Mohon tunggu...
Akmal
Akmal Mohon Tunggu... Seniman - Penulis

Senang menulis| Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mengenal Tradisi Penjor dalam Cerpen "Penjor" Karya I Wayan Suardika

4 Juli 2024   15:24 Diperbarui: 4 Juli 2024   15:27 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by nusabali.com

Cerpen "Penjor" karya I Wayan Suardika dibuka dengan gambaran tentang I Beneh, seorang lelaki paruh baya yang dikenal sebagai orang yang keras kepala dan suka mengkritik. Ia melihat ada yang salah pada sebuah penjor, salah satu elemen penting dalam upacara Galungan. Reaksi I Beneh ini memperlihatkan pengetahuan mendalam tentang adat dan tradisi yang ia miliki. Dalam budaya Bali, penjor bukan sekadar hiasan, tetapi memiliki makna religius yang mendalam.

Penjor adalah batang bambu panjang yang dihiasi dengan janur, padi, dan berbagai elemen lainnya. Penjor ini dipasang di depan rumah-rumah warga saat perayaan Galungan sebagai simbol kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (kejahatan). Bentuk penjor yang melengkung ke bawah pada ujungnya melambangkan gunung sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur. Dalam cerpen ini, I Beneh justru membuat penjor yang tegak lurus, menimbulkan kontroversi di kalangan warga.

Cerpen ini membawa kita ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, khususnya dalam konteks perayaan hari suci Galungan. Melalui tokoh I Beneh, cerpen ini menggambarkan dinamika sosial dan keagamaan yang erat kaitannya dengan budaya Bali. Unsur-unsur budaya yang ditampilkan dalam cerpen ini sangat kaya dan menarik untuk diulas.

Dalam hal sistem bahasa dalam cerpen ini menunjukkan penggunaan istilah-istilah lokal seperti "tajen" dan "mamitra". Bahasa Bali tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sarana untuk menyampaikan nilai-nilai budaya. Istilah-istilah ini mencerminkan kebiasaan dan aktivitas sehari-hari masyarakat Bali, menambah kedalaman pada cerita dan memperkuat latar budaya.

Di sisi lain, cerpen ini juga menggambarkan adanya perbedaan pengetahuan dan pandangan antara I Beneh dan masyarakat desa. I Beneh yang pernah bersekolah di kota, meski tidak tamat, membawa pandangan baru yang kadang sulit diterima oleh masyarakat yang lebih konservatif. I Beneh dikenal memiliki pengetahuan mendalam tentang adat dan tradisi Bali, meskipun ia sering kali dianggap sombong dan keras kepala. Ia menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang makna penjor dalam perayaan Galungan, menganggap bahwa penjor yang tegak lurus lebih sesuai dengan makna kemenangan dharma atas adharma.

Reaksi masyarakat terhadap penjor buatan I Beneh menunjukkan adanya sistem organisasi sosial yang kuat. Prajuru adat dan para pengelingsir (tetua adat) segera mendatangi I Beneh untuk menegurnya. Mereka berusaha mempertahankan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun, menunjukkan betapa pentingnya menjaga keselarasan dalam komunitas. Adat dan tradisi tidak hanya sebagai warisan, tetapi juga sebagai identitas bersama yang harus dihormati.

Sistem peralatan hidup dan teknologi juga tergambar dalam proses pembuatan penjor. Bambu yang digunakan harus dipilih dengan cermat, dihiasi dengan janur, padi, dan kelapa. Semua bahan ini tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga simbolis. Proses pembuatan penjor memerlukan keterampilan khusus yang diwariskan dari generasi ke generasi, mencerminkan teknologi tradisional yang masih dipertahankan.

Dalam hal sistem mata pencaharian, cerpen ini sedikit banyak menyinggung tentang kehidupan agraris masyarakat Bali. Penggunaan bambu, janur, padi, dan kelapa dalam pembuatan penjor menunjukkan ketergantungan masyarakat pada hasil bumi. Hal ini juga menunjukkan betapa alam menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari dan ritual keagamaan mereka.

Sistem religi menjadi unsur yang sangat dominan dalam cerpen ini. Penjor dibuat sebagai bagian dari upacara Galungan, sebuah perayaan besar yang dirayakan setiap 210 hari sekali. Galungan merupakan hari kemenangan kebaikan atas kejahatan, dan penjor menjadi simbol dari kemenangan ini. Upacara ini melibatkan berbagai persembahan dan sembahyang, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat Bali.

Kesenian juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam tradisi ini. Pembuatan penjor melibatkan keterampilan seni yang tinggi. Hiasan janur yang dililitkan pada bambu, serta susunan padi dan kelapa yang indah, semuanya menunjukkan estetika yang sangat diperhatikan. Selain itu, gamelan yang berkumandang selama upacara menunjukkan betapa seni musik juga integral dalam upacara keagamaan di Bali. Seni dalam tradisi ini bukan hanya soal keindahan, tetapi juga makna religius yang mendalam.

Cerpen "Penjor" berhasil menggambarkan bagaimana sebuah tradisi bisa menjadi pusat dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Melalui tokoh I Beneh dan penjor tegak lurusnya, I Wayan Suardika menunjukkan bahwa meskipun tradisi itu penting, namun pemahaman dan interpretasi terhadapnya bisa berbeda. Perbedaan ini kadang menimbulkan konflik, namun juga membuka ruang untuk refleksi dan pemahaman yang lebih mendalam.

Akhir cerpen yang menunjukkan penjor buatan I Beneh tetap dicabut, menggambarkan kemenangan tradisi dan norma sosial yang telah mengakar kuat. Namun, di balik itu semua, tersirat pesan bahwa dialog dan pemahaman antar generasi dan latar belakang berbeda adalah hal yang penting. Tradisi harus dijaga, tetapi juga harus dipahami dengan konteks zaman yang terus berubah.

Cerpen ini berhasil menggambarkan kompleksitas budaya Bali melalui interaksi karakter dan deskripsi latar yang detail. Melalui konflik yang dialami I Beneh, kita diajak merenungkan tentang bagaimana tradisi dan perubahan bisa saling berinteraksi. Kritik sosial yang disampaikan melalui karakter I Beneh juga menunjukkan bagaimana sastra bisa menjadi cermin bagi realitas sosial.

Secara keseluruhan, "Penjor" tidak hanya mengisahkan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, tetapi juga menawarkan wawasan mendalam tentang budaya mereka. Melalui analisis antropologi sastra, kita bisa memahami betapa kaya dan kompleksnya warisan budaya yang dimiliki masyarakat Bali, serta tantangan yang mereka hadapi dalam menjaga tradisi di tengah perubahan zaman.

Dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, Suardika berhasil menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya toleransi dan pemahaman dalam menjaga harmoni budaya. Cerpen ini mengajak pembaca untuk melihat lebih dalam ke dalam makna simbol-simbol budaya dan menghargai keberagaman interpretasi yang ada.

"Penjor" adalah refleksi dari dinamika budaya dalam masyarakat Bali, sekaligus menjadi cermin bagi masyarakat lain yang juga menghadapi tantangan serupa. Melalui cerita ini, Suardika mengingatkan kita bahwa di balik setiap tradisi, ada makna yang lebih dalam yang patut dipahami dan dihargai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun