Mohon tunggu...
Akmal Husaini
Akmal Husaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menjaga kebersihan

kebersihan sebagian dari iman. Karena itulah jadilah pribadi yang bersih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenali Bahaya Radikalisme, Jangan Biarkan Menyebar ke Lembaga Pemerintahan

9 Oktober 2021   08:37 Diperbarui: 9 Oktober 2021   08:48 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita terpaparnya pegawai negeri sipi oleh paham radikalisme bukanlah hal baru. Meski bukan hal baru, nyatanya masih saja ada, media yang memberitakan terkait hal ini. Padahal kita tahu, seseorang yang bekerja menjadi aparatur sipil negara (ASN) merupakan seseorang yang terpelajar, mempunyai logika yang kuat, dan punya kemampuan untuk melakukan cek ricek terhadap sebuah informasi. Kenyataannya, ada saja pegawai negeri sipil yang ditangkap anggota Densus 88, atas dugaan keterlibatan dengan jaringan terorisme. Bahkan, ada yang ditangkap karena terbukti merencanakan peladakan bom, atau aktifitas tindak pidana terorisme.

Pada awal bulan lalu, Densus 88 menangkap seseorang yang diduga terlibat jaringan terorisme. Seseorang tersebut ternyata bekerja salah satu BUMN yang bergerak di bindang farmasi. Dan penangkapan ini membuat sebagian terkejut. Pasalnya, kok masih saja ada pegawai BUMN terpapar radikalisme dan menjadi anggota jaringan terorisme. Kok bisa? Mungkin ini bisa jadi pertanyaan semua orang. Bagaimana bisa seseorang yang tingkat literasinya bagus, tapi bisa terpapar radikalisme.

Tentu banyak faktor yang melatarbelakangi. Seringkali seseorang jika disodori sentimen keagamaan, akan langsung mudah percaya dan mengesampingkan pandangan yang lain. Jika seseorang menyatakan hal ini haram, dengan serta merta langsung percaya. Terlabih jika diyakinkan dengan ayat suci, langsung percaya seraturs persen. Dalam konteks ini bukan ayat sucinya yang salah. Bukan pula ajaran agamanya yang salah. Tapi cara pandang seseorang terhadap ayat atau nilai-nilai keagamaan yang berbeda dan cenderung salah.

Contohnya yang paling sering 'dibelokkan'adalah pemahaman tentang jihad. Jihad pada dasarnya merupakan upaya untuk perang melawan hawa nafsu, perang melawan diri sendiri. Namun seringkali hal ini disalahgunakan bahwa jihad itu harus dengan cara membunuh. Alasannya, ketika kemerdekaan ada anjuran jihad untuk melawan penjajah. Ketika seseorang mengartikan secara mentah-mentah tanpa melihat konteksnya, berpotensi akan membuat kesalahan pemahaman. Resolusi jihad keluar karena pada dasarnya setiap manusia dilahirkan sebagai manusia yang merdeka. Perang yang keluar ketika itu adalah perang untuk mendapatkan kemerdekaan yang telah diberikan Tuhan. Jangan kemudian karena alasan tidak suka, berbeda keyakinan, kitab isa mendiskriminasi dengan alasan jihad. Tentu hal ini sangat salah.

Pemahaman yang salah inilah seringkali melanda banyak orang, termasuk para pegawai negeri sipil. Akibatnya, akal dan logika yang telah diberikan Tuhan, tanpa disadari tertutup karena tidak digunakan. Logika yang melekat dalam dirinya, tertutup oleh kebencian dan pandangan merasa paling benar. Mari kita lihat yang terjadi saat ini. Banyak orang begitu mudah menebar kebencian hanya karena merasa paling benar. Banyak orang menyatakan sesat atau kafir, hanya karena merasa dirinya paling tahu ajaran agama. Dan karena merasa bagian dari mayoritas, mereka dengan semena-mena melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Dan ironisnya, praktek tidak manusiawi tersebut ditutupi dengan pemahaman agama yang salah.

Karena itulah, mari kita semua menjadi pribadi yang obyektif, tapi tetap logis dan mempunyai pemahaman agama, kearifan lokal dan kebangsaan. Jika kita bisa memadukan, diharapkan akan bisa menjadi generasi penerus yang tidak lupa akan sejarah. Jika kita menjadi pegawai negeri sipil, diharapkan akan tetap menjadi pelayan publik, tapi tetap toleran, mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal dan tidak radikal. Karena radikalisme terbukti memberikan dampak negative, semestinya paham menyesatkan ini harus dijauhi. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun