Kecemasan kita terhadap daya tahan harmoni dalam kehidupan kita sebagai negara kesatuan yang mewakili berbagai suku, agama, dan bahasa, adalah akumulasi dari perjalanan kehidupan kemasyarakatan sejak runtuhnya Orde Baru pada 1998. Kerusuhan di Ambon dan Poso misalnya, adalah satu dari sejarah kelam yang sudah seharusnya kita jadikan pengalaman yang tak ingin diulang lagi. Tentu saja, jika kita percaya bahwa kehidupan yang lebih baik di masa depan adalah gairah agung sebagai manusia.
Setelah 1998, kita mendengar pembakaran gereja, pengusiran umat non-muslim, dan semuanya dikaitkan dengan sentimen agama. Kini, kita tiba pada suatu masa di mana sentimen tersebut tidak lagi kita simpan di balik topeng, namun telah tersedia dengan gamblang di depan meja. "Persatuan Indonesia selalu seimbang dalam kegentingan. Seakan-akan nyaris tak mungkin untuk sebuah negara dengan lebih dari ratusan etnis, kepercayaan, dan etnis yang tersebar di 117 ribu pulau untuk bisa menyingkirkan prasangka dan permusuhan antar kelompok.
"Ayo hadapi: konflik tak terhindarkan. Sejak (keberagaman) menjadi pengecualian, Indonesia selalu penuh dengan penyakit yang menyasar integritasnya; meski hingga hari ini, dia (Indonesia) tetap berdiri sebagai sebuah negara kesatuan," tulis salah satu penulis di lembaga think-tank dan institut kebijakan sosial, Politeia, Ramadinan Saptara.
Sebagaimana yang dikatakan Ramadinan, apa yang harus kita lakukan adalah menghadapinya. Tidak harus menjadi sekularis totok, bukan pula menjadi orang yang anti-agama, namun tetap sebagai umat beragama. Membela harmoni tak lain adalah semacam perjuangan agama. Dalam konteks Islam, menjaga keberagaman tak lain adalah jihad.
Memang bukan pekerjaan yang ringan. Karena orang-orang yang membenci harmoni di atas hasil perjuangan nenek-moyang yang kita kenal dengan nama "negara kesatuan," seakan-akan selalu punya kekuatan untuk berkumpul, melakukan demonstrasi, dan, mendapat dukungan dari sejumlah media massa. Fenomena ini telah mengecilkan akal sehat dan nurani kita. Seakan-akan dengan kerumunan yang banyak di jalanan -- dan mengobarkan kebencian atas harmoni serta mengatasnamakan jihad -- mereka telah berhasil menciutkan nyali kita untuk menghadapi kebenaran.
Kebenaran memang relatif. Namun sebagai bangsa, kebenaran yang mutlak itu adalah keindahan. Dan sebagai bangsa, keindahan itu adalah harmoni. Full of colour.Dengan menjadikan keindahan sebagai jihad, maka berapapun jumlah uang yang digunakan politisi untuk menggunakan kelompok orang yang ingin menghancurkannya atas nama kebesaran satu agama tertentu, tidak akan mampu menumbangkan peradaban. "Di balik topeng ini, lebih dari sekadar daging. Di balik topeng ini ada sebuah ide. Dan ide tak mampu ditembus oleh peluru," ujar tokoh V dalam film yang terinspirasi dari sebuah novel grafis karya Alan Moore dengan judul sama, V for Vendetta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H