Mohon tunggu...
Akmal Husaini
Akmal Husaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menjaga kebersihan

kebersihan sebagian dari iman. Karena itulah jadilah pribadi yang bersih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Radikalisme, Teknologi, dan Indonesia Emas

21 Juli 2024   10:50 Diperbarui: 21 Juli 2024   10:53 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu hal yang paling dikhawatirkan di Indonesia adalah radikalisme. Paham kekerasan ini merupakan akar dari paham terorisme. Aksi terorisme hingga saat ini masih menjadi aksi yang paling diantisipasi oleh seluruh dunia, termasuk Indonesia. Meski saat ini aksi terorisme sudah mengalami penurunan secara drastic, apakah bibit terorisme itu sudah hilang? Jawabnya tidak. Bibit terorisme itu masih ada dan menyebar melalui kecanggihan teknologi. Dan ironisnya, semua orang tanpa sadar mempersilahkan dirinya terpapar bibit terorisme yang disebut radikalisme itu sendiri.

Bibit radikalisme tidak bisa dilihat dari berapa banyak jumlah aksi terorisme. Beberapa tahun lalu, pemerintah telah membubarkan HTI, pemerintah telah menangkap para petinggi Jamaah Islamiyah, nyatanya aksi terorisme masih ada. Nyatanya penyebaran propaganda radikalisme masih tetap ada. Lalu, beberapa waktu lalu, JI telah menyatakan bubar dan kembali ke pangkuan NKRI. Apakah hal ini merupakan konfirmasi bibit radikalisme hilang? Tentu tidak.

Ingat, organisasi teroris bisa berkamuflase dan bermetamorfosa. Jika melihat sejarahnya, hal tersebut bisa terjadi. Dulu dari JI, muncul JAT, muncul MIT, lalu muncul JAD dan masih banyak lagi. Semuanya itu sumbernya sama, yaitu dari radikalisme. Dan bibit radikalisme itu sendiri kini telah bermetamorfosa menyesuaikan perkembangan zaman.

Salah satu bibit radikalisme itu adalah kebencian. Hate speech yang terus bermunculan di media sosial, bisa dikatakan bagian dari radikalisme dalam bentuk sehari-hari. Karena kebencian yang membabi buta, logika menjadi tidak ada gunanya. Tidak ada bedanya ketika seseorang atau kelompok tertentu merasa paling suci, dia akan mengkafirkan orang lain. 

Dan setelah melabeli orang lain dengan kafir, mereka bisa melakukan tindakan intoleran. Ironisnya, tindakan intoleran tersebut dimaknai sebagai perbuatan menegakkan agama Allah. Sungguh sangat disayangkan.

Pada titik inilah, kita semua harus sadar. Provokasi kebencian yang bisa mengarah pada radikalisme tersebut, terus menyebar melalui kecanggihan teknologi. Pesan-pesan yang muncul di wag, atau media sosial lainnya, jika kita lihat sekarang ini banyak sekali didominasi pesan kebencian. 

Hanya karena persoalan suka tidak suka, antar sesama bisa menebar kebencian di media sosial. Hanya karena berbeda pilihan politik, antar sesama bisa saling menghasut dan melakukan provokasi, untuk tidak memilih paslon tertentu. Dan yang mengerikan adalah hanya karena berbeda agama, bisa memprovokasi melakukan tindakan kriminal, hanya karena anggapan sesat atau kafir.

Sadar atau tidak, semuanya tersebut menyebar melalui smartphone kita. Dan sadar atau tidak, semuanya itu yang menggerakkan adalah jari kita. Dan jari-jari ini tidak akan bisa mengetik pesan kebencian, jika pikiran kita tidak terpapar radikalisme. 

Ini menunjukkan, propaganda radikalisme yang disebar melalui media sosial oleh kelompok radikal, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat. Memang tidak melakukan tindakan teror, tapi bibit radikalisme itu masih menyebar dan sewaktu-waktu bisa menjadi aksi teror, jika provokasi dan pesan kebencian terus mengemuka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun