Sebagai generasi yang kritis, memang kita semestinya tidak mudah percaya. Terlebih dengan maraknya hoaks dan provokasi kebencian di media sosial, menuntut kita harus berpikir kritis dan tidak mudah percaya. Pada titik inilah diperlukan penguatan literasi, agar kita punya pemahaman informasi yang untuk dan obyektif.
Namun, sikap kritis ini tentu harus dilakukan pada tempatnya dan obyektif. Artinya, kita harus melihat aspek-aspek yang lain, agar tidak muncul pandangan subyektif.
Dalam konteks mencegah propaganda radikalisme, tentu kita harus bersikap kritis. Kita harus membekali diri dengan informasi yang utuh. Kenapa? Karena kelompok radikal ini seringkali mereduksi dan memaknai istilah-istilah yang bisa menciderai arti sessungguhnya.
Misalnya saja, ketika maraknya aksi bom bunuh diri, dimaknai sebagai berjuang menegakkan agama. Dan meledakkan diri dimaknai sebagai jihad. Padahal, jihad harus dilihat sesuai dengan konteksnya. Jihad era Rasulullah SAW, mungkin akan berbeda dengan jihad era kemerdekaan, ataupun era milenial seperti sekarang ini.
Kelompok ini selalu membangun mind set seseorang rasa tidak saling percaya. Orang yang berbeda pandangan dianggap sesat, bahkan kafir. Padahal, yang berhak untuk menilai sesat atau tidak, hanyalah Allah SWT.
Ketika rasa tidak saling percaya yang dibangun, potensi terjadinya konflik dan perilaku intoleran akan bisa saja terjadi. Semestinya, dalam konteks keberagaman, yang harus dibangun adalah rasa saling menghargai dan menghormati, bukan rasa saling tidak percaya.
Dalam kehidupan bernegara, jika semangat yang dibangun adalah rasa tidak saling percaya kepada pemimpin terpilih, maka negeri ini akan selalu saja diwarnai konflik. Seorang pemimpin memang harus dikritik sebagai bentuk pengawasan dan evaluasi.
Segala kebijakan yang dibangun, juga harus dikiritisi. Namun kritik yang dibangun harus didasarkan pada data, dan analisa yang kuat. Bukan didasarkan pada kebencian semata. Karena kritik yang didasarkan pada kebencian, yang lahir adalan intoleransi.
Ingat, pemimpin yang duduk di pemerintahan saat ini, adalah pemimpin hasil proses demokrasi lima tahunan. Suka tidak suka, mereka terpilih dari proses demokrasi yang dibenarkan oleh undang-undang. Kita harus mempercayai mereka sebagai pemimpin.
Namun, kita juga harus mengingatkan jika memang para pemimpin ini melakukan kesalahan. Agar kritik ini berjalan efektif, maka harus dilakukan dengan cara yang cerdas.
Unjuk rasa merupakan bentuk kritik yang lumrah dalam era demokrasi. Semua negara memperbolehkan. Di Indonesia sendiri, unjuk rasa dijamin oleh undang-undang karena merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat.