Mohon tunggu...
Akmal Ibad
Akmal Ibad Mohon Tunggu... Guru - guru

hobi membuat opini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Horog-Horog, Kuliner Khas Kota Ukir Yang Wajib Di Coba

14 Desember 2024   20:57 Diperbarui: 14 Desember 2024   20:57 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Liburan keluarga selalu menjadi momen yang berharga. Begitu pula bagi saya dan keluarga besar saat memutuskan untuk menjelajahi salah satu pasar tradisional di Jepara, yaitu Pasar Karang Randu. Di tengah hiruk-pikuk pedagang yang menawarkan aneka makanan khas, kami menemukan salah satu hidangan tradisional yang memikat perhatian: horog-horog.

Di pasar ini, horog-horog disajikan sebagai pengganti nasi, dipadukan dengan pecel yang segar dan sate keong. Perpaduan rasa unik ini sungguh mengesankan, terutama ketika dinikmati bersama keluarga. Aroma bumbu pecel yang khas berpadu dengan tekstur kenyal dari horog-horog, serta gurihnya sate keong, menciptakan pengalaman kuliner yang tidak terlupakan.

Pengalaman menikmati horog-horog di pasar tradisional ini ternyata membawa inspirasi besar bagi saya. Saat mengikuti lomba National Cinematic Competition (Nacivition) 2024 yang diselenggarakan oleh HMJ Manajemen UIN Walisongo, saya dan tim memutuskan untuk mengangkat horog-horog sebagai produk yang dipromosikan. Mengapa memilih horog-horog? Jawabannya sederhana: saya ingin memperkenalkan makanan khas Jepara ini kepada teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia. Di tengah gempuran makanan modern, horog-horog adalah simbol kekayaan tradisi kuliner yang patut dilestarikan.

Mengunjungi Desa Penghasil Horog-Horog

Proses pembuatan video membawa saya ke Desa Menganti, salah satu desa di Jepara yang masih memproduksi horog-horog secara tradisional. Di sini, saya melihat langsung bagaimana horog-horog dibuat. Tepung sagu, bahan utamanya, ternyata didatangkan dari luar daerah, mengingat sagu tidak tumbuh di Jepara. Namun, masyarakat setempat, yang mayoritas adalah perempuan, dengan kreatifnya mengolah sagu ini menjadi horog-horog.

Ibu Siti, salah satu pekerja yang saya temui, menjelaskan bahwa proses pembuatan horog-horog melibatkan pengukusan tepung sagu hingga menggumpal menjadi butiran kecil. Saat saya menemui Ibu Siti, seorang pekerja di desa Menganti, Jepara, beliau dengan antusias menjelaskan proses pembuatan horog-horog. Beliau menambahkan "Makanan khas ini terbuat dari tepung sagu yang didatangkan dari luar Jepara, seperti wilayah Jawa Barat atau Tanjung, karena daerah ini tidak menghasilkan sagu sendiri."

Beliau pun melanjutkan menjelaskan proses pembeuatannnya dari awal. Dimana dari informasi yang saya dapatkan, Proses pembuatan dimulai dengan merendam tepung sagu semalaman untuk menghilangkan rasa pahit dan melunakkan teksturnya. Setelah itu, tepung sagu diayak dan dimasak dengan teknik khusus yang memerlukan kesabaran. Dengan api kecil, sagu dikukus sambil diaduk hingga mengembang dan menggumpal seperti butiran kecil. Dalam proses ini, tangan harus bersih dan tidak berbau wangi dari produk kimia, karena bisa membuat hasil akhir horog-horog cepat basi. Prosesnya memakan waktu sehari penuh, dan hasil akhirnya adalah butiran sagu kenyal yang siap disantap sebagai pengganti nasi.  

Setelah saya bertanya mengenai proses pembuatan dan take video. Saya dan teman sayapun melanjutkan bertemu dengan owner usaha horog2 tersebut untuk bertanya proses distribusisi dan juga sejarahnya.

Liburan keluarga selalu menjadi momen yang berharga. Begitu pula bagi saya dan keluarga besar saat memutuskan untuk menjelajahi salah satu pasar tradisional di Jepara, yaitu Pasar Karang Randu. Di tengah hiruk-pikuk pedagang yang menawarkan aneka makanan khas, kami menemukan salah satu hidangan tradisional yang memikat perhatian: horog-horog.

Di pasar ini, horog-horog disajikan sebagai pengganti nasi, dipadukan dengan pecel yang segar dan sate keong. Perpaduan rasa unik ini sungguh mengesankan, terutama ketika dinikmati bersama keluarga. Aroma bumbu pecel yang khas berpadu dengan tekstur kenyal dari horog-horog, serta gurihnya sate keong, menciptakan pengalaman kuliner yang tidak terlupakan.

Pengalaman menikmati horog-horog di pasar tradisional ini ternyata membawa inspirasi besar bagi saya. Saat mengikuti lomba National Cinematic Competition (Nacivition) 2024 yang diselenggarakan oleh HMJ Manajemen UIN Walisongo, saya dan tim memutuskan untuk mengangkat horog-horog sebagai produk yang dipromosikan. Mengapa memilih horog-horog? Jawabannya sederhana: saya ingin memperkenalkan makanan khas Jepara ini kepada teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia. Di tengah gempuran makanan modern, horog-horog adalah simbol kekayaan tradisi kuliner yang patut dilestarikan.

Mengunjungi Desa Penghasil Horog-Horog

Proses pembuatan video membawa saya ke Desa Menganti, salah satu desa di Jepara yang masih memproduksi horog-horog secara tradisional. Di sini, saya melihat langsung bagaimana horog-horog dibuat. Tepung sagu, bahan utamanya, ternyata didatangkan dari luar daerah, mengingat sagu tidak tumbuh di Jepara. Namun, masyarakat setempat, yang mayoritas adalah perempuan, dengan kreatifnya mengolah sagu ini menjadi horog-horog.

Ibu Siti, salah satu pekerja yang saya temui, menjelaskan bahwa proses pembuatan horog-horog melibatkan pengukusan tepung sagu hingga menggumpal menjadi butiran kecil. Saat saya menemui Ibu Siti, seorang pekerja di desa Menganti, Jepara, beliau dengan antusias menjelaskan proses pembuatan horog-horog. Beliau menambahkan "Makanan khas ini terbuat dari tepung sagu yang didatangkan dari luar Jepara, seperti wilayah Jawa Barat atau Tanjung, karena daerah ini tidak menghasilkan sagu sendiri."

Beliau pun melanjutkan menjelaskan proses pembeuatannnya dari awal. Dimana dari informasi yang saya dapatkan, Proses pembuatan dimulai dengan merendam tepung sagu semalaman untuk menghilangkan rasa pahit dan melunakkan teksturnya. Setelah itu, tepung sagu diayak dan dimasak dengan teknik khusus yang memerlukan kesabaran. Dengan api kecil, sagu dikukus sambil diaduk hingga mengembang dan menggumpal seperti butiran kecil. Dalam proses ini, tangan harus bersih dan tidak berbau wangi dari produk kimia, karena bisa membuat hasil akhir horog-horog cepat basi. Prosesnya memakan waktu sehari penuh, dan hasil akhirnya adalah butiran sagu kenyal yang siap disantap sebagai pengganti nasi.  

Setelah saya bertanya mengenai proses pembuatan dan take video. Saya dan teman sayapun melanjutkan bertemu dengan owner usaha horog2 tersebut untuk bertanya proses distribusisi dan juga sejarahnya.

Sejarah Pelik Di Balik Horog-Horo

Saat saya bertemu dengan Pak Kardi, pemilik usaha horog-horog, beliau dengan bangga menceritakan sejarah dan proses distribusi makanan khas Jepara ini. "Horog-horog ini bukan sekadar makanan, tapi bagian dari warisan turun-temurun," ujar Pak Kardi. "Dulu, saat beras sulit didapat, masyarakat Jepara mulai mengolah sagu sebagai pengganti nasi. Sagu yang didatangkan dari luar daerah, seperti Jawa Barat dan Tanjung, diolah dengan tangan terampil menjadi horog-horog yang kini jadi ciri khas kami."

Beliau melanjutkan, "Kreativitas nenek moyang kami luar biasa. Meski sagu bukan bahan lokal, mereka berhasil mengolahnya menjadi makanan yang tak hanya enak, tetapi juga menjadi simbol ketahanan hidup di masa sulit. Itu sebabnya kami bangga menjaga tradisi ini."

Setelah mendengar cerita tersebut, saya semakin kagum dengan ketangguhan dan kreativitas nenek moyang masyarakat Jepara. Tidak hanya berhasil bertahan di masa-masa sulit, mereka juga menciptakan sesuatu yang unik dan penuh makna.

Tak hanya itu, Pak Kardi juga menjelaskan bagaimana distribusi horog-horog dilakukan. Setiap hari, horog-horog yang sudah jadi diambil oleh para distributor untuk dipasarkan di berbagai pasar, termasuk pasar tradisional seperti Pasar Karang Randu dan Pasar Pagi Desa Semat. "Proses distribusi biasanya meningkat pada akhir pekan dan saat ada hajatan," ujar Pak Kardi. "Orang-orang Jepara seringkali menyantap horog-horog saat acara besar, dan itulah yang membuatnya semakin dikenal."  Selain ituu "Biasanya juga ada pelanggan tetap ari pedagang bakso, mereka mengambilnya dari sini karena kalua dari pasar hargnya sudah berbeda" tambahnya.

Mendengarkan penjelasan Pak Kardi, saya merasa semakin yakin bahwa horog-horog bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga sebuah karya budaya yang patut dilestarikan. Sebuah simbol kreativitas dan ketahanan, yang hingga kini terus hidup dan berkembang, memberikan makna lebih pada setiap butiran kenyal horog-horog yang disantap.

Perpaduan dan Cara Menikmati Horog-Horog Ala Orang Jepara

Penyajian horog-horog memang sangat fleksibel dan bisa disesuaikan dengan selera masing-masing. Bagi saya, salah satu kenangan yang paling berkesan adalah menikmati horog-horog bersama bakso hangat saat musim hujan. Perpaduan rasa gurih dan kenyal dari horog-horog dengan kuah bakso yang hangat, ditambah dengan balungan (tulang daging) yang menambah cita rasa, menciptakan pengalaman kuliner yang tidak hanya lezat, tetapi juga memberikan kenyamanan yang khas. Ini adalah momen yang hanya bisa ditemukan di Jepara, di mana tradisi kuliner mengingatkan kita pada masa lalu yang penuh perjuangan.

Suatu ketika, saya juga sering bertanya kepada teman-teman mengenai horog-horog. Saat itu, saya sedang bersama teman kuliah dan sengaja membeli pecel di warung yang juga menyajikan horog-horog. Tidak semua warung di Jepara menyajikan makanan ini, jadi saya penasaran untuk mencobanya. Teman saya mengatakan, "Horog-horog itu enak kalau kita bisa menikmatinya. Paling enak ya memang pecel, apalagi kalau musim hujan. Tambah enak lagi kalau dengan kuah bakso dan balungan, wahhh, surga dunia bener!" ujarnya dengan semangat.

Saya pun merasa hal yang sama saat menikmati horog-horog bersama ibu saya di warung bakso. Ibu selalu menambahkan horog-horog ke dalam bakso, alih-alih memesan bakso dengan mie. Ketika saya bertanya mengapa ibu lebih suka horog-horog, beliau menjawab, "Ibu nggak cuma makan, tapi juga mengingat dulu, saat nggak ada beras, horog-horog itu menu paling enak. Tapi sekarang sudah nggak zaman, di kalangan anak muda. Jadi anak muda ya harus bisa tahu budaya ini. Ini bukan cuma budaya, tapi juga mengingat perjuangan dulu yang susah. Kamu mah enak tinggal makan." Sambil tertawa, saya menyimak penjelasan ibu saya dengan haru dan canda tawa. Saat itu, saya bisa merasakan kehangatan dalam setiap kata yang keluar dari mulut ibu.

Melihat ibu berbicara dengan penuh nostalgia, saya semakin menyadari betapa berharganya setiap tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Horog-horog bukan sekadar hidangan sederhana, tapi juga simbol dari ketekunan dan ketahanan masyarakat Jepara di masa lalu. Saat itu, saya merasa sangat bersyukur bisa menikmati momen ini bersama ibu, sambil tertawa, berbicara tentang kenangan yang begitu berharga.

Selain Warisan Budaya, Horog-Horog Juga Kaya Akan  Manfaat

Pengalaman saya dengan horog-horog bukan hanya sekadar menikmati atau mengenalkan makanan khas Jepara ini kepada teman-teman. Lebih dari itu, saya juga tertarik untuk mencari tahu lebih banyak mengenai manfaat gizi dari horog-horog ini. Dalam pencarian tersebut, saya sempat berbicara dengan seorang teman kos saya, yang kebetulan adalah seorang ahli di bidang Laboratorium Kimia dari Universitas Negeri Semarang (UNNES). Saat itu, dia sedang melakukan penelitian mengenai kandungan gizi berbagai bahan makanan tradisional, termasuk horog-horog.

Saat saya bertanya kepada teman kos saya, seorang ahli Lab Kimia dari UNNES, tentang manfaat gizi horog-horog, dia menjawab dengan serius, namun dengan cara yang sangat santai, "Tolong jawabkan sesuai dengan riset yang ada, manfaat dan kadarnya," ujarnya sambil tersenyum. Teman saya kemudian menjelaskan bahwa horog-horog, yang berbahan dasar tepung sagu, memiliki sejumlah manfaat kesehatan, terutama dalam hal energi.

"Jadi, karena sagu kaya akan karbohidrat kompleks, horog-horog ini bisa jadi sumber energi yang bagus, terutama untuk tubuh yang butuh cadangan energi jangka panjang," jelasnya. "Namun, kandungan protein dan lemak di dalam sagu cenderung rendah, jadi kamu perlu memperhatikan keseimbangan gizi kalau makan horog-horog, ya," lanjutnya sambil mengingatkan pentingnya konsumsi bahan makanan lain untuk melengkapi kandungan gizi.

"Selain itu, sagu juga punya kandungan serat yang cukup tinggi," tambahnya. "Serat itu penting banget buat pencernaan, jadi horog-horog juga bisa bantu menjaga kesehatan usus."

Teman saya juga menambahkan bahwa walaupun horog-horog mengandung beberapa manfaat kesehatan, namun rasio kandungan gizi lainnya, seperti vitamin dan mineral, cukup terbatas. "Karena itu, kalau kamu makan horog-horog, harus dipadukan dengan lauk yang kaya akan vitamin dan mineral, seperti sayuran dalam pecel atau sumber protein seperti sate keong," ujarnya lagi.

Dari penjelasan teman saya, saya jadi lebih memahami bahwa meski horog-horog bukanlah makanan yang kaya akan berbagai macam nutrisi, tetapi jika disajikan dengan bijak dan dipadukan dengan makanan bergizi lainnya, horog-horog bisa menjadi pilihan yang sehat dan mengenyangkan.

Horog-horog, sebagai salah satu makanan khas Jepara, bukan hanya sekadar kuliner tradisional, tetapi juga menjadi simbol ketahanan dan kreativitas masyarakat Jepara. Makanan yang terbuat dari tepung sagu ini memiliki nilai historis yang tinggi, terutama sebagai pengganti nasi pada masa-masa sulit. Meskipun saat ini banyak makanan modern yang lebih populer, horog-horog tetap mempertahankan eksistensinya sebagai bagian penting dari warisan budaya yang patut dilestarikan.Selain memiliki rasa yang unik dan lezat, horog-horog juga kaya akan manfaat, terutama sebagai sumber energi yang baik berkat kandungan karbohidrat kompleks. Meskipun begitu, kandungan gizi lainnya seperti protein dan lemak cukup terbatas, sehingga penting untuk mengonsumsinya dengan paduan makanan bergizi lainnya.

Sudah saatnya horog-horog menjadi bagian yang lebih dikenal dan dilestarikan, terutama di kalangan anak muda Jepara. Oleh karena itu, horog-horog seharusnya bisa menjadi KEHATI bagi generasi muda, yaitu "Keren, Enak, Hidupkan Tradisi, Indonesia". Dengan semangat untuk menjaga warisan budaya ini, anak-anak muda Jepara dapat berperan aktif dalam mempopulerkan horog-horog, baik di dalam negeri maupun di luar, agar kuliner tradisional ini tetap hidup dan menjadi kebanggaan masa depan.

Semoga dengan adanya usaha yang lebih besar untuk memperkenalkan horog-horog, baik melalui media sosial, event budaya, maupun inisiatif lainnya, anak-anak muda bisa lebih memahami pentingnya melestarikan kuliner lokal yang memiliki makna mendalam ini. Horog-horog bukan hanya soal makanan, tetapi juga soal menghargai perjuangan nenek moyang dan meneruskan tradisi yang sudah ada.

Saat saya bertemu dengan Pak Kardi, pemilik usaha horog-horog, beliau dengan bangga menceritakan sejarah dan proses distribusi makanan khas Jepara ini. "Horog-horog ini bukan sekadar makanan, tapi bagian dari warisan turun-temurun," ujar Pak Kardi. "Dulu, saat beras sulit didapat, masyarakat Jepara mulai mengolah sagu sebagai pengganti nasi. Sagu yang didatangkan dari luar daerah, seperti Jawa Barat dan Tanjung, diolah dengan tangan terampil menjadi horog-horog yang kini jadi ciri khas kami."

Beliau melanjutkan, "Kreativitas nenek moyang kami luar biasa. Meski sagu bukan bahan lokal, mereka berhasil mengolahnya menjadi makanan yang tak hanya enak, tetapi juga menjadi simbol ketahanan hidup di masa sulit. Itu sebabnya kami bangga menjaga tradisi ini."

Setelah mendengar cerita tersebut, saya semakin kagum dengan ketangguhan dan kreativitas nenek moyang masyarakat Jepara. Tidak hanya berhasil bertahan di masa-masa sulit, mereka juga menciptakan sesuatu yang unik dan penuh makna.

Tak hanya itu, Pak Kardi juga menjelaskan bagaimana distribusi horog-horog dilakukan. Setiap hari, horog-horog yang sudah jadi diambil oleh para distributor untuk dipasarkan di berbagai pasar, termasuk pasar tradisional seperti Pasar Karang Randu dan Pasar Pagi Desa Semat. "Proses distribusi biasanya meningkat pada akhir pekan dan saat ada hajatan," ujar Pak Kardi. "Orang-orang Jepara seringkali menyantap horog-horog saat acara besar, dan itulah yang membuatnya semakin dikenal."  Selain ituu "Biasanya juga ada pelanggan tetap ari pedagang bakso, mereka mengambilnya dari sini karena kalua dari pasar hargnya sudah berbeda" tambahnya.

Mendengarkan penjelasan Pak Kardi, saya merasa semakin yakin bahwa horog-horog bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga sebuah karya budaya yang patut dilestarikan. Sebuah simbol kreativitas dan ketahanan, yang hingga kini terus hidup dan berkembang, memberikan makna lebih pada setiap butiran kenyal horog-horog yang disantap.

Perpaduan dan Cara Menikmati Horog-Horog Ala Orang Jepara

Penyajian horog-horog memang sangat fleksibel dan bisa disesuaikan dengan selera masing-masing. Bagi saya, salah satu kenangan yang paling berkesan adalah menikmati horog-horog bersama bakso hangat saat musim hujan. Perpaduan rasa gurih dan kenyal dari horog-horog dengan kuah bakso yang hangat, ditambah dengan balungan (tulang daging) yang menambah cita rasa, menciptakan pengalaman kuliner yang tidak hanya lezat, tetapi juga memberikan kenyamanan yang khas. Ini adalah momen yang hanya bisa ditemukan di Jepara, di mana tradisi kuliner mengingatkan kita pada masa lalu yang penuh perjuangan.

Suatu ketika, saya juga sering bertanya kepada teman-teman mengenai horog-horog. Saat itu, saya sedang bersama teman kuliah dan sengaja membeli pecel di warung yang juga menyajikan horog-horog. Tidak semua warung di Jepara menyajikan makanan ini, jadi saya penasaran untuk mencobanya. Teman saya mengatakan, "Horog-horog itu enak kalau kita bisa menikmatinya. Paling enak ya memang pecel, apalagi kalau musim hujan. Tambah enak lagi kalau dengan kuah bakso dan balungan, wahhh, surga dunia bener!" ujarnya dengan semangat.

Saya pun merasa hal yang sama saat menikmati horog-horog bersama ibu saya di warung bakso. Ibu selalu menambahkan horog-horog ke dalam bakso, alih-alih memesan bakso dengan mie. Ketika saya bertanya mengapa ibu lebih suka horog-horog, beliau menjawab, "Ibu nggak cuma makan, tapi juga mengingat dulu, saat nggak ada beras, horog-horog itu menu paling enak. Tapi sekarang sudah nggak zaman, di kalangan anak muda. Jadi anak muda ya harus bisa tahu budaya ini. Ini bukan cuma budaya, tapi juga mengingat perjuangan dulu yang susah. Kamu mah enak tinggal makan." Sambil tertawa, saya menyimak penjelasan ibu saya dengan haru dan canda tawa. Saat itu, saya bisa merasakan kehangatan dalam setiap kata yang keluar dari mulut ibu.

Melihat ibu berbicara dengan penuh nostalgia, saya semakin menyadari betapa berharganya setiap tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Horog-horog bukan sekadar hidangan sederhana, tapi juga simbol dari ketekunan dan ketahanan masyarakat Jepara di masa lalu. Saat itu, saya merasa sangat bersyukur bisa menikmati momen ini bersama ibu, sambil tertawa, berbicara tentang kenangan yang begitu berharga.

Selain Warisan Budaya, Horog-Horog Juga Kaya Akan  Manfaat 

Pengalaman saya dengan horog-horog bukan hanya sekadar menikmati atau mengenalkan makanan khas Jepara ini kepada teman-teman. Lebih dari itu, saya juga tertarik untuk mencari tahu lebih banyak mengenai manfaat gizi dari horog-horog ini. Dalam pencarian tersebut, saya sempat berbicara dengan seorang teman kos saya, yang kebetulan adalah seorang ahli di bidang Laboratorium Kimia dari Universitas Negeri Semarang (UNNES). Saat itu, dia sedang melakukan penelitian mengenai kandungan gizi berbagai bahan makanan tradisional, termasuk horog-horog.

Saat saya bertanya kepada teman kos saya, seorang ahli Lab Kimia dari UNNES, tentang manfaat gizi horog-horog, dia menjawab dengan serius, namun dengan cara yang sangat santai, "Tolong jawabkan sesuai dengan riset yang ada, manfaat dan kadarnya," ujarnya sambil tersenyum. Teman saya kemudian menjelaskan bahwa horog-horog, yang berbahan dasar tepung sagu, memiliki sejumlah manfaat kesehatan, terutama dalam hal energi.

"Jadi, karena sagu kaya akan karbohidrat kompleks, horog-horog ini bisa jadi sumber energi yang bagus, terutama untuk tubuh yang butuh cadangan energi jangka panjang," jelasnya. "Namun, kandungan protein dan lemak di dalam sagu cenderung rendah, jadi kamu perlu memperhatikan keseimbangan gizi kalau makan horog-horog, ya," lanjutnya sambil mengingatkan pentingnya konsumsi bahan makanan lain untuk melengkapi kandungan gizi.

"Selain itu, sagu juga punya kandungan serat yang cukup tinggi," tambahnya. "Serat itu penting banget buat pencernaan, jadi horog-horog juga bisa bantu menjaga kesehatan usus."

Teman saya juga menambahkan bahwa walaupun horog-horog mengandung beberapa manfaat kesehatan, namun rasio kandungan gizi lainnya, seperti vitamin dan mineral, cukup terbatas. "Karena itu, kalau kamu makan horog-horog, harus dipadukan dengan lauk yang kaya akan vitamin dan mineral, seperti sayuran dalam pecel atau sumber protein seperti sate keong," ujarnya lagi.

Dari penjelasan teman saya, saya jadi lebih memahami bahwa meski horog-horog bukanlah makanan yang kaya akan berbagai macam nutrisi, tetapi jika disajikan dengan bijak dan dipadukan dengan makanan bergizi lainnya, horog-horog bisa menjadi pilihan yang sehat dan mengenyangkan.

Horog-horog, sebagai salah satu makanan khas Jepara, bukan hanya sekadar kuliner tradisional, tetapi juga menjadi simbol ketahanan dan kreativitas masyarakat Jepara. Makanan yang terbuat dari tepung sagu ini memiliki nilai historis yang tinggi, terutama sebagai pengganti nasi pada masa-masa sulit. Meskipun saat ini banyak makanan modern yang lebih populer, horog-horog tetap mempertahankan eksistensinya sebagai bagian penting dari warisan budaya yang patut dilestarikan.Selain memiliki rasa yang unik dan lezat, horog-horog juga kaya akan manfaat, terutama sebagai sumber energi yang baik berkat kandungan karbohidrat kompleks. Meskipun begitu, kandungan gizi lainnya seperti protein dan lemak cukup terbatas, sehingga penting untuk mengonsumsinya dengan paduan makanan bergizi lainnya.

Sudah saatnya horog-horog menjadi bagian yang lebih dikenal dan dilestarikan, terutama di kalangan anak muda Jepara. Oleh karena itu, horog-horog seharusnya bisa menjadi KEHATI bagi generasi muda, yaitu "Keren, Enak, Hidupkan Tradisi, Indonesia". Dengan semangat untuk menjaga warisan budaya ini, anak-anak muda Jepara dapat berperan aktif dalam mempopulerkan horog-horog, baik di dalam negeri maupun di luar, agar kuliner tradisional ini tetap hidup dan menjadi kebanggaan masa depan.

Semoga dengan adanya usaha yang lebih besar untuk memperkenalkan horog-horog, baik melalui media sosial, event budaya, maupun inisiatif lainnya, anak-anak muda bisa lebih memahami pentingnya melestarikan kuliner lokal yang memiliki makna mendalam ini. Horog-horog bukan hanya soal makanan, tetapi juga soal menghargai perjuangan nenek moyang dan meneruskan tradisi yang sudah ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun