Mohon tunggu...
Akmal Husaini
Akmal Husaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menjaga kebersihan

kebersihan sebagian dari iman. Karena itulah jadilah pribadi yang bersih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Raya Ketupat, Sedekah dan Kearifan Lokal

21 April 2024   11:00 Diperbarui: 21 April 2024   11:09 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kearifan Lokal - jalandamai.org

Setelah menjalani ibadah di bulan Ramadhan selama sebulan penuh, umat Islam tentu saja merayakan hari Raya Idul Fitri setelahnya. Bagi umat Islam di Nusantara juga merayakan hari raya ketupat atau lebaran ketupat tepat tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri. Namun sayangnya tradisi lebaran ketupat yang sudah dirayakan oleh umat muslim Nusantara selama berabad lamanya menjadi topik perbincangan, pasalnya tradisi tersebut dibenturkan dengan tradisi di zaman Nabi Muhammad SAW dan sahabat, bahwa tidak ada hari raya selain Idul Fitri dan Idul Adha.

Hari raya ketupat merupakan produk masyarakat muslim Indonesia sejak masa pemerintahan kerajaan Demak. Sunan Kalijaga sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan ketupat, menjadikannya sebagai budaya dan filosofi Jawa yang berbaur dengan nilai keislaman. Ketupat merupakan kependekan dari Ngaku Lepat (mengakui kesalahan), dan terbuat dari janur yang kependekan dari Jatining Nur (simbol hati nurani).

Hari raya ketupat merupakan wujud rasa syukur setelah menjalani puasa Ramadhan sebulan penuh dan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal. Oleh karena itu, Hari raya ketupat akan terasa sangat istimewa bagi muslim yang telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan puasa Syawal. Ini menjadi bukti bahwa mereka yang telah menjalankan puasa wajib, zakat fitrah, dan melafadzkan takbir sepanjang awal bulan Syawal, lalu melanjutkan dengan puasa sunnah Syawal sebagai pecinta Nabi Muhammad SAW karena menghidupkan sunnahnya dan ingin menjadi muslim yang baik dengan mengakui kesalahan yang telah usai. Rangkaian kegiatan tersebut menunjukkan hakekat takbir yang sebenarnya, di mana hanya Allah lah Yang Maha Besar. Manusia hanyalah makhluk kecil yang memiliki banyak kesalahan, yang sudah sepatutnya memohon ampun pada Allah dan saling memaafkan satu sama lain.

Sedekah estafet merupakan ikon Hari raya ketupat, dimana setiap keluarga membuat ketupat dalam wadah besar lengkap dengan menu makanan pelengkapnya yang beragam, kemudian dimakan dan disedekahkan kepada kerabat dan penduduk kampung sekitarnya. Di beberapa daerah ketupat disajikan dalam bentuk gunungan dan diarak keliling kampung, semacam acara gerebekan. Gunungan ketupat itu nantinya akan jadi rebutan warga.

Nilai-nilai Maqashid Syari'ah (tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruhan hukum-Nya) juga terkandung dalam Perayaan Hari Raya Ketupat;

Pertama, hifdzu al-din, mengimplementasikan dan menegakkan sendi keislaman melalui sedekah, silaturahmi, dan menjalankan sunnah Rasullullah SAW (puasa Syawal). 

Kedua, hifdzu al-mal, menghidupkan perekonomian masyarakat sekitar dengan adanya kebutuhan penyediaan ketupat.

Ketiga, hifdzu al-nafs, setiap insan mempunyai kesempatan untuk berbagi. Minimal pada hari itu, selain tidak ada yang kelaparan dalam satu kampung itu juga terdapat asas persamaan, kaya-miskin semua ikut makan ketupat bersama.

Keempat adalah hifdzu al-aql, pada hari itu otak manusia ternutrisi dengan baik, sehingga mampu memproteksi akal.

Apa yang dipaparkan diatas bisa kita simpulkan bahwa hari raya ketupat bukanlah agenda yang keluar dari ajaran Islam seperti yang dituduhkan oleh sebagian saudara sesama muslim. Dalam salah satu kaidah "al-Muhafadhotu 'ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah" (menjaga tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik).

Esensi sedekah, mempererat ukhuwah, dan nilai-nilai Maqashid Syari'ah yang terkandung dalam Hari raya ketupat perlu kita lestarikan bersama dengan merayakannya. Mari kita maknai kearifan lokal dengan segala esensi yang mempersatukannya dengan bijak tanpa harus menghujat. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun