Mohon tunggu...
Akmal M Roem
Akmal M Roem Mohon Tunggu... wiraswasta -

menyukai sesuatu yang mudah dipahami, enak dibaca, segar untuk dicerna, senang untuk dikerjakan. Guru SM-3T Aceh. Mengajar di pedalaman Kalimantan Barat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ritual Sunyi

8 Mei 2011   05:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:57 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ayah berhenti lagi. Wajahnya berpaling ke belakang. Matanya tertuju pada satu pohon besar berserabut. Aku tak begitu jelas melihatnya. Malam terlalu gelap. Ia palingkan wajahnya ke depan. Aku berusaha mendekat agar bisa tahu apa yang dilakukanya. Kali ini aku harus tahu apa yang selama ini dia kerjakan. Aku tak mau hanya menjadi anak yang tak pernah mengenali ayahnya sendiri.

Ayah melekatkan obor pada pohon itu. Jelas terlihat olehku ternyata di balik pohon besar itu adalah pemakaman warga. Kuburan yang begitu banyak. Ayah mengelilingi kuburan itu. Dia seperti orang gila. Cangkul di tangannya meliuk-liuk. Dia seperti sedang menikmati sesuatu. Menari-nari. Tertawa. Melihat langit. Dalam hujan yang begitu hebat. Petir dan angin. Ayah semakin ingin tertawa. Berlari sambil menari-nari.

Sembari terus berputar-putar mengelilingi kuburan. Ia mengangkat cangkulnya setinggi-tingginya. Hujan semakin lebat. Hanya hujan dan angin kencang. Sesekali kilat kecil menyala. Gemuruh dari kejauhan jelas terdengar. Ayah kemudian menggali kuburan itu. Kuburan yang terlihat masih baru. Tiba-tiba saja obornya mati karena hujan. Ayah tak merisaukan itu. penglihatanku semakin tidak jelas. Kilatan petir mulai berdatangan. Guntur mengelegar. Ayah masuk ke dalam kubur yang digalinya. Perlahan hilang dalam tanah. Aku ingin sekali mendekatinya. Akan tetapi aku takut ayah akan membunuhku bila mencampuri urusannya.

Aku semakin penasaran. Aku putuskan untuk mendekati kuburan yang digali ayah. Kilat semakin cerlang. Aku jelas melihat tubuh ayah. Merah. Membungkuk. Di dalam kuburan terbaring seorang perempuan. Perempuan muda sekali. Telanjang dan kaku. Dia berusaha mengeluarkannya perempuan itu dari liang. Tubuh perempuan itu terbaring di atas kuburan. Telanjang dan belumuran lumpur. Ayah pun keluar dari kuburan itu. Dia menghidupkan kembali obornya. Hujan terlalu deras. Obornya tak menyala. Ayah mengelilingi tubuh perempuan itu. Berputar-putar. Dia kemudian membuka seluruh pakaiannya. Lalu menyetubuhi mayat perempuan itu. Ayah tertawa.

Hujan semakin deras. Aku ingin sekali menangis kencang. Tapi, tetap tidak bisa. Ketakutan membungkusku dalam dingin ini. Aku tercengang melihat ayah yang sibuk dengan mayat itu. Malam ini benar-benar tidak seperti biasanya.

Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat cahaya kecil. Seperti kunang-kunang dalam jumlah besar. Mereka semakin mendekat. Mengepung. Ayah tidak tahu keberadaan cahaya itu. Dia sedang asik dengan tubuh perempuan itu. Mengulum dan merengkuhhnya. Ayah begitu menikmatinya.

Cahaya itu semakin mendekat. Bergerak ke semakin cepat. Ternyata bukan kunang-kunang seperti yang kuterka, melainkan suluh yang digunakan orang-orang sebagai penerang jalan. Mereka tahu apa yang sedang dikerjakan ayah. Saat orang-orang ramai mulai mendekat ayah terlihat masih terdiam. Menikmati dingin yang kelam. Dengan sepotong daging perempuan yang terbujur kaku di atas liang.

Seluruh orang mengepung. Mengamuk. Api-api berterbangan. Ayah terguling dari atas tubuh perempuan itu. Aku langsung berteriak. Mereka mengejarku dan ayah. Ayah berlari ketakutan. Telanjang. Meninggalkan tubuh perempuan itu di atas liangnya. Ayah tersungkur. Satu parang mengenainya. Tepat di punggung. Tertancap. Ayah berteriak. Menangis kesakitan. Tak ada pertolongan. Ayah dipancung. Mati.

Tubuhnya dibiarkan membusuk. Ayah tak akan pernah menjadi kaya seperti apa yang diharapkannya. Orang-orang kampung membawaku ke tempat mereka. Aku dipasung. Menunggu mati dan membusuk. Jangan menangis di sini. Kau akan di sangka hantu yang bergentayangan. Hantu yang dilepaskan ayah untuk membalaskan dendamnya. Siapapun yang terdengar menangis. Bersiaplah untuk mati. Tubuhmu akan membusuk.[]

Penulis Akmal M Roem lahir di Aceh Besar. Penikmat kopi dan ketan srikaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun