Mohon tunggu...
Muhammad Akmal Komara
Muhammad Akmal Komara Mohon Tunggu... -

apa saja bolleh deh

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sang Detective

4 Mei 2011   09:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:05 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikota Serang pagi ini turun hujan. Hal yang jarang terjadi selama sebulan lebih belakangan ini. Hari ini hari minggu, biasanya orang-orang pada olahraga di alun-alun kota Serang. Baik alun-alun timur maupun barat biasanya padat merayap. Dan di alun-alun barat pastinya padat dengan pasar kaget. Ya lumayan memanfaatkan timing yang pas.

Agendaku pagi ini sebenarnya ada acara di ball room hotel le dian. Acaranya Ormas baru untuk komisariat Banten. Aku mendapat undangan khusus tamu VIP.

Tok, tok, tok, tok. *terdengar suara pintu kamarku di ketuk.

“Ya, masuk.”.

“Heh, Jamal. Sudah siap belum? Lama banget sih dandannya.”.

“Eh Ria. Iya nih sudah siap.”, *sambil merapikan dasi yang kupakai didepan kaca.

Ria Damayanti, teman sekelasku di SMA. Ehm, kami sebenarnya masih kelas tiga SMA, bahkan baru naik di kelas tiga. Ya, berkat ayahku yang seorang pengarang novel detektif, aku jadi terbawa-bawa. Karena hujan sudah reda, Kami berduapun pergi ke hotel dengan mengendarai sepeda. Sekalian kampanye go green. Tentunya di belakang sepeda kami tegantung tulisan bike to school.

Sesampainya didepan hotel, aku langsung mendapat suguhan orang berkerumun. Bahkan sudah ada tanda garis polisi di sekitarnya. Ternyata baru saja terjadi sebuah kasus.

“Pak, ada apa ini?”,*sambil menepuk kepada seorang petugas polisi yang sedang memasang garis polisi.

“Oh, ini. Tadi ada orang yang mencoba menembak pak menteri waktu beliau baru saja turun dari mobilnya. Tapi untungnya meleset. Sementara di pasangi garis polisi dulu untuk mencari bukti”.

“Terus pak menterinya bagaimana pak?” * sambil bertanya-tanya matakupun mencoba memperhatikan sekitar TKP.

“Sudah di amankan dalam kamar, mas ini siapa ya?”.

“Panggil saja Jamal. Detective.”. *pandanganku mulai focus menyisir tiap sudut hotel.

Tanpa terlalu menghiraukan polisi yang sedang bertugas, aku langsung melangkahkan kaki untuk olah TKP. Tentunya dari kantung celana sudah aku siapkan sarung tangan lateks, agar sidik jariku tidak menutupi kemungkinan sidik jari si pelaku.

Dari depan pintu masuk, tempat dimana kejadian terjadi, aku mencoba masuk menuju lobi. Untuk menanyakan siapa saja yang menjadi tamu dalam acara hari ini. Dan ada hubungan apa saja dengan pak menteri. Kenapa bisa lolos penjagaan? Pasti sudah direncanakan.

“Jamal, aku main di tinggal saja. Hem, si maniak cerita detektif sepertinya mulai beraksi nih.”,* bersedakep dan sedikit menggembungkan pipi tanda kesal.

“Ah Ria, kamu kayak yang nggak tau aku saja. Sebentar, tolong pegangin helm sepeda aku.”.

Matakupun mulai melihat-lihat nama-nama dalam daftar hadir. Hampir semuanya punya hubungan dekat dan memiliki kepentingan dengan pak menteri. Merasa kurang untuk membuat hipotesa, aku mulai menyisir pinggir hotel. Dan pandanganku pun tertuju pada sebuah tong sampah yang berada di parkiran samping gedung.

“Hem, ternyata ia memakai ini. Masih amatir ternyata.”, *memungut benda tersebut dan menaruhnya dalam tas punggung. Tentu sudah ku bungkus dengan plastik.

“KYAAAAAAAAAAAAAA,,,”*suara jeritan dari dalam hotel.

Akupun langsung berlari menuju sumber suara berasal. Dan kudapati seorang pelayan perempuan yang terduduk dilantai di depan sebuah kamar hotel.

“Kenapa mba’?” *kurangkul tangannya dan kubantu dia untuk bangun.

“Maaaatii,,, ada mayat dikasur itu.”.* wajahnya terlihat benar-benar pucat.

Akupun langsung melihat isi dalam kamar, sambil ku bopong pelayan perempuan tersebut. Perlahan kami memasuki kamar, dan anehnya sosok mayat yang dilihat oleh pelayan tadi sudah tidak ada. Hanya berkas darah saja yang tertinggal membekas menodai sepray dan selimut hotel.

Pelayan itupun hanya bisa terdiam melototi apa yang terjadi dan matanya mulai meneteskan air mata sangking ketakutannya atas kejadian yang ia alami.

“JAMALLLLL,,,,”. *suara Ria yang teriak dari belakangku

“Eh, Ria. Kebetulan, tolong temenin mba ini. Barusan ia melihat mayat di atas kasur ini dan tiba-tiba menghilang saat kami mencoba masuk.”. *mataku trus terjaga sambil memperhatikan tiap sudut kamar.

“Ria, tolong panggil Briptu Udin didepan ya.”. *memegangi bercak darah dengan tangan yang sudah memakai sarung tangan.

Ada yang aneh dari kasus ini, di sembunyikan dimana mayat tadi sama si pelaku? Bagaimana cara memindahkannya? Siapa yang di bunuh?

“Jamal, bagaimana kejadiannya? Terus, mayatnya kemana?”* Sosok Pria bertubuh tinggi besar berseragam polisi lengkap dengan berbagai lencana penghargaan di dada kanannya.

“Oh, anda ternyata pak komisaris polisi resort Serang bagian kriminal dan pembunuhan, Pak Bambang Pradopo. Ehm, kurang tau aku juga. Tadi kata pelayan itu diatas kasur ini tergeletak mayat. Namun hilang begitu aku masuk.”.

“Aneh memang. Bagaimana si pelaku bisa dengan cepat memindahkan mayatnya? Lalu bagaimana hipotesa mu Jamal? Percuma kau dijuluki Detektif SMA.”.

Benar juga yang dikatakan pak Bambang. Celaka, seperti ada yang mengganggu pikiranku. Sepertinya ada yang terlewat olehku tadi. Arghhh, kenapa ini? Sepertinya aku pernah menjumpai yang seperti ini. Tapi apa?

“Ada apa ini ribut-ribut? Bagaimana acara Rakernasnya? Saya masih punya jadwal lainnya yang sudah menunggu.”.

“Oh, Pak Mentri. Saya Bambang, Komisaris Polres Serang bagian Kriminal dan Pembunuhan. Serahkan ini semua pada kami pak. Pasti segera diselesaikan.”.

Cih, yang begini ini yang bikin Negara makin bobrok.*melepas sarung tangan dan mencoba mendekati Pak Mentri. Namun,selang dua langkah dari posisiku beranjak. Aku melihat sesuatu.

“Jadwal apa Pak Menteri terhormat? Saya rasa ini ada hubungannya dengan nyawa anda pak. Jadi, sebelum ini selesai. Saran saya bapak tidak usah kemana-mana dulu.”.

“Ha, ha, ha, ternyata putranya Hasan juga ada rupanya.”, *tertawa lapas lalu menatapku dengan tatapan sinis.

“Pak komisaris, sepertinya aku tahu siapa korban kali ini. Dan dimana korban disembnyikan. Dia ada disebuah tempat di ruangan ini yang luput dari pandangan kita. Lima belas menit lagi kumpulkan para tamu di ball room. Akan aku jelaskan. Aku mau olah tkp sekali lagi untuk tahu siapa pelakunya.”.

Seperti yang telah aku rencanakan. Semua tamu Rakernas sudah pada kumpul di dalam ball room. Akupun melangkah perlahan kedepan sambil memegangi sebuah gelas yang telah aku isi dengan cairan penetral warna darah. Sehingga dalam kondisi ruang gelap, bercak darah yang sudah di samarkan dapat terlihat jelas. Dan akupun dengan skenarioku, aku mencoba menumpahkan cairan tersebut pada kemeja yang dikenakan oleh sosok pria berbadan gendut yang sedari tadi sibuk membicarakan jadwalnya.

“HEI!, Anak Hasan!!!. Apa-apaan kamu? Kamu tau berapa harga kemeja ini? Mungkin nggak akan bisa kebeli dari uang hasil jual novel bapakmu. Ingat itu.”.

“Oh, aku minta maaf. Byar nanti aku laundry kemejanya. Sekali lagi maaf.”.

“Huuuuuu,”. *sontak seluruh tamu peserta Rakernas mensoraki tindakanku tadi.

“Oh, sorry para bapak dan ibu peserta Rakernas. Ada kesalahan kecil.”. *langsung melangkah ke arah dekat podium.

“Ya, terima kasih atas waktunya yang di berikan kepadaku. Dan mohon maaf kepada pak Menteri soal yang tadi. Sebelumnya, bisa minta redupkan lampunya sebentar? Karena aku akan menjelaskan pakai slide.”.

Lampu ruanganpun telah di redupkan dan pak Menteri masih belum sadar dengan cairan yang kutumpahkan tadi. Byarlah, aku jelasin dulu hipotesaku.

“Nah, seperti yang terpampang pada slide disamping. Ini adalah foto korban yang aku ambil tadi. Bisa dilihat dipojok kanan bawah gambar ada jam dan tanggal aku mengambil fotonya. Ok. Pertama aku akan menjelaskan identitas korban. Pria ini adalah seorang wartawan dari sebuah stasiun televisi nasional. Bisa dilihat dari kartu pers yang ada dekat saku kanannya.Dia terkenal sebagai wartawan yang kritis. Hampir semua kasus korupsi dan penyelewengan berhasil ia kupas. Jadi wajar jika dia menjadi sasaran pembunuhan kali ini. Dan ku rasa motif pelaku membunuhnya ialah tak jauh dari kasus yang belakangan sedang ia liput. Tak lain adalah kasus korupsinya pak menteri yang sedang hadir dalam acara Rakernas kali ini. Bapak Norman Hidayat.”.*Tangan kananku menunjuk kearah Pak Menteri yang terkejut saat aku menyebut namanya.

“Pak Menteri, anda jugalah pelaku pembunuhan atas wartawan ini.”.*tersenyum puas karena kasus hampir selesai.

“Heh! Kau anaknya Hasan! Jangan sembarangan ya kau menuduh orang. Bisa saya tuntut nanti.”.*mukanya langsung saja berubah menjadi pucat.

“Bukti? Itu ada pada kemeja bapak. Cairan yang aku tumpahin tadi adalah cairan penetral warna darah. Walau sudah di keringkan, nodanya justru akan muncul setelah di keringkan. Butuh bukti yang lain? Team forensik akan menemukan sidik jari anda pada pakaian korban.”.

Orang gendut itupun hanya bisa terduduk lemas. Sepertinya ia menyesali perbuatannya. Kasuspun ditutup Norman Hidayat pun langsung di bawa oleh pihak berwajib. Lalu, si penembak tadi pagi yang hampir mencelakakannya ternyata adalah orang suruhannya sendiri. Sebagai alibi untuk rencana pembunuhannya. Akhirnya aku dan Rai dapat pulang kerumah masing-masing dan besok kami sudah menjadi siswa SMA biasa lagi. Tentunya jika terjadi kasus, naluri detektifku akan dengan cepat mencium baunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun