Tibalah kita pada ‘pukulan terkeras’! Pada ayat ke-135, frase ‘millah Ibrahim’ kembali muncul. Pada ayat ini, Al-Qur’an bercerita tentang ucapan kaum Yahudi dan Nasrani yang mengatakan bahwa kita akan mendapat petunjuk jika memeluk agama mereka. Terhadap seruan ini, Al-Qur’an menuntun Rasulullah saw (sebagai penerima pertama dari ayat-ayat Al-Qur’an) dan umatnya untuk menjawab dengan tegas dan – karena memang perlu – berpahit-pahit: “Katakanlah: ‘Tidak, melainkan (kami mengikuti) millah Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik.”
Istilah ‘millah Ibrahim’ menyedot perhatian kembali belakangan ini, terutama karena kasus yang menyeret nama Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Gerakan ini – meski secara formal dan legal sudah bubar – disinyalir hanya nama baru dari dua gerakan sebelumnya, yaitu Komunitas Millah Abraham (Komar) dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Yang terakhir ini adalah sebuah aliran keagamaan yang sudah dinyatakan sesat dan terlarang. Pemimpinnya, yaitu Ahmad Moshaddeq, telah menyatakan diri bertaubat dan menjalani hukuman kurungan penjara selama beberapa tahun. Meski demikian, pimpinan Gafatar sendiri tidak malu-malu menyatakan bahwa Moshaddeq adalah guru spiritual mereka. Dalam wawancaranya di Majalah Gatra, Mahful Muis Tumanurung, salah seorang anggota dewan pendiri Gafatar, menganggap masalah klaim Moshaddeq sebagai nabi dan mesias itu cuma masalah keyakinan yang tidak perlu dipermasalahkan. Karena itu, sangat bisa dipahami jika sebagian kalangan meyakini bahwa Moshaddeq sebenarnya tidak pernah bertaubat.
Di kalangan liberalis-pluralis, istilah ‘Abrahamic faiths’ atau ‘Abrahamic religions’ sudah biasa digunakan, bahkan istilah yang kedua dipergunakan secara luas dalam situs JIL seolah-olah sudah disepakati secara konsensus. Secara sederhana, yang dimaksud dengan Abrahamic religions itu adalah Islam, Yahudi dan Nasrani. Para penggiat pluralisme kerap terlihat begitu berambisi ‘menyatukan’ ketiga agama ini, misalnya dengan mengambil dalil dari ketiga kitab rujukannya, yaitu Al-Qur’an, Taurat dan Bibel. Dalam hal ini, tak ada bedanya dengan Ahmad Moshaddeq yang dikenal juga suka berdalil dengan ketiga kitab tersebut.
Bagaimana pun, Abrahamic religions tidaklah sama dengan millah Ibrahim. Dari segi bahasa, penerjemahan yang tepat dari “Abrahamic religions” bukanlah “agama Ibrahim”, melainkan “agama-agama yang Abraham-is”. Tentu saja, kita perlu mengurai kembali apa yang dimaksud dengan “Abraham-is” ini, dan kita perlu juga mendudukkan perbedaan yang tajam antara “agama” dengan “agama-agama”. Apakah Nabi Ibrahim as itu menganut satu agama atau lebih? Bagaimana Nabi Ibrahim as bisa dikatakan ‘mewariskan’ tiga agama jika sebenarnya agama beliau hanya satu?
Jika kita hendak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘millah Abraham’ versi Moshaddeq dan ‘Abrahamic religions’ versi JIL itu sama saja dengan ‘millah Ibrahim’ yang dibicarakan oleh Al-Qur’an, maka kita harus menghadapi masalah yang sangat fundamental. Sebab, Moshaddeq dan kalangan liberalis berusaha ‘mengikuti jejak’ Nabi Ibrahim as dengan menyatukan tiga agama, padahal Al-Qur’an (yaitu pada ayat ke-135 dalam Surah Al-Baqarah di atas) justru menyatakan bahwa kitalah (yaitu umat Muslim) yang merupakan pengikut millah Ibrahim, dan bukan mereka! Umat Muhammad saw adalah penerus sah millah Ibrahim, bukan Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, jika ingin kembali pada millah Ibrahim, ikutilah agama Islam, tanpa perlu mencampuradukkannya dengan Yahudi dan Nasrani.
Ingatan saya pun terbawa pada saat Idul Adha yang lalu, ketika situs Rappler meminta saya menulis sebuah artikel tentang ibadah Haji. Pada saat yang bersamaan, Rappler juga meminta artikel tentang topik yang sama dari Ulil Abshar Abdalla. Ketika menulis, saya tidak tahu apa yang Ulil tulis, dan demikian pula sebaliknya. Tapi qadarullaah, ternyata artikel yang saya tulis tepat membantah artikel Ulil tersebut.
Dalam artikelnya yang berjudul “Makna Haji: Belajar Toleransi dan Hargai Masa Lampau”, Ulil menyebut Nabi Ibrahim as sebagai ‘bapak’ dari tiga agama monoteis besar, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Ulil juga mengatakan bahwa ibadah Haji semestinya mengingatkan kita bahwa Islam, Yahudi dan Kristen memiliki ‘nenek moyang teologis’ yang sama, dan karenanya, umat Muslim harus mengulurkan tangan untuk terus berdialog dengan Yahudi dan Kristen.
Berlawanan dengan Ulil, dalam artikel “Makna Haji: Tak Ada Islam Tanpa Berhaji”, saya sejak paragraf pertama sudah menyatakan bahwa klaim Yahudi dan Nasrani atas figur Nabi Ibrahim as itu absurd belaka. Alasannya sederhana saja: meski Yahudi dan Nasrani mengklaim Nabi Ibrahim as, namun mereka tidak benar-benar mengikutinya. Sunnah yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim as – yang juga berkaitan dengan ibadah Haji – seperti qurban tidak mereka lanjutkan. Baik Yahudi dan Nasrani sama-sama mengakui peristiwa penyembelihan, namun mereka bersikeras bahwa yang hendak disembelih adalah Nabi Ishaq as, bukan Nabi Isma’il as. Terlepas dari siapa yang tadinya akan disembelih, kenyataannya tidak berubah: umat Muslim-lah yang meneruskan sunnah ber-qurban, bukan Yahudi dan Nasrani.
Hal yang sama juga pernah menjadi topik Khutbah Jum’at yang saya sampaikan beberapa hari setelah Idul Adha. Kita tidak perlu ‘pertolongan’ kaum Yahudi dan Nasrani untuk mengikuti millah Ibrahim, sebab kita lebih mengenal Nabi Ibrahim as ketimbang mereka, dan jelas-jelas umat Muslim dan hanya Muslim-lah yang meneruskan sunnah beliau.
Sikap yang kurang lebih sama kembali saya sampaikan dalam artikel saya, “Soal Ucapan Selamat Natal: Menanti Toleransi yang Jujur”, yang saya tulis untuk situs Rappler dan dimuat sehari sebelum Natal. Dalam artikel ini, saya mengkritik sebagian orang yang begitu ngotot memaksa umat Muslim untuk menyampaikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani dengan alasan bahwa Hari Natal pada hakikatnya adalah ‘Hari Maulid Nabi ‘Isa as’. Menurut saya, pendapat ini sangat jauh dari ilmiah, absurd dan tidak pantas muncul dari pemikiran seorang Muslim. Sebab, andaikan memang benar 25 Desember adalah hari kelahiran Nabi ‘Isa as, dan anggaplah kita memang bersepakat merayakannya, lantas mengapa kita harus menyampaikan ucapan selamat kepada kaum yang telah menyimpangkan ajaran Nabi ‘Isa as? Memang benar, umat Kristiani mengklaim figur Nabi ‘Isa as, namun mereka bukan pengikut sejatinya. Kita, umat Muslim, adalah penerus sejati dari ajaran tauhid, yang merupakan ajaran semua Nabi dan Rasul. Kitalah penerus millah Ibrahim, yang membenarkan ajaran Nabi Musa as, Nabi ‘Isa as, Nabi Muhammad saw, dan para Nabi lainnya.
Fenomena munculnya aliran sesat dan golongan pluralis yang sama-sama mengklaim millah Ibrahim – dan banyaknya orang yang tertipu oleh mereka – menunjukkan bahwa PR intelektual kita masih sangat banyak. Rupa-rupanya masih banyak Muslim yang belum mengenal agamanya sendiri, atau gamang dengan agamanya sendiri.