Seperti kita tahu, di awal tahun 2020 kemarin, banjir besar melanda ibu kota Jakarta, sebagian Jawa Barat dan Banten. Tidak hanya membuat sejumlah kerusakan, tapi juga membuat adanya korban jiwa ataupun korban luka.
Banjir kali ini sepertinya merupakan banjir siklus lima atau enam tahunan. Curah hujan yang terjadi pun diklaim yang terbesar jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Tentu saja ada hikmah dibalik semua bencana alam yang terjadi. Namun banyak orang yang menyempatkan diri saling nyinyir, saling mencari kejelekan, dan memanfaatkan untuk kepentingan politik dibalik kesedihan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Apalagi perdebatan antara penyebab banjir antara pemerintah pusat dan pemprov DKI Jakarta, membuat para simpatisan dibawah saling kritik, dan menebar kebencian.
Praktek semacam itu sebenarnya tidak perlu terjadi. Bencana semestinya menjadi magnet untuk saling simpati, bukan saling membenci. Saling membantu, bukan saling mencari kesalahan atau kejelekan.
Boleh mencari penyebab persoalan, boleh fokus pada penanangan korban, tapi komitmen untuk mengantisipasi atau mencari solusi agar banjir tidak berulang, harus dilakukan semua pihak. Dari elemen masyarakat hingga para pemangku kebijakan, harus mempunyai komitmen yang sama untuk mengatasi banjir.
Ingat, potensi terjadinya cuaca ekstrem yang bisa terjadi hingga akhir Februari atau awal Maret. Prediksi dari BMKG ini harus menjadi perhatian bersama.
Tak perlu lagi saling mencari kesalahan atau menebar kebencian. Mari saling sinergi satu dengan yang lain, agar segala bentuk potensi bencana bisa kita minimalisir bersama.
Sejarah telah membuktikan, dengan bersatu untuk saling membantu, maka beban para korban akan semakin ringan. Kita juga punya pengalaman menghadapi bencana di berbagai daerah.
Jika diantara masyarakatnya saling mencari kesalahan, yang terjadi adalah akan melahirkan bibit kebencian ditengah dampak bencana yang mungkin telah merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Dan sadar atau tidak, bibit kebencian itu telah ada dalam beberapa tahun terakhir. Jauh sebelum tahun politik, kelompok intoleran dan radikal telah menebar provokasi radikalisme yang diselimuti nuansa kebencian kepada kelompok tertentu atau kepada pemerintah.
Beberapa saat setelah terjadi bom, biasanya dunia maya banyak sekali dihiasi pesan-pesan kebencian. Ketika masuk tahun politik kemarin, kebencian semakin masif dan dilakukan oleh masyarakat biasa hingga oknum elit politik. Dan ketika bencana pun, masih tak luput dari penyebaran pesan kebencian. Ada apa dengan kita?
Bukankah kita mempunyai budaya yang kuat untuk saling membantu? Ketika semangat untuk saling meringankan beban para korban ada dalam diri kita, semestinya semangatnya menolong saja.
Tak usah memikirkan latar belakangnya korban yang ditolong. Ketika semangat ikhlas untuk membantu itu ada, mungkin hal ini dipandang sebagai ibadah. Namun jika semangat menolong itu justru ada karena kepentingan tertentu, justru hanya akan melahirkan ketidaktulusan antar masyarakat.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H