Dalam beberapa hari terakhir ini, polemik penghapusan frasa agama mengemuka, seiring rencana pembahasan peta jalan pendidikan. Dalam draft peta jalan yang diinisiasi kementerian pendidikan tersebut, tidak dituliskan frasa agama. Akhirnya, publik mengartikan yang tidak-tidak. Menteri pendidikan Nadiem Makarim pun telah menyatakan akan kembali memasukkan frasa tersebut.Â
Pemerintah menegaskan tidak ada rencana menghilangkan pendidikan agama dalam peta jalan, seperti yang selama ini dituduhkan. Karena bagi pemerintah, pendidikan agama merupakan dasar dan bersifat final tidak bisa dihilangkan atau digantikan.
Contoh diatas merupakan hal yang perlu kita jadikan pembelajaran bersama. Agama merupakan hal yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia. Sensitifitas itu bisa mengarah pada hal yang bersifat positif ataupun negatif. Positif maksudnya jika ada pemahaman yang salah bisa diluruskan, bisa saling belajar untuk saling mengerti dan memahami. Negatif jika agama tersebut dijadikan alat untuk memecah toleransi yang telah ada.
Polemik tidak adanya frasa agama, bisa berpotensi menjadi pemicu yang sifatnya negatif, jika kita tidak membekali dengan literasi. Pahami dulu kronologisnya, lihatnya dari beberapa sisi, lalu gunakan logika kalian untuk mencerna informasi yang berkembang tersebut. Coba pikirkan dengan sungguh-sungguh.Â
Mungkinkah pendidikan agama dihapus dalam kurikulum pendidikan di Indonesia? Semua orang tentu akan menjawab tidak mungkin. Kenapa? Karena Indonesia adalah negara yang beragama, yang mengakui banyak agama, dan menjadikan agama sebagai dasar dari Pancasila. Terbukti sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jika kita mencerna lebih dalam lagi, tidak ada satupun agama yang ada di negeri ini, mengajarkan hal-hal yang sifatnya negatif. Tidak ada agama yang mengajarkan untuk saling membenci, saling mencaci, saling menebar kejelekan atau memprovokasi untuk melakukan perbuatan intoleran. Betul mayoritas masyarakat Indonesia memilih menjadi muslim, tapi keberadaan mayarakat yang non muslim tidak boleh dikesampingkan. Karena itulah para pendahulu memilih Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bersifat universal.
Memahami agama di era perkembangan teknologi yang begitu pesat ini, perlu dibarengi dengan penguatan literasi. Kenapa? Karena di era teknologi ini, banyak sekali bermunculan hoaks alias berita bohong, yang bisa membuat kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan tidak. Apalagi jika hoaks tersebut dikatakan oleh tokoh tertentu, atau dihubungkan dengan ayat-ayat suci, membuat banyak orang langsung mempercayainya. Dan jika kita tengok kebelakang, terjadi di beberapa daerah antar sesama bisa saling hasut, saling provokasi, bahkan saling bunuh hanya karena informasi yang tidak benar.
Mari kita sudahi polemik terkait hilangnya frasa agama tersebut. Pemerintah menegaskan tidak akan ada penghapusan, dan tidak akan menghilangkan pendidikan agama. Titik. Tak perlu lagi dikembangkan dengan ini itu. Mari kita tetap berpikir positif, inspiratif tapi tetap kritis. Mari kita tetap saling berdampingan dengan tetap menghargai keberagaman. Jangan terus mencari kesalahan, hanya karena persoalan yang belum tentu benar.
Memadukan agama dan literasi menjadi penting di era sekarang. Dan ingat, perkembangan Indonesia tak bisa dilepaskan dari agama dan literasi. Agama telah membuat masyarakat Indonesia berjalan pada rel nya. Literasi telah membuat lahirnya organisasi-organisasi modern yang bisa mengantarkan pada kemerdekaan. Sekali lagi, jangan mudah terprovokasi. Salam literasi dan toleransi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI