Mohon tunggu...
Akmal Husaini
Akmal Husaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menjaga kebersihan

kebersihan sebagian dari iman. Karena itulah jadilah pribadi yang bersih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gotong Royong Melawan Radikalisme

19 Juli 2019   08:06 Diperbarui: 19 Juli 2019   08:09 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa masih membicarakan radikalisme? Karena radikalisme terus berubah menyesuaikan perkembangan zaman. Radikalisme terus mendompleng hal-hal yang menjadi perhatian publik. 

Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, radikalisme bisa menyebar kemana saja dalam waktu yang singkat. Jika penyebarannya terus dilakukan dan tidak ada antisipasi, dikhawatirkan akan masuk dalam setiap pemikiran masyarakat, mulai dari anak-anak hingga dewasa.

Sebenarnya jumlah orang yang terpapar radikalisme, dengan orang yang tidak, jumlahnya lebih banyak yang tidak. Jumlah orang mengedepankan nilai toleransi, jumlahnya lebih banyak dibanding yang intoleran. 

Persoalannya, ketika radikalisme sudah masuk ke dunia maya, semua orang bisa mengaksesnya. Banyak orang telah terpapar tanpa menyadarinya. Ujaran kebencian misalnya. Saat ini mudah sekali seseorang menyatakan kebenciannya, dan mengunggahnya ke media sosial.

Akibatnya, banyak orang yang saling memutuskan tali persahabatan, tali silaturahmi, hanya karena berbeda pandangan. Hanya karena terprovokasi pesan kebencian, seseorang bisa marah tak terkendali, bahkan ada juga yang melakukan persekusi. 

Kebencian yang tak terkendali, akan melahirkan perilaku intoleran. Dan intoleransi merupakan bibit dari radikalisme. Ujaran kebencian yang terus menerus, bisa menyebabkan perilaku radikal, yang mengarah pada terorisme.

Karena telah terpapar bibit radikal dan dimanjakan dengan kemajuan teknologi, interaksi dalam kehidupan nyata akan berkurang. Banyak yang merasa dirinya paling benar, dan menilai orang yang berbeda paham sebagai pihak yang salah. 

Muncullah kemudian label kafir. Yang berbeda dianggap kafir. Yang sepaham dianggap benar. Padahal, Indonesia adalah negara dengan tingkat keberagaman sangat tinggi. Artinya, perbedaan sejatinya melekat pada diri setiap manusia di Indonesia. Ketika perbedaan ini terus dipersoalkan, disitulah bibit radikalisme akan bisa muncul.

Mari kita kembali pada budaya lokal. Kita punya budaya yang sangat toleran, yang sangat menghargai keragaman, yang sangat mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Mari kita sebarluaskan kearifan lokal ini melalui kecanggihan teknologi. Ceritakan tentang budaya lokal di media sosial. Viralkan nilai-nilai tentang toleransi. 

Hal ini penting dilakukan, agar generasi milenial juga mengenal budaya leluhurnya. Karena generasi milenial banyak menjadi sasaran dari propaganda radikalisme di media sosial.

Gotong royong melawan radikalisme bisa dilakukan dengan berbagai cara. Intinya, semua pihak harus berkomitmen untuk bertutur dan berperilaku yang menyejukkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun