan kasar seperti mengeluarkan ucapan yang tak pantas dan lain sebagainya dengan tujuan memberangus para oposisi yakni Prabowo dan tim nya.
Matthew Busch dalam artikelnya yang berjudul "Jokowi's Panicky Politics yang ditulis di laman majalah public affairs "Sekarang para politikus dan para pendukung Jokowi sama-sama bertanya seberapa aman sebenarnya (demokrasi) Indonesia dari kemunduran menjadi negara Otoriter".
Hal ini menunjukkan di mata pengamat asing pun Jokowi sangat memperlihatkan adanya indikator perubahan arah dan gaya berpolitik jokowi termasuk dengan mengerahkan kekuatan militer dalam berpolitik, termasuk pembubaran aksi #2019gantipresiden baik terhadap para aktivis maupun pemakai dan pedagang dan aksi pembubaran ini terkesan brutal namun secara undang undang seharusnya dilindungi oleh negara karena hal tersebut merupakan hak setiap warga negara (sumber).
Dalam artikel berjudul Jokowi in Indonesia's 'neo new order' ditulis oleh Tim Lindsey dari University of Melbourne malah menyebut Jokowi sebagai Neo Orde Baru terkait kegagalan pemerintah menyelesaikan permasalahan HAM di masa lalu yang juga meningkatnya penggunaan tuduhan kriminal palsu untuk mengikuti membungkam kritik terhadap pemerintah dan aktivis anti korupsi dan meningkatnya pembunuhan di luar hukum terhadap tersangka narkoba.
Hal ini tentunya bukan berarti Jokowi adalah penganut sistem Otoriter, namun dipicu karena kepanikan sehingga cenderung mengambil keputusan tergesa gesa dan terkesan dipaksakan, hal ini dapat dilihat dari berbagai tekanan hukum yang dipolitisasi untuk mengamankan posisinya diantaranya ditunjuknya politisi nasdem Muhammad Prasetyo sebagai Jaksa Agung yang terus bergerak untuk melemahkan kubu Oposisi dengan menangkap sejumlah anggota partai Oposisi atas tuduhan Korupsi namun tetap kader PDIP lah yang memegang prestasi atas akselerasi korupsi di Indonesia.
Kemudian penempatan Yasonna Laoly pada posisi Kemenkumham yang menggunakan kontrol atas verifikasi dewan dewan partai untuk memanipulasi perpecahan fraksi Golkar dan PPP sehingga mau tidak mau mereka harus bergabung mendukung petahana.
Kemudian kriminalisasi demi kriminalisasi terhadap HRS dan penyokong gerakan 212 dengan menggunakan instrumen Intelijen Negara dan media meluncurkan berbagai tuduhan tuduhan yang disebarkan ke seluruh Indonesia.
Anehnya beberapa oligarki media yang memutuskan bergabung di kubu petahana seperti Hary Tanoe setelah sebelumnya terbilang netral namun masih terancam dengan kasus intimidasi JPU, sejak itu Hary menjadi penyokong utama kubu oposisi.
Bahkan munculnya partai baru dengan nama PSI yang mengangkat slogan anak muda terus memperlihatkan kemunduran berpikir, dengan berpendapat bahwa gerakan 2019gantipresiden menunjukkan ujaran kebencian,Â