Mungkin salah satu persoalan utama kita saat ini adalah maraknya ujaran kebencian dan berita bohong alias hoax. Penyebaran keduanya telah menjadi persoalan hampir di semua negara, termasuk Indonesia. Penyebaran keduanya telah memanfaatkan kemajuan media sosial, yang saat ini banyak digemari anak muda.Â
Di banyak negara termasuk Indonesia, akibat hoax dan hate speech ini, telah membuat banyak masyarakat saling membenci, mencaci, bahkan berani melakukan persekusi. Padahal informasi yang diyakini benar tersebut adalah informasi yang bohong.
Hoaks ini memang banyak banget motif dan tujuannya. Tapi berdasarkan penelitian masyarakat telekomunikasi Indonesia (Mastel) pada 2017, hoaks lebih banyak digunakan untuk tujuan politik. Nilainya hingga 91,80 persen.Â
Riset ini sepertnya menegaskan begitu kuatnya penyebaran hoaks di Indonesia ketika memasuki tahun politik. Kenapa hoaks yang dipilih? Karena masyarakat Indonesia tingkat literasinya masih rendah.Â
Bahkan menurut data Unesco, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen saja. Ini artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang saja yang rajin membaca. Jika jumlah masyarakat Indonesia sekitar 250 juta, berarti hanya 250 ribu orang saja yang rajin membaca seluruh Indonesia.
Dan jika kita melihat dari pengalaman yang sudah, ketika hoaks terus disebar, masyarakat yang terprovokasi, juga langsung aktif menyebarkan informasi tersebut tanpa memastikan dulu, apakah informasi tersebut benar atau tidak.Â
Perilaku sharing sebelum saring harus diakui masih menjadi perilaku buruk yang masih dijaga diantara kita semua. Akibatnya, tidak sedikit konflik terjadi di tengah masyarakat karena terprovokasi oleh berita bohong dan ujaran kebencian.Â
Terlebih jika ada tokoh-tokoh yang ikut menjadi korban hoaks dan menyebarkan ke publik, membuat potensi perpecahan semakin terbuka.
Mari kita jadikan pembelajaran pada pilkada DKI Jakarta, mari kita belajar dari kasus hoaks Ratna Sarumpaet, dan mari kita belajar dari kasus hate speech yang memicu terjadinya pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai, dan mari kita belajar dari kasus yang lain.Â
Hoaks dan ujaran kebencian terbukti mampu mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang selama ini terus dipertahankan. Jangan sampai kita menjadi korban adu domba.Â
Jangan sampai kita menjadi korban provokasi, hanya karena kepentingan politik atau kepentingan yang lain.
Apapun alasannya, menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian tidak dibenarkan. Selain merupakan bagian dari tindak pidana, juga tidak dianjurkan dalam ajaran agama. Dalam Al Quran menganjurkan kepada kita semua, untuk selalu melakukan cek ricek terhadap setiap informasi yang ada. Seperti yang dijelaskan dalam QS Al Hujuran ayat 6, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu".
Mari kita terus bekali diri dengan ilmu pengatahuan, ajaran agama yang benar, dan informasi yang benar. Hoaks dan ujaran kebencian terbukti mempunyai daya rusak yang mengerikan terhadap generasi penerus bangsa. Karena itulah, jangan diam. Mari terus melawan dengan menyebarkan pesan damai dan nilai-nilai kearifan lokal, yang menjadi karakteristik bangsa ini.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H