Mohon tunggu...
Muhammad Akmal Komara
Muhammad Akmal Komara Mohon Tunggu... -

apa saja bolleh deh

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mentantei School (Detektif SMA)

9 April 2011   07:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:59 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sendiri menyepi menatap semua ratapan kehidupan. Sambilku terduduk dan merebahkan badan, aku menatap langit yang tak berbintang. Terlihat begitu sepi, hanya rembulan berbentuk sabit sajalah yang jadi penghias langit. Ternyata langit masih lebih beruntung daripada aku.

Akupun menutup mataku sejenak, merenung dan mencoba untuk instropeksi diri. Sebulan sudah aku berada diSerang. Namun, belum satupun aku menemukan seorang teman yang benar-benar teman. Aku sekeluarga harus pindah ke Serang karena ayahku dipindah tugas. Beliau bekerja sebagai polisi, sebelumnya beliau adalah Wakapolres MusiBanyuasin Palembang. Susah memang punya ayah seorang abdi negara.

“Akhsan, kau bener nak melo pindah?”, temenku Kurniawan saatku hendak pindah.

Saat itu aku masih duduk dibangku SMA kelas 2. Setahun lagi padahal. Tapi, mau tinggal dimana aku jika tak ikut pindah. Berat memang kalau harus meninggalkan teman-teman. Apalagi kami sedang akrab-akrabnya.

Sebulan sebelum kepergianku, disekolahku sempat ada kasus yang menggeparkan sekolah. Ada seorang anak cewek dari kelas satu yang nyaris mati karena tergantung di kamar mandi. Ya, namanya juga bapakku polisi, naluri untuk menyelidikipun timbul dari dalam diriku.

“woy! Awas,,, bu Yuli datang, awas.”.

Bu Yuli adalah guru Pembina PMR disekolahku. Orangnya masih muda, belum nikah. seksi, cantik pula. Sempat jadi idola di kalangan anak cowok di sekolahku.

“Maaf, Akhsan. Kamu bisa minggir sebentar?”, suara bu Yuli yang memintaku untuk bergeser dari korban.

“Ah, ibu. Bawa sarung tangan bu? Ni pakai punya saya. Saya bawa dua.”.

Dalam setiap kasusnya, ayahku tak lupa selalu mengenakan sarung tangan saat sedang berada di TKP, Tempat Kejadian Perkara. Agar saat pemeriksaan tidak menghapus bukti sidik jari yang ada. Aku juga tahu dari novel detective karangan Sir Arthur Conan Doyle, Sherlock Holmes.

Sementara bu Yuli tengah sibuk dengan korban, memeriksa nafas dan denyut jantungnya, akupun mulai beraksi dengan melakukan olah TKP. Dalam novel Sherlock Holmes, diperlukan peralatan seperti kuas untuk make-up dan serbuk tinta, serta media untuk menempel sidik jarinya. Dan akupun membawa itu semua.

Aku mulai menelusuri dari kenok pintu, mulut pintu, gayung, bak kamar mandi, sampai pada suatu benda sejenis pipa yang tergeletak di belakang pintu. Sepertinya memang bukan kasus bunuh diri.

“Ibu Yuli, di leher korban, ada kayak semacam luka memar tidak? Atau di bagian lain?”.

“Korban, korban. Beh, kau ni san. Lah cak detective be lagak kau nih.”

“Apa sih Kur? Eh, awas! Jangan pegang sembarangan.”.

“Ada, Akhsan ada. Di lehernya ada bekas luka semacam memar. Tepatnya di deket kepalanya.”.

“Oh begitu rupanya.”.

Akupun bergumam sendiri sambil terus menggali hipotesaku. Apa sebenarnya motif si pelaku, bagaimana cara kerjanya? Untung kamar mandinya tidak terkunci, jadi bukan kasus diruang tertutup. Sepertinya si korban sengaja tidak dibuat mati dan mudah untuk ditemukan.

“Akhsan, anaknya ibu bawa ke UKS ya buat perawatan.”.

“Oh iya bu. Sekalian byar nggak ada yang membuyarkan TKP.”.

Sebelum membawa korban ke UKS, aku menyempatkan untuk menandai TKP. Tentunya aku tidak lupa buat memberi garis batas.

Ketika di UKS aku langsung memeriksa data korban.

“Bu, cewek ini siswi kelas berapa? Ibu kenal?”.

“Oh, dia Ajeng. Siswi kelas x5. Mang kenapa san? Kamu kenal?”.

“Ah, nggak juga bu. Sudah telpon polisi bu?”.

“Akhsan, jangan deh, takut ngerusak reputasi sekolah. Tapi, coba Tanya Wakasek, boleh nggak?”.

Akupun hanya terdiam sambil terus memikirkan petunjuk apa lagi yang kurang. Aku juga merasa bahwa dari kata-kata bu Yuli tadi ada sesuatu yang janggal. Apa aku harus ke pak Wakasek? atau hanya diam saja membiarkan kasus ini ditutup mengikuti waktu yang berputar.

Tiba-tiba handphoneku berdering. Akupun langsung mengambilnya dari kantong dan mengangkatnya.

“Akhsan, ini Ayah.San, kata temen kamu disekolah ada kejadian percobaan pembunuhan ya? Gimana keadaan korbannya?”.

“Oh, Ayah. Ini yah, kondisinya sih udah mendingan. Sudah sadar tapi sedang istirahat. Yah, emang siapa yang nelepon ayah?”.

“Kurniawan temen mu. Ayah kesana sekarang ya.”.

“Jangan yah. Dari pihak sekolah nggak mau berita ini sampai tersebar keluar. Byar aku saja yang nyelidiki.”.

“AKHSAN!,,, jangan bikin ulah lagi. Jangan main detective-detective lagi. Sudah, ayah sama anak buah ayah lima belas menit lagi sampai disitu.”

“Tuuut,,, tuuut,, tuuut”.

Sepuluh menit sudah sejak ayahku menelpon. Aku masih terus menyelidiki TKP lebih detil lagi. Sepertinya ada yang mengganggu pikiranku. Seperti ada yang terlewat olehku. Tapi apa?.

“Akhsan… ada bapak kau tuh lagi diruang UKS.”,

“Oh, kau kur. Iyo agek bentar lagi. Eh, Kur sini bentar.”.

“Ado apo pulo budak siko nih.”

“Oio, budak tuh lah sadar belum Kur? Agek yo, caknyo ado yang ku lewati.”.

“AKHSAN!!!, lah sudahlah kau tuh nak main detective-detectivenyo. Ini pulo Kurniawan, samo bae lah cak Akhsan. Dasar budak duo nih. Pegilah galo. Byar pak plisi ni be yang urus. Pegi, pegi.”.

Sosok laki-laki berkumis tebal yang berseragam polisi dengan pangkat yang banyak didada atas kantong seragamnya itu membentakku. Ya inilah Ayahku. Walau kelihatannya galak beliau itu sebenarnya baik. Jujur, penuh wibawa dan nggak korupsi. Hem, rumah kami saja masih rumah dinas, ayahku juga kalau kekantor selalu naik mobil butut kami. Sebuah mobil suzuki carry, entah keluaran tahun berapa.

“Aida ni budak duo masih be disini. Pegi sana. Saro nian diomonginyo.”

“Iyo, iyo.”

Akupun langsung menuju UKS. Dan di dalamnya hanyalah Ajeng yang jadi korban dan ibu guru Yuli. Ternyata Ajeng sudah sadar, sementara itu bu Yuli sibuk di westafel tengah mencuci sesuatu.

“Bisa ku bantu bu Yuli?”.

“Oh, nggak usah san. Sudah beres.”.

Melihat Ajeng yang mulai sadar, insting menyelidikiku langsung bergerak. Aku mulai mengambil kertas dalam saku kemeja dan pulpennya. Karena Ajeng mesih terlihat shock, aku akan mulai dengan basa-basi dulu.

“Hai Ajeng. Gimana perasaannya? Udah mendingan? Kenalin aku Akhsan kelas 2 bahasa.”.

“Hai kak. Ehm, lumayan enakkan sih. Kakak tau dari mana nama Ajeng? Ini dimana kak? Kok Ajeng bisa disini?”.

Ajeng, cewek SMA kelas satu berambut lurus sebahu berkulit sawomatang dengan mata agak sipit. Dan jadi terlihat sipit saat ia melihat ke arah bu Yuli. Seperti ada sesuatu diantara mereka.

“Ajeng. Ajeng, maaf Ajeng.”.

“Ah, oio kak apa? Kak maaf, nak minum.”

“oh, agek bentar. Kur, tolong ke dapur guru minta ke pakbon teh hangat.”.

“Lah ini san tehnya dari tadi sudah di bawain sama pakbon”

“Oh ibu. Iyo bu. Nah ini minumnya Ajeng.”

Saat bel sekolah tiba, aku memutuskan untuk mengikuti Ajeng pulang. Tentu dengan ditemani teman sejatiku, Kurniawan. Mungkin kalau di novelnya sir Arthur Conan Doyle, kami adalah pasangan Holmes dan dr. Watson.

“Akhsan, ngapoi pulo kita nih ngekor budak ni? Lah dak kate kerjaan be.”

“Kau tau dak Kur? Pelakunya lah ketahuan.”

“hah? Siapo dio san?” *kepalanya sambil toleh kanan kiri.

“Kau liat itu Kur? Perempuan yang barusan naik angkot yang sama dengan Ajeng.”

“Bu Yuli? Eh, bukannya emang bu Yuli satu arah rumahnya sama Ajeng?”

“ya, kita lihat aja nanti. Taksii!!!. Ayo Kur, aku jelasin didalam taksi saja.”

Kamipun akhirnya mengikuti angkot yang di naikin oleh Ajeng dan Bu Yuli. Setelah penjelasan yang cukup panjang, Kurniawanpun dapat mengerti alas an kenapa aku memutuskan untuk mengikuti mereka berdua.

Tiba-tiba, dibelokan terakhir dekat rumah Ajeng, angkot tadi berhenti dan semua penumpang dalam angkot turun semua. Kecuali sopir angkot, Ajeng dan BuYuli.

“San, Jingok! Beh, pembajakan. Penculikan ini san. Aku telepon bapak kau ya.”

“Dak usah Kur. Agek be. Kito jingok dulu nak kemano pelaku sikok nih.”

Akhirnya, tibalah kami pada sebuah gudang kosong dekat sungai Musi. Dan kami turun jauh sebelum bangunan gudangnya. Dan melanjutkan penyelidikan dengan jalan kaki.

“Nah, jingok dak Kur? Angkot tadi”

“Oio San, plat nomornya samo. Pi, mano dio Ajeng samo buYuli? Lah dak kate di angkot.”

“Kur, kau tunggu disini. Kalau ado apo-apo, kau telepon bapakku. Aku nak masuk dulu, nak jingok ado apo dio.”

“Oke San. Hati-hati.”

Akupun mulai memasuki gudang kosong itu. Namun, tak disangka, bu Yuli sudah berdiri didepan aku.

“Akhsan, ada perlu apa kesini? Pulang sekolah bukannya kerumah, ganti baju dulu.”

“Ah, ibu. Bu Yuli sendiri lagi ngapain disini? Rumah ibu bukan disini kan? Mana Ajeng bu?”

“Ajeng? Anak yang hampir mati disekolah tadi? Hahaha, dia memang beruntung dan bukan urusan mu.”

Benar-benar menyebalkan. Sudah jelas tertangkap basah. Akupun mencoba mencari keberadaan Ajeng dengan melirik daerah sekitar. Sangat gelap, sepertinya gudang ini sudah lama nggak dipakai.

“Ada apa Akhsan yang sok ingin jadi pahlawan?”

“Udah bu, jangan pura-pura. Polisi sebentar lagi kesini. Menyerahlah bu.”

“HEH!, apa-apaan kamu. Bisa saya tuntut kamu. Nuduh orang sembarangan.”

“Hahaha, ibu ini lucu ya. Sudah kepergok juga masih saja mengelak. Ibu juga kan yang mencoba melakukan pembunuhan pada Ajeng dikamar mandi?”

Sejenak Bu Yulipun terdiam, lalu mulai melebarkan senyumannya. Sebuah senyuman sinis yang memiliki niat jahat tertentu. Entah apa itu.

“Agung!... bawa anak itu kesini.”

Muncullah seorang pria berbadan sterek, muka sangar. Rambutnya kriting kribo, seperti waktu tren tahun tujuhpuluhan. Tidak terlalu terlihat umurnya berapa. Badannya masih tegap, berkulit sawo mateng. Lalu ia pergi hilang oleh gelapnya gudang. Namun, selang beberapa menit ia kembali lagi. Kali ini ia berdua, samar terlihat seperti badan seorang cowok dengan seragam osisnya celana panjang warna abu-abu.

“Kurniawan? Hey! Apa yang ibu lakukan pada Kurniawan?”

“Teman bodoh mu satu ini sungguh ceroboh. Agung, bawa mereka berdua buat nemuin temannya yang di ruang sebelah. Hahaha.”. *sambil agak menutup mulutnya, bu Yuli tertawa puas.

Kami berduapun di bawa keruangan yang disebutkan oleh bu Yuli tadi. Dan didalamnya memang ada sopir angkot tadi, tapi masih pinsan dan Ajeng anak kelas satu itu.

“Ajeng. Gimana kondisi kamu?”

Ajengpun hanya menganggukkan kepalanya saja. Wajahnya sangat kucel, mulutnyanya rapat ditutup oleh plakban warna hitam. Bajunya sudah basah oleh air mata dan keringat, mungkin Ajeng sudah benar-benar ketakutan. Tanpa sepengetahuan bu Yuli, aku mencoba memasang tanda dengan lampu laser punyaku. Kebetulan hari sudah mulai gelap, mudah-mudahan ayah bisa melihatnya.

“AKHSAN!!!...”

Tiba-tiba terdengar suara ayahku dari luar gudang. Dan sepertinya terdengar suara pantulan bola yang sedang berusaha ditendang kearah jendela dari luar.

“AKHSAN!!!... TANGKAP BOLANYA!...”

Haha, ternyata emang suara bola. Ternyata ayah masih tau kalau aku suka sama bola. Bolapun meluncur lewat jendela, dan ku tangkap dengan dadaku untuk kemudian melakukan firsttime shoot. Dan bola tadi mengenai bu Yuli.

Sementara itu, algojo berbadan sangar tadi mencoba buat menusukku dengan pisau. Untung aku pernah ikutan Aikido, jadi aku tau sedikit tekhnik dasar Aikido. *bergerak mengelak tikaman pisau lalu mengeluarkan tekhnik Aikido ku. Si algojo itupun akhirnya tersungkur ketanah.

“Woy, Akhsan. Udah belum?”

“Lah beres yah.”*aku mendekat kearah bu Yuli.

“Gimana bu? Menyerahlah. Aku sudah tau siapa ibu sebenarnya.”

Tanpa bicara sepatah katapun, bu Yuli hanya tersenyum.

“Menyerahlah. Polisi sudah diluar.”

*terdengar suara orang berlari mendekati pintu ruangan tempat kami di sekap. Dan pintupun akhirnya di dobrak.

“JANGAN BERGERAK!... POLISI. TEMPAT INI SUDAH DIKEPUNG! MERAPAT KE TANAH! Opsir Jana, borgol mereka.”

“Ayah.”

“Dasar anak bodoh.” *ayahku, sambil memukul kepalaku dengan pentungan polisi.

“Auw,,,”

Kasuspun ditutup. Semuanya selesai dan tak ada yang tersembunyikan lagi. Hem, ternyata kasusnya adalah hanya karena bu Yuli ingin menikahi bapaknya Ajeng. Ajeng sudah ditinggal meninggal oleh ibunya sedari kecil. Dan Ajeng tidak suka sama bu Yuli.

Sejak itu, namakupun mulai terkenal seantero Sumatra Selatan. Kasus demi kasus berhasil aku pecahkan. Tentunya bersama teman terbaikku, kini aku memanggilnya dengan Watson Kurniawan. Hingga akhirnya sekarang, aku harus pindah ke Banten. Karena harus ikut bapakku yang dipindah tugasnya ke Banten. Hari-hari aku lalui seperti orang biasa. Tanpa si Watson Kurniawan, sahabat karibku. Mungkin di Banten ini aku nggak akan menemukan teman seperti Kurniawan. Sampai ketemu lagi sobat.

*sambilmemandangi bintang-bintang dari kamarku melalui jendela kamar. Terbayang senyumanku bersama sobatku yang berhasil memecahkan kasus.

Sayonara boku no tomodachi. Ja matta ne.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun