Tak dipungkiri, anak dan remaja seringkali masih menjadi sasaran propaganda radikalisme. Rasa keingintahuan anak dan remaja justru disalahgunakan, untuk memasukkan bibit provokasi dan kebencian. Karena itulah, tidak sedikit anak-anak yang menjadi pelaku intoleransi dan terorisme.
Pada awal Juni 2019 yang lalu, pelaku percobaan bom bunuh diri di pos polisi Kartasura, masih remaja. Pelaku bom bunuh diri di Surabaya, juga dilakukan oleh anak dan remaja.Â
Upaya percobaan bom bunuh diri di gereja Katolik Santo Yosep, Medan pada Agusuts 2016, juga masih dilakukan oleh remaja. Bahkan, WNI yang sempat bergabung dengan ISIS di Suriah, juga ada yang membawa anak-anaknya untuk dilatih menjadi tentara ISIS.
Kasus-kasus diatas, harus menjadi perhatian bersama, agar anak-anak kita dan generasi penerus tidak terpapar bibit radikalisme. Apalagi di era kemajuan teknologi ini, propaganda radikalisme terus menyusup melalui kecanggihan teknologi, dengan berbagai macam bentuknya.Â
Anak dan remaja semakin rentan, jika tidak mendapatkan kasih sayang di lingkungan keluarganya. Orang tua harus benar-benar bisa menjadi orang tua sekaligus teman. Sehingga anak akan bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan di dalam keluarganya.
Lalu, bagaimana strateginya agar anak terhindari dari pengaruh radikalisme? Keluarga harus bisa menjadi sekolah, tempat bermain, tempat berekspresi dan segala hal yang dibutuhkan anak. Keluarga harus bisa menjadi tempat untuk menanamkan bibit toleransi, bibit saling menghargai antar sesama.Â
Pembentukan karakter sejak dini harus dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Kenapa banyak anak-anak yang menjadi korban radikalisme, karena pada umumnya orang tua mereka sudah terpapar radikalisme.Â
Ideologi tidak baik itulah yang kemudian ditularkan ke anak-anaknya. Orang tua juga harus paham dengan ajaran agama. Karena radikalisme akhir-akhir ini seringkali mendompleng dan menyalahgunakan nilai-nilai keagamaan. Kalau perlu, orang tua harus  bekerja sama dengan pihak-pihak dipercaya bisa membantu memberikan pemahaman agama yang benar.
Berikutnya yang juga penting adalah, orang tua harus bisa memastikan anak-anaknya sekolah di tempat yang tepat. Sekolah, pesantren, atau lembaga pendidikan lain, bisa menjadi alternative bagi anak untuk mendapatkan pendidikan di luar rumah.Â
Namun, sekolah juga harus bisa memberikan pendidikan antiradikalisme kepada murid-muridnya. Guru-guru juga harus bisa menanamkan karakter yang benar kepada siswa siswinya.
 Guru harus bisa mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal, nilai-nilai keindonesiaan, dan pemahaman agama yang benar, agar anak bisa menyerap secara utuh, tentang karakter Indonesia yang toleran, menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.